Seseorang Mengaku Sebagai Calon Suamiku
Entah berapa lama aku berada di alam mimpi, hingga tiba-tiba aku terbangun dan kembali ke alam sadar. Saat kubuka mata, aku sangat terkejut karena berada di sebuah ruangan yang terasa asing bagiku. Tampaknya ini bukan di kamarku, saat kulihat selang infus yang menempel di lenganku, barulah kusadari bahwa diriku tengah berada di rumah sakit.
"Kamu sudah bangun? Saya akan segera memberi tahukan ini pada dokter," ujar seorang suster.
Tidak berapa lama kemudian suster tersebut kembali bersama seorang dokter, lalu setelah memeriksaku, mereka tersenyum kepadaku.
"Selamat karena Anda telah kembali sadar setelah mengalami koma selama satu minggu," ucap dokter.
Koma selama seminggu? Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sebelumnya, lalu tiba-tiba kuingat bahwa aku dan kedua orangtuaku hendak pulang kampung, karena ayah terjerat banyak hutang sehingga kami harus kabur ke kampung. Namun, di perjalanan, tiba-tiba mobil yang dibawa ayah mengalami kecelakaan, lalu setelah itu aku tak memgingat apapun.
"Dokter, dimana kedua orangtuaku?"
"Sebelum menjawab semua itu, saya akan menghubungi kekasih Anda," ujarnya sembari mencoba menelpon seseorang.
Kekasih? Seingatku aku tak memiliki kekasih.
"Dokter, tapi saya tidak punya kekasih."
"Benarkah? Apa jangan-jangan Anda mengalami amnesia? Karena saat Anda dan kedua orangtua Anda dibawa ke rumah sakit ini, ada seorang lelaki tampan yang mengantarkan kalian bahkan ia selalu setia menunggu Anda di ruangan ini."
"Si-siapa?" tanyaku.
"Namanya Pangeran, dialah yang menanggung semua biaya Anda juga kedua orangtua Anda," sahutnya.
Meski bingung dengan ucapan dokter, aku mencoba untuk menunggu siapakah orang yang dimaksud dokter dan suster. Namun, sebelum itu dokter kembali memeriksa keadaanku untuk memastikan apakah aku mengalami amnesia atau tidak. Setelah dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba seorang pemuda tampan masuk ke ruangan tempat aku dirawat.
"Sayang, kamu sudah sadar?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Kamu siapa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Dokter, apakah kekasih saya mengalami amnesia?" tanyanya yang mulai panik.
"Nona, apakah Anda mengingat nama Anda siapa?" tanya dokter.
"Namaku Indira Prameswari."
"Usia?" tanyanya.
"Dua puluh tahun, aku kuliah di sebuah universitas ternama di Jakarta, meski aku orang tak punya, tapi aku memiliki otak yang cerdas sehingga aku bisa mendapat beasiswa."
"Nama orangtua?"
"Agung Heriawan dan Nina Kencana."
"Setelah melakukan semua pemeriksaan, sepertinya kekasih Anda hanya lupa pada sedikit memori dalam ingatannya," ucap dokter hingga membuatku kembali mengernyitkan dahi.
"Jadi, dia melupakan saya?" tanya lelaki itu.
"Mudah-mudahan ingatannya akan segera kembali," ucap dokter, lalu setelah itu ia pergi meninggalkan kami.
"Dimana kedua orangtuaku? Lalu mengapa tiba-tiba kamu mengaku sebagai kekasihku? Aku tidak hilang ingatan."
"Sayang, apakah kamu ingat kapan kamu kecelakaan?" Ia malah bertanya.
"Seingatku hari itu hari senin, tanggal 12 Januari."
"Iya, kamu tidak salah, dan hari ini tanggal 19 Januari."
"Benar, kan, aku tidak hilang ingatan. Lalu dimana kedua orangtuaku?"
Tiba-tiba ia menggenggam erat tanganku, sambil menatapku dengan tatapan pilu.
"Kedua orangtuamu meninggal, padahal pernikahan kita tinggal sebulan lagi."
"Ayaaaaah! Ibuuuuuu!" Tangisku langsung pecah saat mendengar jawabannya. Aku benar-benar tak menyangka jika mereka akan meninggalkanku sendirian di dunia ini.
"Sayang, aku janji akan selalu ada buat kamu. Jangan sedih, ya. Biarkan mereka tenang di alam sana. Aku telah berjanji sebelum mereka meninggal, untuk selalu melindungi dan membahagiakanmu."
"Omong kosong! Aku tak mengenalmu!"
Tiba-tiba ia menatapku dengan wajah pilu, lalu melangkah mundur dan duduk di sebuah kursi dengan wajah teraniaya. Benarkah dia kekasihku? Dari penampilannya, ia tampak berasal dari keluarga berada.
Bagaimana bisa aku tiba-tiba memiliki seorang kekasih yang tampan dan kaya raya sepertinya, padahal aku hanyalah seorang wanita miskin yang sering dipanggil Upik Abu karena bekerja part time sebagai pembantu di sebuah rumah keluarga kaya. Awalnya ibuku yang bekerja di sana. Namun, karena ibuku ketahuan mencuri, maka ia dipecat lalu aku terpaksa menggantikannya bekerja gratis di rumah itu sebagai penebus hutang ibuku.
Di kampus, aku sering dihina bahkan dikucilkan, terlebih setelah mereka mengetahui bahwa aku bekerja sebagai pembantu, kebencian mereka semakin menjadi-jadi.
Sejak kecil, kami selalu hidup pas-pasan, tinggal di rumah petak, sedangkan ayahku bekerja di sebuah bengkel milik sahabatnya. Meski begitu, kami semua selalu merasa bersyukur dan hidup apa adanya. Hingga suatu hari sahabat ayah meninggal, sebelum meninggal, ia memberikan sebuah mobil bekas untuk ayah. Sementara bengkel itu dijual oleh anaknya kepada orang lain. Sejak itu ayah menjadi sopir taksi online.
Semuanya berjalan baik, hingga suatu hari, seorang rentenir datang ke rumah untuk menagih hutang. Baru kuketahui bahwa selama ini ibu memiliki hutang yang lumayan banyak. Karena hutang itulah, kami sekeluarga berniat untuk kabur ke kampung.
Seingatku, aku tak pernah memiliki teman ataupun pacar. Lalu mengapa tiba-tiba dia mengaku sebagai calon suamiku? Mungkinkah dia penipu? Tapi, apa yang dia inginkan dari gadis miskin sepertiku. Ataukah jangan-jangan dia berniat menjualku?
Keesokan harinya, aku sudah diperbolehkan untuk pulang. Kulihat lelaki itu datang pagi-pagi sekali dan bersiap untuk membawaku entah kemana. Awalnya aku ingin menolaknya, tetapi tiba-tiba aku teringat bahwa aku sudah tak memiliki lagi tempat tinggal, aku sudah tak memiliki orangtua, bahkan mungkin semua barang-barangku telah hilang bersama mobil ayah yang hancur.
Akhirnya kuputuskan untuk menurutinya, meski aku tak tahu ia akan membawaku entah kemana. Ia mengajakku masuk ke sebuah mobil mewah. Seumur hidupku rasanya aku belum pernah duduk di dalam mobil semewah ini. Seorang sopir langsung menjalankan mobil ini, setelah aku dan dia duduk di belakang. Setelah lumayan lama menjauh dari rumah sakit, akhirnya kami tiba di sebuah apartemen.
Aku langsung turun dan mengikutinya naik ke apartemen tersebut, hingga tibalah kami di sebuah kamar.
"Kamu masih belum ingat apartemen ini?" tanyanya sambil membukakan pintu untukku.
Aku hanya mengernyitkan dahi, hingga tiba-tiba aku terkejut saat melihat fotoku juga kedua orangtuaku terpajang di dinding.
"Ba-bagaimana bisa ada fotoku?"
"Sayang, apartemen ini awalnya milikku, tapi sudah kuberikan padamu juga kedua orangtuamu, karena saat itu mereka mengalami kesulitan hingga tak memiliki tempat tinggal."
"Benarkah?"
Ia hanya tersenyum lalu mengusap rambutku.
Karena penasaran, aku segera melihat-lihat seluruh sudut ruangan apartemen itu.
"Jika kamu adalah calon suamiku, harusnya kamu tahu semua tentangku."
"Nama kamu Indira Prameswari, lahir tanggal 21 Februari 2002, warna kesukaan hijau muda dan biru muda, makanan favorit nasi padang dan semua yang pedas-pedas. Takut gelap, takut petir, kamu adalah anak tunggal dari kedua orangtuamu, selain itu kamu dan keluargamu adalah perantau di Jakarta, karena kalian berasal dari Bandung."
Aku menganga mendengar semua penjelasannya, bagaimana bisa ia mengetahui semuanya secara detail. Benarkah dia calon suamiku? Lalu mengapa aku tak bisa mengingatnya?
"Sayang, aku harus segera ke kantor, kamu istirahat aja. Oh, ya, kalau butuh makanan pesan aja, ini ponsel dan dompetmu."
Aku terhenyak saat ia menyerahkan sebuah dompet yang tampak mewah, selain itu ia juga bilang bahwa ponsel berlogo apel itu milikku. Aku segera meraih dompet tersebut, lalu tiba-tiba terkejut saat melihat lembaran uang berwarna merah beserta kartu ATM dan black card. Bagaimana bisa aku tiba-tiba memiliki semua ini?
"Jangan-jangan kamu lupa password M.banking atau ATMmu?" tanyanya tiba-tiba.
Jelas saja aku tak mengingatnya, karena aku tak pernah memiliki ATM.
"Password-nya tanggal lahirmu, kan? Untunglah kamu sempat memberitahuku dulu, kalau enggak, pasti sekarang repot."
Aku hanya menggaruk-garuk kepala saat mendengar semua ucapannya, lalu setelah itu ia langsung pamit dan segera pergi.
Bagaimana bisa tiba-tiba aku memiliki semua ini? Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah lemari kaca, betapa terkejutnya aku saat melihat deretan sepatu juga tas branded yang selama ini aku inginkan. Selain itu, aku juga kembali menganga saat melihat deretan gaun cantik yang tergantung di lemari. Semuanya sangat bagus, apakah semua itu milikku? Bagaimana bisa aku memiliki semua itu?
Disaat aku tanda tanya besar tengah berputar-putar dalam kepala, tiba-tiba benda pipih berlogo apel itu berdering. Aku langsung mengangkat sebuah panggilan dari seseorang yang namanya tertulis sebagai Lovely di kontak. Kulihat foto profilnya adalah lelaki tadi yang mengaku sebagai calon suamiku.
"Hallo." Aku memulai percakapan.
"Sayang, aku sudah berada di kantor, sebentar lagi mau meeting. Kamu gak kenapa-kenapa, kan? Sebenarnya aku masih cemas sama kamu."
"A-aku baik-baik saja, kok. Tapi, bisakah nanti setelah pulang dari kantor kamu menemuiku?"
"Hahahha, kamu masih sama seperti dulu, selalu tak kuat lama-lama jauh dariku."
Aku langsung mematikan panggilan. Meski ia tampan dan kaya raya, aku tak memiliki perasaan apapun padanya. Aku hanya ingin bertanya banyak hal padanya, ia masih harus menjelaskan bagaimana caranya tiba-tiba ia mengaku sebagai calon suamiku, padahal aku sama sekali tak mengingatnya.
Harus kepada siapa aku bertanya, benarkah dia calon suamiku? Andai aku punya seorang sahabat, mungkin aku bisa menanyakan hal tersebut padanya. Namun, sejak dahulu aku tak pernah memiliki seorang teman pun. Tak ada satu pun orang yang mau berteman denganku, selain karena miskin, citra ibuku sebagai pembantu yang suka mencuri dan suka berhutang, membuatku dikucilkan di lingkunganku.
Bersambung.