Basah Kuyup

1634 Kata
Pergerakan tangan Ben masih terhalau oleh dress serta strapless brȧ yang melekat di tubuh Adel, namun tak membuatnya urung untuk mempermainkan benda di baliknya. Makin liar, tak lagi mampu terkendali, ia meremas sesuka hati. Lalu bergerak pelan, memutar. Dengan ujung ibu jarinya, mulai dari bagian terluar hingga bagian puncak benda kembar itu. Jelaslah napas Adel menderu dengan kencang, perutnya naik turun dengan cepat. Belum lagi geliat-geliat kecil yang ia lakukan saat Ben telah berada di atas tubuhnya dengan sempurna. Satu tangan pria itu menyangga tubuhnya, sementara tangan lain melakukan tugasnya di dȧda Adel. “Benh ….” Adel menyebut nama pria itu. Diiringi desah lirih di ujung nama Ben. Padahal sudah berusaha untuk meredam desahannya, tetap saja tak mampu karena gerakan tangan Ben yang tak terhenti. Sedikit kewarasan Adel masih mengambil alih. Karena itu, ia menyempatkan untuk memanggil pria itu, dengan niat menghentikannya. Tapi panggilan tersebut justru memancing keinginan Ben untuk makin memanjakan Adel. Ia tak menghiraukan panggilan tersebut. Lebih berfokus pada hal yang ingin ia lakukan. Ia menarik dress yang sudah berantakan itu agar tak lagi menghalaunya dari apa yang ingin ia lihat. Adel menggeleng, pertanda penolakan. Tak peduli akan penolakan Adel, Ben tetap menarik dress tersebut. Menyisakan strapless brȧ berwarna krem yang membungkus dȧda Adel. “Ben!” Adel memanggil dengan tegas. “Apa aku tidak boleh melakukannya?” Ben menuntut. Adel terdiam, seluruh tubuhnya ingin mengiyakan. Semuanya, mulai dari tatapan matanya yang jelas-jelas berbinar menyuarakan keinginan kuat dalam dirinya, seolah meminta Ben untuk melanjutkan. Atau tiap geliat tubuhnya yang jelas-jelas adalah penerimaan. Bahkan tiap desahan yang keluar dari mulutnya adalah pembenaran atas keinginan yang terlalu lama ia redam. Tapi, sebuah suara di sisi paling dalam hatinya berteriak. Agar ia tak melakukannya. “Kamu gak mau?” Ben bertanya lagi. Meski ia sudah tau bahwa Adel sangat menginginkan hal tersebut, selayaknya yang ia rasakan. Tapi, tetap ia ingin mendengar ucapan wanita itu. “Del?” “Hmm …,” hanya deheman lirih, penuh keputusasaan yang keluar dari mulut Adel. Matanya menyorotkan kekecewaan. Lantas ia mengatakan penolakannya. “Aku gak mau, Ben.” Ben mendengkus, “Kamu bohong, Del. Seluruh tubuhmu jelas-jelas menginginkan hal ini.” “GAK!” bantah Adel. “Gak?” Ben tertawa. “Terus kenapa matamu begitu kecewa saat mengatakan kalau kamu gak mau melakukan hal ini? Kenapa tubuhmu menggeliat, menikmati tiap sentuhanku? Atau justru tiap desahan yang keluar dari mulutmu? Bukankah itu menandakan bahwa kita sama-sama menginginkan hal ini?” Adel menggeleng. Tapi entah berapa kali pun ia menggeleng, Ben sudah tahu bahwa itu hanyalah kebohongan. “Atau kamu mau kita menikah dulu?” tanya Ben. “Jika ini tentang menikah, aku bersedia menikahimu detik ini juga,” lanjutnya dengan yakin. Adel mendorong pria itu dengan cukup kasar, tapi tenaga yang ia punya tak berhasil membuat Ben lengser dari atas tubuhnya. Ia justru berakhir meronta sambil memukul Ben. “Lepasin gue, Ben!” “Jawab aku dulu!” Adel membuang napas dengan kasar, ia menatap pria itu dengan geram. “Kenapa begitu mudah kau menyebut pernikahan? Apa pernikahan hanya sebuah gurauan di matamu? Saat kau butuh teman tidur, kau akan langsung menyebut tentang menikah? Begitu?” cecar Adel. Ben menggeram tak suka, selanjutnya ia turun dari atas tubuh Adel. Membuat wanita itu bernapas lega karena terbebas dari kungkungan Ben. Ben memilih duduk di tepian ranjangnya, dengan mata terfokus pada mata Adel, ia menatapnya dengan tajam. Menyalurkan segala emosinya pada wanita itu. “Jika yang kubutuhkan hanya teman tidur, hanya sekadar butuh pelampiasan untuk memenuhi kebutuhan séxualku, maka aku hanya akan membayar seseorang untuk tidur denganku. Tidak perlu terikat yang namanya pernikahan, hanya perlu memberinya uang dan wanita itu akan pergi seusai tugasnya selesai.” Adel tertunduk mendengar ucapan Ben. Perasaannya jadi kacau mendengar pria itu berucap dengan nada marah. “Aku mungkin bukanlah pria baik-baik, tapi jika yang kubutuhkan hanya untuk urusan séx, aku tidak akan sefrustasi ini menginginkanmu. Séx bisa kudapatkan dengan mudah, tapi yang kuinginkan adalah denganmu. Yang entah kenapa begitu murahan perasaanku ditanggapi.” Ben berdiri dari duduknya, ia mengembuskan napas dengan berat sambil menyugur rambutnya ke belakang. “Istirahatlah, menginaplah dulu di sini. Besok, aku akan mengantarmu pulang.” Setelah itu, Ben keluar dari kamarnya. Meninggalkan Adel yang merasa bersalah. Pintu kamar telah tertutup, sementara mulut Adel masih terbuka. Hendak mencegah pria itu pergi, tapi suaranya tak keluar untuk mengucapkan apa pun. Atau bahkan berlari mengejar pria itu. **** Adel terbangun di pagi hari dan ia malah sedang berada dalam pelukan Ben. Kegilaan macam apa yang ia lakukan semalam? Hal terakhir yang ia ingat adalah wajah kacau Ben saat pria itu meninggalkannya seorang diri di dalam kamar. Lantas saat ini, ia justru tidur bersama Ben. Lebih tepatnya dalam pelukan pria itu. Dengan terburu-buru, Adel menyingkap selimut untuk mengecek pakaiannya. Embusan napasnya yang lega terdengar saat ia melihat pakaiannya masih belum terlepas. Meski sedikit berantakan, tapi setidaknya ia masih berpakaian seperti yang ia kenakan semalam. Artinya, Ben tidak melakukan hal-hal aneh padanya. “Ah sial!” gerutu Adel. “Kenapa malah tidur sama ni orang sih?” Ia pelan-pelan bergerak menjauh untuk melepaskan diri dari tangan kokoh yang melingkari perutnya. Adel menahan napas hingga tangan tersebut lepas darinya. Dengan cepat ia segera turun dari tempat tidur lalu berjalan sambil berjinjit menuju sebuah pintu, yang di balik pintu itu, ia yakini sebagai toilet. Sebuah senyum merekah dari wajah Ben. Pria itu telah terjaga sejak pagi-pagi buta. Menikmati wajah lucu Adel yang tertidur dengan bibir mengerucut, entah sedang bermimpi dicium atau justru sedang mengambek. Tapi, hal itu begitu lucu di mata Ben. Membuat Ben berkali-kali mencuri kecup di kening wanita itu. “Argh … tidur sama dia kok ada yang tersiksa,” gerutu Ben sambil melirik bagian bawah tubuhnya. Bagian tersebut menggembung, menandakan ketersiksaannya dikurung di dalam celana sejak semalam. “Sabar … nanti kamu dikurung di … ‘dalam’ Miss Adel,” ujarnya dengan tangan yang mengelus benda di balik celananya itu seraya tersenyum miring. Pria itu melangkah pelan menuju toilet, ia mendorong pintunya dengan perlahan. Yang untungnya lupa dikunci oleh Adel karena wanita itu terlalu gugup saat terbangun dan ia berada di pelukan Ben. “Aaaakkhh!” jerit Adel. Lagi-lagi Adel hampir serangan jantung karena tangan Ben langsung merayap, melingkari perutnya. Mengelus-elusnya perlahan seolah ada bayi miliknya di dalam perut Adel. Adel yang sedang mencuci wajah saat itu segera berbalik dan melepaskan pelukan Ben. “Loe emang punya niatan bikin gue jantungan apa gimana sih? Katanya loe sayang sama gue, tapi kenapa loe kayak mau bunuh gue?!” omel Adel, selayaknya seorang istri yang mengomeli suaminya karena membuat isi lemari jadi berantakan. Omelan Adel disambut kekehan oleh Ben. Ia senang melihat wanita itu mengomelinya. Ia kembali merangkulkan kedua tangannya ke pinggang wanita itu, dan dengan cepat ia melabuhkan sebuah kecupan di keningnya. “Selamat pagi, calon istriku. Aku suka diomelin begini, jadi semangat.” “Calon istri … calon istri, enak aja.” Adel memukul lengan Ben sambil mengomel. Ia membalik tubuhnya untuk melanjutkan kegiatannya mencuci wajah. “Iya, emang enak.” Ben membalas. “Makanya, ayo kita men—” Ucapan Ben langsung terpotong saat Adel membalik tubuhnya menghadap pria itu. Dengan tatapan mata penuh amarah, membuat Ben tak lagi mampu melanjutkan ucapannya untuk meminta Adel menikah dengannya. “Ben, gak semua orang menggampangkan soal menikah!!” “Loh, kok menikah?” kilah Ben. “Maksudku, aku mau ngajakin kamu men-CUCI wajah bareng. Kan, kita baru bangun.” Adel membuang napas dengan kasar, kesal. Juga merasa malu. Ia menunduk sesaat, lalu menaikkan kembali pandangannya untuk menatap wajah yang sedang mengulum senyum karena mengerjainya. “Abis men-CUCI …,” Ben sengaja menekankan pada kata ‘mencuci’ untuk menggoda Adel. “… abis men-CUCI wajah, yah kita bisa lanjut men—” Ben menggantung ucapannya. Wajah Adel memerah, antara malu tapi juga kesal. Tapi karena penasaran, ia bertanya juga kelanjutan ucapan Ben. “Men … apa?” “Mau kamu apa, heum …?” tanya Ben sambil merapatkan tubuh pada Adel, kembali ia meraih pinggang wanita itu dalam rangkulan tangannya. “Maunya apa? Aku sih nurutin maunya kamu.” “Ah, terserah kamu,” ketusnya. Ia hendak melepaskan diri dari Ben, tapi Ben menahannya dengan cepat. “Habis men-CUCI wajah, bantu aku men—” Ben kembali menggantung ucapannya. “Apa sih, Ben?” Adel makin emosi. “Menulis thesis, Miss Adelku.” Adel menggaruk kepalanya, salah tingkah. “Biar aku segera men—” Ben kembali menggoda Adel. Semakin membuat Adel memberengut padanya. “Segera mendapatkan gelar S2.” “Ih, nyebelin banget sih.” “Loh, aku dibilang nyebelin. Emangnya sebagai pembimbing thesis-ku, kamu gak mau ngeliat aku kelar kuliahnya? Atau emang suka kalo aku selamanya jadi mahasiswa kamu?” “Ah, gak. Makin cepet loe lulus, makin tenang hidup gue, Ben.” “Padahal cita-citaku adalah untuk menjadi mahasiswa abadimu.” “Cih!” Adel mendorong tubuh Ben dengan cepat, lalu ia buru-buru keluar dari toilet meski ia belum benar-benar selesai mencuci wajah. “Semalam bilang mau jadi tukang pijatku selamanya, sekarang mau jadi mahasiswa abadiku. CIH!” omel Adel. Dari belakang wanita itu, Ben terkekeh sambil ia mengikutinya keluar dari toilet. Adel yang dalam keadaan kesal itu langsung menghempaskan tubuhnya di kasur, lalu ia memekik saat menyadari sesuatu telah terjadi padanya. “AKHH!!” “Kenapa?” tanya Ben dengan panik. Dengan terburu-buru, Adel berdiri. Ia meraba-raba tubuh bagian belakangnya yang basah. “Ben …,” panggil Adel dengan lirih. “Itu … itu, basah kuyup.” “Hah? Apanya yang basah kuyup?” “Itu … bajuku.” Adel mengangkat botol berisi essential oil yang dipakai oleh Ben untuk memijatnya semalam. Benda itu tidak dalam keadaan tertutup rapat, sehingga ketika Adel mendudukinya, terjadilah sesuatu yang Adel sebut dengan ‘basah kuyup’. “Ben, gimana dong? Itu basah kuyup?” “Gak usah panik, kita jemur aja biar kering.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN