Alan memberanikan diri menatap Tiyas, ada rasa bersalah di hatinya. Tapi di sisi lain, ia tahu semua yang di lakukannya untuk kebaikan Tiyas.
Lagi pula ia harus memenuhi janjinya pada Dirga. Walaupun ia harus mengorbankan perasaan dan mengubur semua rasa dan kenangan yang pernah dilaluinya bersama Tiyas.
Alan melangkah menuju ruangannya, tanpa berkata apapun pad Tiyas.
"Mas Alan. ..." panggil Tiyas, suaranya terdengar parau.
Alan berhenti melangkah, namun ia enggan berbalik.
"Mas, saya ingin mengembalikan liontin ini." Tiyas melepas liontin dari lehernya, lalu mendekati Alan seraya menyerahkan Liontin ditangannya.
Alan menoleh, "Tiyas, liontin itu milik kamu, aku sudah menghadiahkannya untukmu, simpanlah,"
"Untuk apa, Mas? Jika liontin ini hanya akan membuatku terluka!"
Air mata Tiyas tumpah tak terbendung, isak tangisnya membuat Alan sedih. Namun ia tidak berdaya, tidak ada yang terucap dari bibirnya selain helaan napas panjang.
Tiyas meletakkan Liontin merah di atas meja disamping Alan. wajahnya terlihat murung.
Alan mengambil liontin itu lalu berlalu dari hadapan Tiyas, ia meninggalkannya menangis seorang diri. bukan karena tak peduli, tapi ia tidak ingin karyawan lain melihat peristiwa itu.
Lelaki lulusan manajemen itu duduk di kursinya sambil memandangi liontin merah ditangannya.
"Tiyas, maafkan aku, biarlah waktu yang akan mengobati luka di hati kita, biarlah waktu yang akan mengubur rasa ini, biarlah Adel yang akan menggantikan semua mimpiku denganmu. Aku ingin kamu hidup bahagia, kelak kamu akan berterimakasih dengan semua ini," gumam Alan dalam hati, lalu menyimpan liontin itu ke dalam laci.
***
flash back
Alan dan Tiyas pernah sangat dekat ketika mereka sekolah ditempat yang sama. Saat itu, Alan kelas tiga dan Tiyas kelas satu SMA. Alan pernah mengungkapkan isi hatinya pada Tiyas, dan berjanji akan selalu menjaganya. Saat ualng tahun Tiyas, ia menghadiahkan liontin merah warisan ibunya untuk calon istrinya kelak.
Namun semua berubah, saat Dirga menawarkan beasiswa padanya.
Alan berteman baik dengan Dirga sejak terjadi kesepakatan antara keduanya. Setiap kali liburan, Dirga sering mengajak Alan ikut bersamanya kejakarta. Kebetulan keduanya mempunyau hobi yang sama yakni berenang dan main basket.
Sejak Natasya mengusir orangtua Tiyas, Dirga bertekat akan mencari Tiyas suatu hari nanti. Setelah beranjak remaja, diam-diam Dirga mencari Tiyas ke kampung halamannya di Wonosobo. Ia melihat Tiyas berjalan berdua dengan teman lelakinya. Dirga urung menemui Tiyas, ia takut Tiyas menolaknya karena sudah ada orang lain yang menyayanginya.
Dirga menemui teman lelaki teman Tiyas itu yang tak lain adalah Alan. Ia anak seorang petani miskin yang tinggal bersebelahan desa dengan Tiyas. Ibunya telah tiada, ia tinggal bersama ayahnya dan kedua adiknya.
Dirga menawarkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya serta membiayai sekolah adik adiknya, dengan syarat ia harus meninggalkan Tiyas, tapi tetap menjaga Tiyas selama ia kuliah di Amrik.
Karena ingin sekali melanjutkan sekolah, dan juga ingin melihat adik-adiknya sekolah, Alan menerima perjanjian yang dubuat Dirga.
Dirga mengajukan beasiswa untuk Tiyas dan Alan ke perusahaan milik orangtuanya. Saat itu Adit baru setahun menjadi CEO di perusahaan itu.
***
"Yas, kamu lagi sibuk, ya? Aku lihat, beberapa hari ini kamu berangkat pagi buta, pulang larut malam?" tanya Adel di pagi hari setelah selesai salat subuh.
"Di kantor lagi banyak kerjaan," jawab Tiyas datar.
"Kamu ada masalah?" selidik Adel tidak percaya.
"Udah deh, nggak usah ngurusin orang, urus saja rencana pernikahanmu itu!" jawab Tiyas ketus.
Adel terkejut mendengar jawaban Tiyas, Tiyas yang ia kenal sangat manis berubah menjadi jutek.
"Astaghfirullah hal aziim, istgfar Tiyas! Jika ada masalah, aku selalu siap dengerin curhatan kamu." ujar Adel yang tidak mengerti penyebab perubahan sikap Tiyas.
Tiyas tidak menggubris ucapan Adel, ia melanjutkan memakai handbody, lalu memakai baju lengan pendek yang baru dibelinya. Adel menatap Tiyas heran. Dia tidak pernah tau jika Tiyas punya blouse lengan pendek dan celana bahan ketat. Apalagi dandanan Tiyas yang sedikit terlihat menor.
Setelah selesai berdandan Tiyas mengambil Tasnya, kemudian pergi.
"Tiyas, kamu mau kemana?" tanya Adel menahan langkah Tiyas.
"Ke kantor, lah! Emang ke mana?" jawab Tiyas mengernyitkan dahi.
"Tapi kamu belum pakai jilbab!" ujar Adel mengingatkan.
"Suka Banget sih ngurusin orang lain!" jawab Tiyas memasang wajah kesal.
Adel terkesiap, sangat bingung dengan perubahan Tiyas, dia tidak habis pikir, mengapa Tiyas melepaskan Hijabnya begitu mudah. Apa ini ada hubungannya dengan rencana walimahannya dengan Alan? Tanya Adel dalam hati.
Sementara Tiyas berjalan menyusuri tangga kosan dengan mata berkaca kaca. luka dihatinya melumpuhkan akal sehatnya. Ia sengaja melepas hijabnya agar Alan dan Adel merasa bersalah.
Seperti biasa Tiyas naik Busway menuju kantor, beberapa pasang mata yang terbiasa melihatnya memakai hijab, heran. Bahkan ada yang menatapnya sinis, melihat gadis berhidung bangir itu tidak memakai kerudung.
Rambut lurus hampir sepinggang di biarkan tergerai lemas ditiup angin, menarik perhatian setiap mata yang memandang. Setelah tiga puluh menit diperjalanan Tiyas sampai di halte pulogadung. Ia memilih berjalan kaki menuju kantornya.
Sesampainya di kantor, Tiyas menjadi perhatian dan gunjingan teman-temannya.
Tiyas tidak peduli, ia bersikap biasa saja menuju meja kerjanya.
Dari jauh, Alan terkejut melihat penampilan Tiyas, bergegas ia menghampiri.
"Assalammualikum." sapa Alan berdiri di samping meja Tiyas.
"Waalikum salam" jawab Tiyas jutek. Wajahnya gusar.
"Tiyas, aku ingin bicara sama kamu, aku tunggu di ruanganku." perintah Alan sambari berjalan menuju ruangannya. Tak lama berselang, Tiyas mengikuti dari belakang.
"Tiyas! Apa apaan ini? Kenapa kamu tidak memakai hijab! Lihat pakaianmu, semua serba ketat! Apa kamu nggak salah berpakaian seperti ini?" tanya Alan, matanya bulat menatap Tiyas.
Ia kecewa pada Tiyas, walau sudah memilih Adel, bukan berarti Tiyas lenyap dari pikirannya.
"Apa urusannya sama Mas Alan? Terserah saya mau pake baju apa! Emang dilarang berpakaian seperti ini ke kantor? Teman teman yang lain juga banyak berpakaian seperti ini." jawab Tiyas dengan nada kesal.
"Astaghfirulah hal Azim Tiyas, istighfar! Bukan bigini caranya melampiaskan sakit hatimu." suara Alan terasa berat, sesak dadanya melihat ulah Tiyas.
Dering panggilan masuk dari telphon Tiyas, memecah keteganggan keduanya. Tiyas sengaja menjawab panggilan dari Anesya di depan Alan.
"Hai Nes, .... iya jadi, nanti malam kita ketemu di diskotik ya! Daa...."
Setelah menutup telphon, Tiyas melirik Alan, ia penasaran melihat ekspresi lelaki yang telah mengurus beasiswa dan memberinya pekerjaan itu. Melihat Alan gusar, Tiyas tersenyum puas, tanpa pamit ia berlalu.
"Tiyas!" panggil Alan, tapi percuma, gadis itu tidak menggubrisnya. ia pergi menunggalkan Alan dan kembali ke mejanya.