Chapter 4 - Her purpose in life

1558 Kata
Pernikahan antara Theodore Gabriel Hamilton dengan Arienne Liliana Dalton dilangsungkan dengan meriah. Kedua keluarga yang cukup berkuasa itu akhirnya bersatu dalam ikatan pernikahan, yang tentunya membuat Maurice Dalton cukup gembira. Akhirnya, ia memiliki sosok seorang anak lelaki yang selama ini diinginkannya dalam diri Theodore Hamilton. Ia juga mengira bahwa akan ada merger di antara dua keluarga, membuat kekuasannya semakin meningkat nantinya. Kekuasaan yang bertambah, berarti uang yang akan lebih melimpah. Uang yang melimpah, maka semakin banyak pula wanita yang akan tergila-gila padanya nanti. Sama sekali tidak terfikir olehnya, mengenai apakah anak perempuannya bahagia atau tidak dengan pernikahannya. Kegembiraan pria baya ini berakhir ketika menantu yang baru mengucapkan sumpah satu hari yang lalu, menjatuhkan bom di ruang makan keluarga malam itu. "Jadi, karena keluarga Dalton dan Hamilton sudah bersatu maka aku kira tidak ada salahnya membicarakan mengenai kemungkinan bisnis di antara keluarga kita bukan, Theodore? Lagipula, kita sudah menjalin kerjasama yang baik selama beberapa tahun ini di bidang batu bara. Tidak rugi bukan kalau ada kemungkinan merger di antara perusahaan keluarga?" Mendengar perkataan itu, Gabriel menyenderkan punggungnya di kursinya dan meneguk anggurnya santai. "Merger? Maaf, tapi aku tidak mengingat adanya pembicaraan mengenai merger sebelumnya, Maurice." Kedua mata Maurice mengedip cepat, sadar dengan kesalahannya. Tidak mau membuat Gabriel tersinggung, pria baya itu mengangkat gelasnya tinggi. "Maaf. Maaf. Bukan maksudku tidak sopan seperti ini. Tapi aku kira dengan track record kinerja Dalton corp. selama ini, aku kira tidak ada salahnya dari HGC untuk mempertimbangkan kemungkinan merger bukan, Theo? Setidaknya dengan salah satu anak usaha kita?" Pertanyaan itu hanya membuat Gabriel mengerling pada isterinya yang terlihat tenang memotong-motong steak di sebelahnya. Tampak pria itu tersenyum samar sambil meletakkan salah satu tangannya di tangan isterinya yang sedang memegang pisau. "Honey? Kau belum mengatakan apapun pada papamu?" Panggilan itu membuat Arienne menghentikan kegiatannya dan memandang suaminya. Tahu arti tatapan suaminya, wanita itu meletakkan pisau dan garpunya dengan pelan. Ia menatap ayahnya dan berkata tenang. "Papa. Aku dan Gabriel sepakat untuk tidak mencampur-adukkan antara urusan pekerjaan dengan kehidupan pernikahan kami." Kata-kata anak perempuannya yang perlahan mulai memasuki otaknya, membuat amarah Maurice perlahan timbul ke permukaan. "Apa maksudmu, Arienne? Tolong jelaskan, karena papa tidak mengerti." "Meski aku sudah menikah dengan salah satu dari Hamilton, namun itu tidak menjamin kalau Dalton dan Hamilton akan menjalin kerja sama nantinya. Dan Gabriel juga menginginkan agar aku tidak bekerja lagi di perusahaan. Jadi, aku akan mengundurkan diri segera setelah aku pindah ke rumahnya." Tubuh Maurice terlihat bergetar sekarang. Sangat jelas pria baya itu sedang menahan amarahnya yang sudah menuju puncak. "Kau sama sekali tidak pernah membicarakan mengenai kemungkinan itu pada papa, Anne! Dan Papa juga tidak akan mengizinkan kau untuk resign dari perusahaan!" Tangan Arienne yang berada di atas meja terlihat mulai mengepal. Nada suaranya rendah ketika ia bersuara kembali. "Papa..." "Kalau kau berniat keluar dari perusahaan, maka kau harus keluar dari rumah ini dan dari keluarga Dalton, Arienne! Untuk selamanya! Papa tidak akan pernah memberikan warisan apapun padamu saat mati nanti!?" "Maurice! Sadarlah! Dia itu anak kita satu-satunya!" Pada akhirnya ibunya bersuara. Setelah selama ini tidak pernah terlihat membela anak satu-satunya. Dan Arienne sudah tahu, kalau ibunya membela dirinya hanya agar tidak kehilangan jatah warisan dari suaminya nanti. "Diam kau, Jane! Dasar kau anak yang durhaka! Percuma aku memiliki anak perempuan sepertimu! Kalau kau memang tetap mau mengikuti keinginan suamimu, maka silahkan saja! Tapi jangan harap kau akan diakui sebagai Dalton!" Hati Arienne terasa perih. Baru kali ini ia berani untuk melawan ayahnya, dan mendapatkan reaksi yang sangat keras. Apakah belum cukup ia menunjukkan dedikasinya sebagai seorang anak selama ini? "Papa... Aku selalu menuruti kata-katamu. Aku selalu melakukan yang papa inginkan. Apakah tidak boleh aku mengambil keputusan sendiri saat ini?" Dengan marah, Maurice membanting gelas tingginya ke atas meja dan menumpahkan sebagian isinya. "Kau dilahirkan untuk mewarisi perusahaan keluarga Dalton! Kau ada di dunia ini hanya untuk itu! Kalau kau tidak mau melakukannya, maka lebih baik kau segera angkat kaki dari sini!" Perkataan Maurice benar-benar telah menyakiti hati Arienne. Meski tahu kalau ayahnya selama ini hanya menyayangi kemampuan berbisnisnya, tapi ia tidak mengira kalau pria baya itu akan setega ini mengatakan kalimat dingin itu pada anaknya sendiri. Sedikit bergetar, ia menoleh pada ibunya yang terlihat langsung menunduk. "Mama? Benar yang dikatakan oleh papa? Aku dilahirkan hanya untuk tujuan melanjutkan perusahaan keluarga?" Tidak mendapat jawaban apapun dari ibunya, dengan tenang Arienne bangkit dari duduknya. Tampak emosi wanita itu sangat terkontrol dan ia tersenyum simpul. Bola matanya menyorot dingin saat menatap kedua orangtuanya. "Well, terima kasih untuk pemberitahuannya yang mendadak. Hal ini semakin membuatku membuka mata, papa. Ternyata kalian sama sekali tidak pernah menyayangiku, bukan?" Terkekeh pelan, wanita itu menoleh pada suaminya yang masih memandanginya dengan datar. "Kamu dengar sendiri kan, Gabe? Aku sudah diusir dari rumah ini. Apa kamu masih bersedia untuk menampungku? Karena sekarang aku sudah tidak punya rumah dan juga pekerjaan karena dirimu, honey." Mengikuti isterinya, Gabriel berdiri dari duduknya. Ia menghela tubuh isterinya untuk mendekat padanya dan memberikan pandangan yang sangat dingin pada kedua mertua yang masih duduk di depannya. "Maurice. Karena kau telah melepaskan tanggungjawabmu pada Arienne, maka aku tidak akan sungkan lagi. Mulai hari ini, Arienne akan tinggal denganku dan sebagai isteriku yang sah. Kau tidak ada kewajiban lagi untuk menafkahinya, karena itu sudah menjadi urusanku mulai detik ini. Dan aku harap, kau tidak lagi menganggunya untuk urusan-urusan lain selama tidak mendapatkan izin dariku." Pandangan Maurice tampak nanar saat melihat pasangan suami-isteri itu mulai melangkah ke arah pintu keluar. Tidak menyangka sama sekali kalau Arienne akan menerima keputusannya begitu saja. Tanpa diinginkannya, pria baya itu mulai merasa takut. Ia takut kehilangan anaknya. "Anne!?" Seruan itu berhasil membuat Arienne berhenti sejenak dari langkahnya. Wanita itu menoleh dan kembali senyum cantik terlihat di bibirnya yang merah muda. "Terima kasih papa, sudah memberikan tempat dan juga makanan untukku selama ini. Aku memang anak yang tidak tahu diri. Jaga dirimu." Itu adalah terakhir kalinya Maurice melihat sosok anaknya. Setelah kepergian Arienne, Dalton corp. semakin lama semakin merosot dan akhirnya hanya menyisakan satu bisnis saja yang berhasil dipertahankan oleh Maurice. Dan bisnis itu adalah bisnis batu bara, yang masih dapat bertahan karena mendapatkan sokongan dana yang besar dari perusahaan Hamilton. Setelah ditinggal anak perempuannya, Maurice Dalton seolah kehilangan tangan dinginnya dalam mengelola perusahaan. Ia tidak menyadari kalau ia sangat menyayangi anaknya, sehingga kepergian anak gadisnya itu sangat mempengaruhi psikologisnya dengan kuat. Hubungannya dengan isterinya yang sudah tidak baik, semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Maurice menjadi sering minum-minum dan bermain dengan para wanita dengan lebih sembarangan. Yang pada akhirnya pria baya itu pun terkena serangan jantung, ketika sedang bersama dengan salah satu selingkuhannya di kamar hotel. Saat itu Arienne sedang berada di ruangan perpustakaan ketika mendapatkan telepon dari rumah sakit. "Halo?" Wanita itu yang tadinya sedang mengetik sesuatu di komputernya tiba-tiba menegang. Wajahnya pun tampak serius mendengarkan perkataan seseorang yang ada di telepon. "Saya akan segera ke sana!" Selesai mengatakan hal itu, Arienne langsung lari mengambil kunci mobilnya dan melajukan kendaraannya menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, tetes demi tetes air mata mengaliri pipinya ketika bongkah penyesalan semakin lama, semakin membesar dalam d*danya. Sampai di rumah sakit, bukannya pelukan yang diterimanya tapi ia malah mendapatkan tamparan di pipinya, dan itu dilakukan oleh ibunya sendiri. "Kau!? Ini semua gara-gara kau!" Arienne hanya bisa memegang pipinya yang terasa perih karena pukulan itu. Pandangannya tampak nanar. "Mama? Papa...?" "Maurice sudah mati...! Dia sudah mati dan itu karena dirimu, kau anak tidak tahu diuntung!?" Penuh kemarahan, Jane menjambak rambut anak perempuannya sendiri. Wanita baya itu sangat histeris, membuatnya tidak sadar telah melakukan tindak kekerasan pada anaknya. Butuh dua orang petugas keamanan untuk memisahkan keduanya. Jane yang tampak belum bisa mengontrol dirinya, membuat salah satu dokter terpaksa memberinya obat penenang. Setelah berhasil mengatasi salah satu pasien, dokter itu berpaling pada wanita muda yang tampak berdiri dalam diam. Rambutnya yang tadinya acak-acakan, tampak dirapihkan oleh jari-jari lentiknya dengan sangat tenang. "Anda tidak apa-apa?" Arienne mengerjapkan matanya cepat. Ia mengangkat kepalanya dan ekspresinya yang datar membuat alis sang dokter mengernyit dalam. "Ya. Saya tidak apa. Ayah saya? Maurice Dalton?" Ketenangan wanita muda di depannya ini membuat sang dokter sedikit terkejut, apalagi saat membicarakan seorang pasien pria yang ternyata telah meninggal. "Tuan Dalton telah meninggal dunia. Beliau ada di kamar rawat VIP, menunggu untuk prosesi pemakaman dari keluarga." Ragu-ragu sang dokter bertanya, ketika melihat wanita muda di depannya ini hanya terdiam. "Nona? Apakah Anda keluarga dari Tuan Dalton?" Hanya anggukan pelan sebagai jawabannya. Suara wanita itu terdengar mantap dan tidak ada rasa sedih di dalamnya. "Ya. Saya anaknya. Saya yang akan mengurus administrasinya." Dan dalam waktu singkat, tubuh pria yang merupakan ayah kandungnya telah terkubur di kedalaman 2 meter di bawah tanah. Melihat gundukan tanah yang masih basah itu, Arienne hanya mampu mengedipkan matanya dengan cepat. Berusaha menghalau air mata yang mengancam ingin turun. Selama beberapa saat ia melakukannya, dan pada akhirnya aliran air yang deras pun tidak mampu dibendungnya. Hari itu Arienne menangis pilu. Ia telah kehilangan ayahnya. Meski tahu kalau hidupnya selama ini berantakan karena ulah kedua orangtuanya, tapi tetap saja ayahnya-lah yang paling berjasa membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Pria itulah yang membesarkannya, dan bukan ibunya sendiri. Bagaimana pun, ia telah berhutang budi pada pria baya itu. Dalam hatinya, wanita itu menyayangi ayahnya. Dan malangnya sampai mati pun, ia tidak pernah dapat mendengar Maurice Dalton mengucapkan kata sayang pada dirinya. Padahal pria baya itu, juga sangat menyayangi puteri satu-satunya. Dan ia terlambat menyadarinya sampai kematian datang menjemputnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN