Pagi ini, mentari bersinar cerah, sinarnya mampu menghangatkan tubuh memberi rasa damai dalam jiwa.
Tiyas kembali bekerja, ia memulai harinya dengan semangat baru. Beberapa pasang mata menatapnya aneh, sebab gadis berwajah ayu itu, kembali menggunakan hijabnya setelah hari sebelumnya dilepas.
Tiyas tidak perduli tatapan sinis itu, yang ia tahu, ia harus bertaubat selagi masih ada waktu. Petualangannya semalam menjadi cambuk baginya untuk tatap istiqomah dijalanNya. Ia beruntung selamat dari dunia mengerikan itu.
Sepasang mata meliriknya penuh bahagia. Alan bersyukur Tiyas sudah kembali menggunakan hijabnya. Saat Alan melintas didepannya, Tiyas hanya diam menunduk. Tidak ada hasrat untuk melirik apalagi menyapa. Ia malu, sungkan, sedih, semua bercampur aduk mempermainkan perasaannya.
Hari ini, Tiyas tak banyak bicara, beberapa pertanyaan yang penasaran melihat keanehan pada dirinya, hanya dibalas senyum sebagai jawaban.
Waktu berjalan tanpa terasa, senja memaksa pekerja untuk kembali ke rumah masing-masing.
Tiyas kembali ke rumah yang baru dua hari ditempatinya. Langkahnya terhenti mendapati Anesya sudah menunggu di teras.
"Nes, Lo ngapain di sini?" tanya Tiyas mengernyitkan dahi.
"Nungguin elo." jawabnya datar. Wajahnya terlihat sembab.
"Masuk, yuk." ajak tiyas.
Anesya melangkah dengan gontai, aroma minuman alkohol santer tercium oleh Tiyas. Gadis itu tidak protes, ada rasa iba di hatinya menatap Anesya, ia gadis pintar yang hidup serba berkecukupan, tapi memilih membinasakan dirinya perlahan. Ingin sekali dinasehatinya gadis itu, tapi percuma, ini bukan saat yang tepat.
"Yas, gue tidur di sini, boleh, ya? Gue ngantuk banget." pinta Anes memelas.
Tiyas bimbang, antara kasihan dan enggan bergantian mendominasi hatinya.
"Yas, boleh ya? Cuma malam ini, pliss!" pinta Anesya memohon.
Tiyas tertegun, antara iba dan trauma membuat ia bimbang mengambil keputusan. Ia khawatir Anes akan membujuknya lagi melakukan sesuatu yang akan menjerumuskannya. Seperti saat itu ketika mereka bertemu di Mall. Anesya mengajaknya melepas hijab dan pergi ke diskotik untuk menghukum Alan dan Adel dengan perasaan bersalah.
Tiyas takut, Anesya mengajaknya lagi berbuat konyol.
"Nes, sory, ya, bukan gue nggak mau nerima lo di sini, gue mau istirahat, menenangkan diri." ujar Tiyas menolak permintaan Anesya.
"Pliss, Yas, malam ini saja, gue nggak mau pulang ke rumah. Gue benci sama bokap dan nyokap gue!" Anesya merengek, wajahnya memelas, membuat Tiyas tidak tega.
Walau was-was, Tiyas mengizinkan Anes menginap. Ditatapnya gadis bertubuh kurus tinggi itu terbaring di lantai. Bau alkohol dan farfum yang menyengat membuat Tiyas mual.
Dibiarkannya Anesya tertidur, ia pergi keluar mencari makanan. Ia sengaja berlama lama di luar, berharap saat kembali nanti, Anesya sudah bangun bahkan sudah mandi.
Pukul sembilan malam Tiyas kembali ke rumah. Saat membuka pintu, matanya terbelalak. Anesya menggigil, bajunya basah kuyup dengan keringat.
Buru buru Tiyas meletakkan bungkusan ditangannya, lalu mendekati Anesya.
"Nes, lo kenapa? Plis Nes, jangan bikin gue takut, Nes ... Anesya ...." teriaknya mengguncang tubuh wanita berbaju ketat itu.
Anesya tidak menjawab, tubuhnya menggigil, bibirnya biru, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Tiyas melihat sebuah botol ampul kosong dan jarum suntik di dekat Anesya. Tiyas menggigit bibirnya. Ia panik, tidak tahu harus berbuat apa. Ia teringat Adit, berharap lelaki itu mau membantunya mengurus Anesya.
Diambilnya ponsel gadis sekrat itu, lalu mencari kontak Adit. Ditemukannya sebuah nama; Aditya Bos, Ia mengernyitkan dahi, berharap ia menghubungi orang yang tepat.
"Halo, Nes!" terdengar sahutan dari seberang sana.
Tiyas mengenali suara itu, iya, dia Adit lelaki yang menyelamatkan hidupnya di malam yang mengerikan dua hari lalu.
"Halo, Mas Adit?"
"Iya, ... Ini.... Tiyas?" tanya Adit menvoba menebak.
"Iya, Mas. Maaf kalau saya mengganggu.
"Tidak apa-apa, kebetulan saya sedang tidak sibuk. Ada apa, kenapa ponsel Anes ada sama kamu?"
"Anes ada di rumah saya, Mas. Tapi sepertinya dia sedang sakau... Tubuhnya memggigil. Saya takut, Mas..."
"Owh, Oke, aku akan kesana, kirim alamat kamu."
"Baik, Mas. Terima kasih." ujarnya mengakhiri percakapan. Lalu bergegas mengirim peta lokasi alamatnya.
Ditatapnya kembali Anesya yang semakin lemas. Ia panik, benar benar panik melihat Anesya mengeluarkan busa dari mulutnya. Ia berdoa semoga Adit datang lebih cepat. Lima belas menit kemudian, sebuah taksi berhenti di depan rumah Tiyas. Gadis berjilbab navi itu, mengintip dari jendela, ia melihat Adit keluar dari taksi. Buru buru ia membuka pintu.
'Mas Adit, bagaimana ini, saya tidak tahu harus berbuat apa?" suara Tiyas bergetar, ia panik dan bingung, menghampiri Adit.
"Kamu tenang saja, ayo kita bawa ke rumah sakit." jawab Adit.
Bergegas Tiyas menyambar tasnya, Adit mengangkat Anesya ke taxi, Tiyas mengunci pintu lalu ikut ke dalam taksi duduk di belakang bersama Anesya.
Tiyas menatap ngeri Anesya, wajah cantik itu terlihat sekarat. Ingin ia menghapus busa yang ke luar dari mulut Anesya, namun urung di lakukannya, ia jijik.
Tidak sampai setengah jam, mereka tiba di rumah sakit, Anesya segera di bawa ke ruang UGD. Tiyas menarik napas lega karena Anes mendapat penaganan dengan cepat. Ia berdoa agar Anesya selamat. Adit mengurus semua administrasi agar Anesya menjalani rawat inap.
Tiyas memandangi anesya yang terbaring lemas, selang infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Beberapa saat kemudian, Adit masuk ke ruangan Anes di rawat, membawa bungkusan donat dan minuman di tangannya.
Lelaki berkaos oblog dan celana pendek itu, duduk di samping Tiyas, menyodorkan makanan yang dibawanya.
Tiyas mengangguk sembari mengangkat lima jarinya, ia belum selera mengunyah apa pun, ia masih syok melihat Anesya.
"Kenapa Anes ada di rumah kamu?" tanya Adit.
"Dia datang sore tadi, katanya malam ini, dia malas pulang ke rumah."
Adit, mengangguk tanda mengerti.
"Ayo kuantar pulang, supirku sudah datang." Adit berdiri, meletakkan donat di atas meja.
"Lalu Anesya siapa yang jagain?"
"Ada suster, kan? Lagi pula sebentar lagi temannya akan datang." ujar Adit.
Tiyas mengangguk, ia segera mengambil tasnya, lalu mengikuti Adit berjalan ke luar.
Adit menyuruh supir pribadinya pulang, Ia sendiri yang akan mengantar Tiyas.
"Mas Adit, tadi kenapa naik taksi?" tanya Tiyas.
"pas kamu telphon, aku sedang di rumah, kalau naik mobil pasti nggak keburu, makanya aku naik motor, terus aku nyari taksi disekitar rumah kamu." ujar Adit.
Tiyas tersenyum. Ia senang ternyata Adit sangat peduli pada orang lain.
"Ohya, Yas. Besok aku ada acara di sentul, mau ikut?" tanya Adit.
"Acara apa, Mas?" Tiyas menoleh Adit yang pelan melacu mobilnya meninggalkan rumah sakit.
"Balapan."
"Hah, balapan? Balapan apa?" tanya Tiyas antusias, kali ini Ia memutar tubuhnya menghadap Adit.
"Balapan mobil." jawab Adit santai.
Tiyas menggeser lagi duduknya lurus kedepan.
"Ee... tapi, Mas Adit nggak keberatan saya berpakaian seperti ini?" tanya Tiyas hati-hati.
Adit melirik Tiyas, lalu fokus lagi menyetir.
"Terserah, jika pakaian itu membuat kamu nyaman, silakan saja." jawab Adit datar.
Tiyas mengangguk.
"Oke," jawabnya.
Entah sejak kapan ia merasa bahagia berdekatan dengan Adit. Walau rasa cemas juga turut menyelimuti bahagia itu. Kehadiran Adit sedikit mengobati luka di hatinya.