Chapter 4

1121 Kata
Donna dan Bi Rani tersentuh mendengar kepedulian balita yang sangat menggemaskan ini terhadap ibunya. “Nenek sudah membuatkan s**u untuk Mama, Sayang.” Bi Rani kembali mendekatkan s**u milik Della. “Mama di mana, Dell?” Donna menanyakan keberadaan Nath yang belum bergabung bersama mereka. “Di kamar,” jawabnya sambil mulai menikmati roti bakarnya. “Itu Mama datang,” tunjuknya saat mendengar suara heels milik sang ibu. “Pagi semua,” sapa Nath sambil menghampiri meja makan. “Pagi. Kakak sakit?” Donna memerhatikan wajah Nath yang sedikit pucat. “Cuma sedikit pusing dan agak meriang saja, tapi kalian tidak usah khawatir,” jawab Nath setelah duduk di samping putrinya. “Kenapa susunya belum diminum, Dell?” Nath menatap wajah anaknya yang sudah belepotan akibat remahan roti bakar. “s**u Della buat Mama saja, supaya Mama sehat. Kan Mama sedang pusing,” jawab Della dengan polosnya. “Mama sudah tidak apa-apa, Sayang. Sekarang Della habiskan susunya.” Della mengangguk, takut ibunya marah karena dia membantah ucapannya. “Sebaiknya hari ini kamu istirahat saja, Nath. Wajahmu jelas terlihat pucat,” saran Bi Rani yang sudah ikut duduk untuk sarapan bersama. “Kalian tidak usah berlebihan, aku tidak apa-apa,” Nath sekali lagi menyatakan kondisinya baik-baik saja. “Tante, nanti pulangnya belikan Della ikan lagi ya,” celetuk Della saat yang lain sibuk menikmati sarapannya. “Boleh, mana uangnya?” canda Donna sambil menadahkan tangannya. “Mama, Della minta uang buat beli ikan,” Della meminta kepada ibunya dengan nada merayu, sehingga membuat semuanya tertawa gemas. *** Dave menggeliatkan tubuh lelahnya di atas ranjang salah satu kamar hotel yang disewanya kemarin malam. Dengan malas dia mengambil ponselnya yang terus saja berdering. Dia mengembuskan napas kesal saat melihat nama yang tertera. “Hmm,” jawabnya malas. “Iya, aku baru bangun.” Dave mengelus bingkai foto yang selalu dibawanya ke mana pun pergi. “Iya, aku tahu. Bukankah acaramu jam sepuluh pagi? Ini baru jam setengah delapan.” Dave melirik jam tangannya yang lupa dia lepas. “Ya sudah, aku mau siap-siap sekarang. Bye.” Dave mengusap wallpaper foto anak dan istrinya yang sudah dia edit pada ponselnya. “Selamat pagi, Sayang,” sapanya sambil tersenyum sedih. “Papa merindukan kalian,” tambahnya. *** Seperti biasa Nath membalas sapaan karyawan yang menyapanya dengan ramah, meski saat ini kondisi tubuhnya sedang tidak stabil. Dia mengernyit saat melihat office boy membawa karangan bunga besar berisi ucapan selamat saat menuju lantai ruangannya. “Pak, ini untuk siapa?” tanya Nath bingung. “Semoga kamu menyukai desainnya, Nath. Ini mau aku kirim ke pembukaan studio foto milik Pak Daniswara di seberang,” Lila, sekretaris Nath menjawab. “Oh iya, aku lupa.” Nath menepuk keningnya. “Ya sudah bawa saja sekarang ke sana, mumpung acaranya belum mulai,” suruh Nath kepada office boy tadi. “Baik, Mbak. Saya permisi dulu,” pamitnya. “Hari ini kan pembukaannya, La? Kamu saja yang mewakiliku hadir di sana ya, hari ini aku kurang enak badan,” pinta Nath kepada Lila. “Baiklah, Nath. Pantas saja wajahmu pucat. Kenapa tidak istirahat saja di rumah?” Lila meneliti wajah pucat Nath. “Pekerjaanku masih banyak. Bagaimana aku bisa beristirahat dengan nyenyak jika pekerjaanku masih memenuhi meja?” jawab Nath bercanda. “Ya sudah kalau itu yang terbaik untukmu, tapi ingat jangan terlalu dipaksakan.” Lila menepuk pundak atasan sekaligus sahabatnya. “Terima kasih, La. Oh ya, sampaikan ucapan selamatku kepada Pak Daniswara, semoga usahanya berjalan lancar dan sukses.” Setelah selesai berbincang sebentar, Nath menuju ruangannya untuk memulai aktivitasnya, dan Lila pun bersiap menghadiri pembukaan studio foto yang letaknya di seberang unit gedungnya bekerja. *** Nath merasa tubuhnya semakin tidak enak. Bahkan keringat dingin terus saja dirasakan keluar sehingga membuat tubuhnya lengket dan gerah, padahal ruangannya sangat sejuk. Dia memanggil sekretarisnya melalui intercom agar ke ruangannya. “Ada yang bisa aku bantu, Nath?” Lila mengerutkan kening setelah memasuki ruangan atasannya. “Kamu baik-baik saja, Nath?” tanyanya khawatir saat melihat wajah Nath lebih pucat dari tadi pagi. “Sepertinya tubuhku benar-benar perlu istirahat. Tolong kamu bereskan meja kerjaku, La. Aku mau pulang lebih awal,” ujar Nath memaksakan diri. “Aku akan mengantarmu ke dokter dulu, setelah itu baru pulang. Wajahmu pucat sekali. Tunggu sebentar, aku akan membereskan mejamu. Kamu berbaring saja dulu di sofa.” Lila membimbing Nath agar berbaring pada sofa. Selanjutnya, dengan cekatan dia membereskan meja kerja Nath yang masih berisi beberapa map. “Sebelumnya terima kasih, La,” ujar Nath pelan sebelum memejamkan matanya. “Sama-sama, Nath. Kamu juga sudah sering membantuku,” balas Lila. “Sekarang istirahatlah dulu, sebentar lagi aku selesai,” tambahnya. *** Della terus saja rewel dan menangis saat melihat Donna tidak pulang bersama ibunya. Meski tadi sang ibu sudah menghubunginya untuk mengabarkan keberadaannya, tapi tetap saja tidak membuat Della berhenti bertanya. Donna sendiri sudah memberi tahu bibinya bahwa Nath sedang ke dokter. “Nenek, ini sudah malam kenapa Mama belum pulang juga? Della kangen Mama,” ucap Della sambil terisak. “Kenapa Nath lama sekali? Ini sudah jam sembilan malam, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya,” batin Bi Rani bertanya-tanya. “Sebentar lagi Mama pasti pulang, Sayang. Della tidur duluan saja, nanti kalau Mama sudah pulang, Nenek akan membangunkan Della,” bujuk Bi Rani yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Della. “Mama ... Mama ... Mama ...,” Della kembali menangis sambil memanggil ibunya. “Bi, Kak Nath dirujuk ke rumah sakit. Kak Nath kena gejala tifus,” bisik Donna yang baru saja mendapat kabar dari Nath langsung melalui telepon. “Ya Tuhan, terus sekarang bersama siapa dia di rumah sakit?” balas Bi Rani berbisik agar Della yang sudah mulai tertidur karena lelah menangis, tidak terbangun. “Untuk sementara Mbak Lila yang menjaganya, Bi. Kalau begitu aku bersiap dulu, menggantikan Mbak Lila. Della tidur sama Bibi saja malam ini.” Setelah bibinya menyetujui, Donna bergegas membawakan keperluan Nath. *** Donna yang sudah siap berangkat ke rumah sakit beradu pandang dengan Bi Rani saat mendengar suara Zelda di balik pintu. Della sudah dibaringkan di kamar Bi Rani setelah tidurnya lelap. “Ada apa Zelda malam-malam begini bertamu?” tanya Bi Rani pada Donna yang menggeleng. Mereka bergegas menuju pintu. “Untunglah kalian belum tidur,” ucap Zelda terengah saat ketukan pintunya berbalas. “Ada apa, Kak?” tanya Donna cemas saat melihat Zelda mengelus perutnya. “Kalian punya betadine? Punyaku habis,” balas Zelda sambil mengatur napasnya. “Siapa yang terluka, Zel? Andri? Kenapa dengan suamimu?” cecar Bi Rani panik. Zelda tersenyum. “Bukan Andri, Bi. Temannya Andri. Lukanya tidak parah, cuma lecet-lecet saja. Katanya jatuh dari motor. Kalau kalian punya, boleh aku minta dulu?” jelas Zelda menenangkan. “Tentu saja boleh, Kak. Tunggu sebentar ya, aku ambilkan dulu.” Donna segera mengambilkannya di kotak obat. “Syukurlah, cuma lecet-lecet saja. Berarti teman Andri menginap di rumah kalian? Rumahnya jauh?” Bi Rani memastikan. “Iya, Bi. Terpaksa, apalagi ini sudah malam. Dia dari Denpasar, Bi,” beri tahu Zelda. “Ini, Kak.” Donna menyerahkan obat yang diminta Zelda. “Aku pulang dulu ya, terima kasih sebelumnya dan maaf sudah mengganggu istirahat kalian,” Zelda berpamitan. “Hati-hati, Zel,” seru Bi Rani saat melihat Zelda berjalan sedikit cepat. “Bi, aku berangkat sekarang.” Donna juga berpamitan. “Kabari Bibi kalau kamu sudah sampai, Nak.” Donna mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN