Chapter 2

1845 Kata
Wajah letih Nath berubah menjadi segar setelah membersihkan diri. Meski tubuh rampingnya hanya dibalut pakaian rumahan, keanggunannya tetap memancar. Nath akan menjemput putrinya yang masih betah di rumah Zelda, wanita yang baru empat bulan menjadi tetangganya. Jarak rumah mereka sangat dekat, jadi dia hanya perlu berjalan beberapa langkah saja untuk menjangkau rumah tersebut. Sebenarnya rumah yang di tempati Zelda dan suaminya, milik Bi Rani. Rumah tersebut juga berukuran lebih kecil dari miliknya. Karena Nath meminta Bi Rani dan Donna untuk tinggal bersamanya, jadi rumah tersebut disewakan kepada Zelda dan suaminya yang saat itu sedang membutuhkan tempat berteduh. “Zelda,” panggil Nath lantang ketika ketukannya belum mendapat respons. “Hai, Nath, silakan masuk.,” sapa Zelda ramah setelah membuka pintu. “Anakmu masih asyik mengobrol dengan Andri. Entah apa yang mereka obrolkan dari tadi.” Zelda terkekeh memberitahukan kegiatan Della kepada Nath. “Kamu sudah makan, Zel?” Nath mengikuti Zelda yang jalannya agak lambat menghampiri tempat anaknya berada. “Aku belum lapar, Nath,” jawab Zelda sambil mengelus perut buncitnya. “Bagaimana kandunganmu? Kamu sudah dapat periksa ke dokter lagi?” tanya Nath saat tinggal beberapa langkah lagi sampai di ruang tamu mungil milik Zelda. “Baik-baik saja, Nath. Aku belum dapat periksa lagi,” jawabnya jujur. “Della, Mamamu sudah menjemput,” seru Zelda saat Della belum menyadari kehadiran ibunya, sekaligus untuk mengalihkan topik pembicaraan dari Nath. Della yang duduk di pangkuan Andri menoleh saat mendengar seruan Zelda, begitu juga Andri. “Mama,” panggil Della riang saat melihat kedatangan ibunya. Dia langsung beranjak dan berlari tergesa menghampiri Nath. “Awas!” seru Andri karena melihat tubuh mungil itu sempoyongan saat berlari dan hampir tersandung. “Della, jangan lari-lari begitu. Kalau jatuh bagaimana?” Nath yang sudah meraih Della ke dalam gendongannya langsung memberikan teguran. “Maaf, tapi Della sangat kangen sama Mama,” ucap Della pelan sambil menyembunyikan wajahnya pada lekukan leher ibunya karena takut dimarahi. Andri yang sudah menghampiri Nath dan istrinya hanya tersenyum melihat tingkah menggemaskan Della. “Duduk dulu, Nath,” Andri menawarkan. “Tidak usah. Oh ya, mau tidak kalian makan malam di rumahku?” ajak Nath. Andri kembali tersenyum. “Sebenarnya kami mau, Nath. Namun sayang sekali, hari ini Zelda masak,” Andri menolaknya secara halus. “Tidak apa-apa kalau begitu. Masih ada hari esok. Oh ya, terima kasih sudah menjaga putriku seharian ini,” ucap Nath tulus. “Sama-sama. Untung ada Della, jadi aku tidak bosan di rumah sendirian,” balas Zelda sambil membelai kepala Della yang masih bersembunyi di lekukan leher ibunya. “Kalau kamu jenuh, datang saja ke rumahku, Zel. Lagi pula di sana ada Bi Rani yang bisa kamu ajak ngobrol,” Nath menyarankan. “Oh ya, semoga saja seharian ini Della tidak merepotkanmu,” sambungnya. “Tidak. Kamu tenang saja, Della ini anak pintar dan cantik.” Zelda mencubit gemas pipi Della yang sudah keluar dari persembunyiannya. “Baguslah. Kalau Della nakal, ditegur saja, Zel.” Nath menatap wajah imut anaknya yang tengah mencebik. “Della tidak nakal, Ma. Benar! Tadi Della cuma makan banyak puding buatan Tante Zelda,” beri tahu Della sambil menyengir saat melihat ibunya terkejut mendengar pengakuannya. “Tante tidak marah Della banyak makan puding di sini?” Kini pandangan Della beralih menatap Zelda yang terkekeh melihat kepolosannya. “Tentu saja tidak, Sayang. Besok Della mau menemani Tante buat puding lagi?” Dengan antusiasnya Della mengangguk. Andri dan Nath hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Della. Zelda sangat terhibur dengan kehadiran balita mungil yang menemaninya dari pagi hari. Bahkan setelah pulang karena dicari Bi Rani untuk makan siang, Della kembali mencarinya untuk tidur siang bersama. “Ya sudah, kalau begitu kami pulang dulu. Selamat beristirahat,” pamit Nath kepada Zelda dan Andri. “Tante, Om, besok Della main ke sini lagi ya. Sekarang Della mau pulang dulu.” Della melambaikan tangannya sambil memberi ciuman jarak jauh, sehingga membuat Zelda dan Andri terkekeh. *** Della yang masih di gendongan sang ibu terus saja berceloteh mengenai aktivitasnya di rumah Zelda. “Mama, kalau libur buatin Della puding ya? Nanti Della yang bantu,” pintanya saat langkah sang ibu tinggal beberapa saja mencapai teras rumah. “Memang Della bisa bantu apa?” tanya Nath iseng. “Bantu makan.” Della cekikikan dan menyengir menjawab pertanyaan ibunya. “Huh, dasar anak ini.” Nath gemas sendiri melihat cengiran anaknya. “Iya, kalau Mama libur, nanti kita buat puding sama-sama,” sahut Nath sambil mencium pipi tembam anaknya. “Horee!” seru Della sambil bertepuk tangan. “Oh ya, ice cream vanila pesanan Della sudah dibelikan?” tambahnya saat mengingat pesanannya tadi pagi. Nath memasang wajah bersalahnya saat Della menatapnya, menunggu jawaban. “Maafkan Mama, Sayang. Mama lupa membelikannya,” cicit Nath penuh rasa bersalah. “Yah,” balas Della dengan nada kecewa. “Della mau kan memaafkan Mama?” tanya Nath yang sudah menghentikan langkahnya. Tidak kuasa melihat wajah memelas sang ibu, akhirnya dengan cepat Della mengangguk. “Baiklah, tapi besok Mama harus membelikannya.” “Iya, Mama janji, Sayang.” Nath langsung mengecup bibir merah alami anaknya yang merajuk. Della membalas kecupan sayang ibunya dengan riang. “Della sayang sekali pada Mama,” bisiknya saat memeluk leher ibunya. “Mama juga sangat menyayangimu, Nak,” balas Nath sambil mengusap lembut punggung putrinya. *** Air mata Dave kembali menetes saat melihat kumpulan foto anaknya yang masih bayi. Rasa rindunya sungguh menyesakkan d**a, sampai dia kesulitan bernapas. “Nak, bagaimana sekarang rupamu? Lebih mirip Papa atau Mama?” tanya Dave pada foto Prisha yang sedang tersenyum saat bayi. “Papa yakin kamu pasti sangat cantik dan tumbuh sehat. Papa mempunyai banyak hadiah untukmu, Sayang. Kalau kita bertemu nanti, Papa akan memberikannya semua untukmu, Nak.” Tangan Dave terus mengusap wajah putri mungilnya yang berhasil dia abadikan melalui kamera. “Papa sangat merindukanmu, Nak. Papa sangat ingin memelukmu dan mengajakmu bermain. Papa ....” Dave tidak mampu melanjutkan ungkapan rindunya, sebab tenggorokannya terasa sakit. Bahkan menelan ludah pun sangat sulit. Untuk menghalau rasa yang semakin membuat rongga dadanya terhimpit, dia mengalihkan pandangan ke arah nakas di samping ranjangnya. Namun bukannya merasa lebih baik, dadanya kian sakit ketika melihat foto pernikahan berbingkai kecil dirinya dengan Titha. Dia tahu senyum yang Titha berikan itu bukanlah senyum kebahagiaan, melainkan senyum kepahitan. Dave mengambil bingkai itu dan mendekapnya sangat erat. “Tha, kamu berada di mana? Aku mohon, jangan siksa aku dengan cara seperti ini. Aku tidak kuat menahan kerinduan kepada kalian. Kembalilah, Tha.” Dave meraung tersiksa di tengah kerinduannya kepada istri dan anaknya. “Tuhan, izinkan aku menebus semua kesalahanku kepada anak dan istriku. Tolong, beri aku petunjuk keberadaan mereka.” Dengan rasa frustasinya Dave memohon petunjuk kepada Sang Pencipta. “I miss you, Titha,” ungkap Dave di tengah rasa frustasinya. *** Nath sedang membacakan cerita untuk Della. Rutinitas wajibnya saat menidurkan sang buah hati. Walau usia Della sudah tiga tahun, akan tetapi satu kebiasaannya tak kunjung hilang, sehingga sering membuat sang ibu kesal. Saat sudah berada di ranjang berdua, tangan Della selalu menyusup ke dalam pakaian atas Nath, dan mulai memainkan p****g susunya sambil mendengarkan ibunya bercerita. Kebiasaan Della ini muncul saat usianya sembilan bulan. Dulu Della akan memainkan p****g s**u ibunya sambil menyusu, hingga tertidur. Awalnya Nath sangat risi dengan kebiasaan tak biasa sang anak, sampai akhirnya dia pun terbiasa. Untungnya hanya dengannya dan di kamar saja kebiasaan menyebalkan Della ini muncul. Dia pernah memberanikan diri bertanya kepada Bi Rani, Donna, Zelda, bahkan Chika dan Vera saat Della tidur bersama mereka. Mereka pun memberikan jawaban yang sama, bahwa tidak ada yang aneh dari kebiasaan Della menjelang atau saat tidur. Ada rasa lega di hati Nath mendengar jawaban mereka. Nath pernah menegur dan melarang Della melancarkan kebiasaannya saat hendak tidur, alhasil anaknya itu tidak mau dia tidurkan. Bahkan menghindarinya. Bi Rani dan Donna kewalahan menangani kerewelan Della yang selalu uring-uringan menjelang tidur. Setelah Nath menyerah dan kembali membiarkan kebiasaan Della, baru anaknya itu mau dengannya. “Ma, Della boleh tidur bersama Mama?” Della mendongak sambil tangannya masih asyik bermain. Nath yang sudah beberapa kali menguap di tengah-tengah kegiatannya membaca, menaikkan kedua alisnya mendengar pertanyaan anaknya. “Boleh, ayo kita tidur. Mama sudah mengantuk,” ajaknya setelah menutup buku cerita. “Kalau begitu ayo bangun, Ma.” Della mengeluarkan tangannya dari dalam baju tidur ibunya. “Eh, mau ke mana?” Nath bingung dengan tingkah anaknya. “Ke kamar Mama. Della mau tidur di sana, di sini ranjangnya kecil. Ayo, Ma, kita ke kamar Mama sekarang,” rengek Della sambil menarik-narik tangan sang ibu. “Anak ini, ada-ada saja permintaannya,” batin Nath. “Ya sudah, Della duluan jalan sana,” suruhnya sambil memperbaiki baju tidurnya. “Tidak mau. Della mau digendong,” tolaknya sambil mengulurkan kedua tangannya agar digendong. Nath menerima uluran tangan Della dengan ekspresi cemberut dan berhasil membuat Della terkekeh geli. “Wajah Mama lucu,” komentarnya sambil mencubit pipi sang ibu yang sudah menggendongnya. “Sampai di kamar Mama, Della harus langsung tidur.” Dengan cepat Della menyanggupi ucapan ibunya. “Tidak terasa kamu sudah besar sekarang dan semakin berat, Nak,” gumam Nath yang menggendong anaknya seperti kanguru, sambil menuju kamarnya melalui connecting door. *** Tanpa pemberitahuan terlebih dulu, Vanya dan Devi sudah berada di rumah yang di tempati Dave selama tiga tahun ini. Mereka saling tatap ketika melihat ruangan masih gelap, padahal di luar matahari sudah menebarkan cahayanya. Mereka bergegas menaiki anak tangga menuju kamar tidur Dave untuk memastikan keadaan penghuninya. “Dave, kamu sudah bangun, Nak?” Vanya mengetuk pintu kamar anaknya. Karena tidak mendapat respons, akhirnya Vanya dan Devi langsung membuka pintunya yang ternyata tidak terkunci. Setelah berada di dalam kamar, mereka bisa bernapas lega saat mendengar suara pancuran air shower yang menyentuh lantai. “Sepertinya Kak Dave masih mandi, Ma. Sebaiknya kita tunggu di luar saja,” ajak Devi. ”Setelah orangnya tidak ada, Kakakku ini baru bersedih. Sampai-sampai sekarang kamarnya penuh dengan foto anak dan istrinya,” tambahnya dalam hati. “Ayo, Mama juga mau membuatkan kopi untuk Kakakmu dulu,” balas Vanya menyetujui ajakan putrinya. “Eh, ada kalian rupanya.” Dave terkejut saat keluar dari kamar mandi melihat kehadiran ibu dan sang adik di dalam kamarnya. “Kakak habis nangis? Matanya sembap.” Devi menunjuk wajah Dave yang masih sembap setelah memerhatikannya dengan jelas. “Dave, kami tunggu di meja makan. Mama membawakan sarapan untukmu.” Sebelum Devi lebih jauh mengejek Dave, Vanya langsung menyela. “Iya, setelah mengganti baju aku akan menyusul kalian,” sahut Dave tanpa menjawab pertanyaan adiknya. “Selamat pagi, Tha, Sha. Semoga hari ini Papa mendapat petunjuk mengenai keberadaan kalian,” Dave menyapa anak dan istrinya melalui foto, kemudian menciumnya bergantian. Vanya dan Devi yang mengintip dari celah pintu sangat terharu melihatnya. “Kasihan juga Kak Dave ya, Ma. Tapi ini sepadan dengan kelakuannya dulu,” gumam Devi setelah melihat kondisi kakaknya. “Tidak boleh begitu, Dev. Setiap orang pasti pernah melakukan kekeliruan atau kesalahan, termasuk Kakakmu. Namun Mama sangat bersyukur, saat ini Kakakmu sudah menyadari dan ingin menebusnya,” Vanya menasihati putrinya dengan bijak. “Artinya, apakah sekarang Mama akan memberi perunjuk kepada Kak Dave mengenai keberadaan Kak Nath dan keponakanku yang lucu itu?” selidik Devi. Mereka sudah menjauh dari kamar Dave. “Tentu saja tidak, Sayang. Mama sudah berjanji tidak akan ikut campur terlalu banyak dengan rumah tangga mereka,” sanggah Vanya. “Mama takut kan tidak diizinkan bertemu cucu Mama yang menggemaskan itu?” goda Devi. “Sebenarnya Mama sangat ingin mengajaknya jalan-jalan di sini, tapi takut Kakakmu melihat,” ujar Vanya sedih karena harus memendam keinginannya. “Bersabarlah, Ma, percayalah hari membahagiakan itu tidak akan lama lagi. Saatnya tiba nanti, kita bisa sepuasnya menemani balita mungil itu bermain.” Wajah Devi berseri-seri membayangkan keluarga mereka cepat berkumpul. “Semoga saja, Sayang. Ingat jangan sampai rahasia ini bocor!” Vanya dengan tegas mengingatkan putrinya. “Tenang saja, Mama.” Devi mengecup pipi ibunya tanda setuju. *** Dave menatap malas undangan di tangannya. Bukan undangan pernikahan, melainkan pembukaan cabang studio foto milik salah satu sahabatnya. “Iya, aku pasti datang,” Dave menjawab dengan kesal telepon dari pemilik undangan yang baru saja diterimanya. “Jangan mengejekku, Ren. Vivian sudah tidak mungkin bisa menemaniku setiap saat. Dia kan sudah ada yang memiliki, jadi aku harus tahu diri,” jawab Dave saat sang sahabat menyuruhnya membawa Vivian sebagai pasangannya. “Ya sudah, aku mau menyelesaikan sisa pekerjaanku dulu, biar nanti sore bisa berangkat. Oh ya, congrats atas dibukanya lagi cabang usahamu, Ren,” ujarnya sebelum menyudahi pembicaraan. “Tha, nanti aku mau ke kota kelahiranmu, semoga kedatanganku kali ini menemui sedikit petunjuk mengenai keberadaanmu dan putri kita,” gumam Dave setelah mengecup bergantian foto istri dan anaknya yang setia berdiri di atas meja kerjanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN