Aku tersenyum dan menatap wajah lelaki yang bernama Dave itu, yang akan menjadi pembimbingku, aku tidak bisa menahan wajah meronaku karena harus menatap wajah setampan itu. Dia tampan sekali, memiliki karisma yang mematikan bagi wanita pada umumnya, kedewasaannya juga telah menjadi nilai plus yang akan membuat semua wanita menyukai itu. Aku bisa memastikan bahwa usianya hampir 30 tahun.
Aku berdiri dan menunggu apa yang akan dikatakan lelaki tampan itu, aku terus menunggu dan tidak beranjak dari tempatku, sesaat kemudian aku menoleh dan melihat seluruh staf bekerja dan menatap layar monitor mereka. semuanya terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Di ruangan ini sangat luas, mereka bekerja mengenakan bilik masing-masing.
Tatapan mataku kembali mengarah pada Dave, itu lah yang akan aku gunakan untuk memanggilnya mulai sekarang, bukan hanya Dave, tapi Tuan Dave.
Aku melihat seorang wanita berjalan hati-hati menghampirinya, wanita itu berambut merah menyala dan melihatnya membawa segelas kopi, lalu menaruhnya diatas meja kerja Dave.
“Silahkan menikmatinya,” ucap wanita itu.
“Tidak perlu—”
“Mohon di terima, ya,” kata wanita itu lalu melangkah meninggalkan Dave.
Ternyata lelaki yang juga aku kagumi itu banyak disukai wanita, aku jadi merasa banyak saingannya, anggap saja aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada lelaki yang sudah menyelamatkanku, meski aku bukan tipe wanita yang akan semudah itu jatuh hati. Tapi lelaki yang dihadapanku itu membuktikan bahwa aku cepat move on dari Amrie.
“Kamu kenapa berdiri di situ terus?” tanya Dave membuatku mengangguk.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Duduk dan pilih semua dokumen ini, kamu bisa memisahkannya,” jawab Dave membuatku mengangguk dan duduk disampingnya. Aku terkejut ketika kursi yang akan aku duduki malah berjalan sendirian, aku pun menarik kursi itu dan duduk tepat disamping Dave.
“Semua memiliki logo A dan seterusnya. Jadi pisahkan dari A sampai Z,” katanya lagi.
“Baik, Tuan,” jawabku.
Segelas kopi yang wanita berambut merah itu berikan padanya, diberikan padaku, membuatku menautkan alis dan menatap wajahnya.
“Minumlah,” katanya.
“Tapi—”
“Minum saja daripada aku buang,” katanya lagi membuatku terpaksa menerima kopi pemberian wanita berambut merah itu, aku menoleh dan melihat wanita yang tadi membawa segelas kopi ini sedang melihatku penuh amarah. Mereka pasti menganggap aku yang meminta kopi ini. “Dan berusaha lah untuk disiplin.”
“Iya, Tuan,” kataku.
“Disiplin kerja adalah suatu alat yang dipergunakan para atasan untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesedian seorang dalam memenuhi segala peraturan perusahaan. Kamu paham?” tanyanya.
Aku melongo dan menganggukkan kepala. “Paham, Tuan.”
“Antarkan dokumen ini ke Clarisa,” katanya.
“Baik, Tuan,” jawabku lagi dengan lembut, lalu bangkit dari dudukku untuk menuju ruangan manager.
Aku mengetuk pintu dengan dinding kaca tersebut lalu masuk membawa dokumen ini, manager bernama Clarisa itu menautkan alis menatapku, sepertinya bukan aku yang ia harapkan datang di ruangannya, melihat wajahnya yang penuh kecewa, ia pun menghela napas panjang dan menundukkan kepala.
“Mengapa Dave menyerahkan ini padamu? Kenapa dia tidak mengantarkannya sendiri?” tanya Clarisa membuatku menggeleng karena tidak tahu apa masalahnya.
“Saya tidak tahu, Nona,” jawabku.
“Lain kali jika dia menyuruhmu membawa sesuatu untukku, katakan padanya kamu tidak bisa, atau cari alasan lain agar dia sendiri yang membawanya untukku,” kata Clarisa membuatku menautkan alis, tidak mungkin aku melakukan itu. “Kembali lah untuk bekerja.”
Aku pun melangkahkan kakiku keluar dari ruangan dingin ini, sangat dingin hingga aku menggigil. Aku hendak menghampiri Dave yang kini masih bekerja dan memilah dokumen itu. Namun, langkahku terhenti ketika sebuah tangan lagi-lagi menarikku, aku menoleh dan melihat wanita yang membawa segelas kopi untuk Dave kini menatapku penuh amarah. Wanita itu membawaku ke gedung belakang dimana tak ada siapa pun.
“Kenapa kamu yang meminum kopi itu yang aku berikan pada Dave?” tanyanya penuh amarah.
“Tuan Dave sendiri yang memberikannya untukku, aku tidak memintanya,” jawabku.
“Lalu kenapa kamu menerimanya?”
“Dia memaksaku,” jawabku lagi.
“Hallah. Kamu memang karyawan baru yang tidak tahu diri, ya, baru saja masuk kerja, kamu sudah mulai membuatku marah.”
“Aku benar-benar tidak bisa menolak, Nona,” kataku.
“Kamu suka sama Dave juga?” tanyanya. Pertanyaan yang sensitif.
“Tidak.”
“Lalu kenapa kamu menerima kopi itu? Harusnya kamu tolak saja dan cari alasan lain. Aku itu antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan kopi kesukaannya. Jadi jangan membuatku marah dengan sikapmu ini,” kata wanita berambut merah yang kini menatapku penuh kilatan amarah.
“Apa kamu tidak melihatnya bahwa dia itu angkuh?” tanyaku.
“Apa?”
“Dia itu tidak akan pernah meminum kopi pemberianmu, jadi tidak usah memberikannya,” kataku lagi.
“Lancang kamu, ya,” wanita itu hendak menamparku, namun aku menghentikan tangan yang hampir saja mengenai pipiku, aku tidak tahu mengapa ia terlihat sangat marah padaku hanya karena persoalan kopi. Aku tahu dia menyukai Dave, namun bukan begini caranya, melampiaskan kemarahan pada orang yang tidak bersalah sepertiku.
“Jangan pernah bermain denganku, aku bisa membuat waktumu menjadi singkat di perusahaan ini,” ancam wanita itu lalu meninggalkanku. Aku menghela napas panjang, aku harus sabar menghadapi sikap semua orang yang menganggap mungkin aku saingan, karena prasangka orang tak ada yang bisa mengaturnya.
Ku langkahkan kakiku kembali ke ruangan dimana semua staf sedang bekerja, aku menghampiri Dave yang kini masih fokus pada layar monitornya, aku seperti seseorang yang terabaikan di sini, aku tidak punya pekerjaan selain melihat apa yang orang lain lakukan, sedangkan semua temanku yang baru masuk bekerja, sudah terlihat sibuk.
Aku menghela napas dan hendak duduk disamping Dave, namun kakiku terkilir, lalu aku terjatuh dipangkuannya, ia terkejut begitu pun aku. Mata kami bertemu, ada hangat yang menyeruak hebat sampai ke relung hatiku, aku tidak ingin turun dari pangkuan ini, pangkuan ini terlalu hangat.
Semua orang menatap kami, namun kami tidak kunjung saling melepaskan diri, ku rasakan tangannya dipinggangku, lembut dan hangat sekali. Jika aku dituding merebut Dave dari mereka yang menyukainya, aku tidak bisa katakan apa pun, selain aku ingin memilikinya juga.
“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya membuatku melepaskan diri dan bangkit dari dudukku. Aku tersipu malu dan tidak bisa mendongak ketika melihat tatapan matanya.
“Maafkan aku, Tuan, aku tidak sengaja,” jawabku. Klise memang tapi tidak ada yang bisa ku katakan selain maaf.
Ku lihat ia menggelengkan kepala dan kembali menatap layar monitornya.
“Lanjutkan pekerjaanmu,” katanya membuatku mengangguk dan kembali fokus pada meja kerja yang kini terlihat berantakan karena dokumen yang harus aku pilih dan pisahkan.
Aku menghela napas halus dan meraba dadaku yang masih mengeluarkan suara detak jantungku yang hebat. Mengapa sentuhan itu hangat sekali? Apa yang telah aku lakukan? Aku harus sadar bahwa semua ini salah.