Sekitar jam 6.45 malam, Ben sudah tiba di area parkiran gedung apartemen Adel. Ben tak naik karena ia dilarang oleh Adel. Entah apa yang disembunyikan oleh Adel hingga melarang Ben untuk sekadar menjemputnya di depan pintu.
Adel keluar dari apartemennya dengan penampilan yang luar biasa. Luar biasa menggoda mata para pria. Ia mengenakan dress panjang berwarna krem yang sangat pas di tubuhnya. Karena itu, lekuk-lekuk tubuhnya benar-benar akan memancing para pria untuk menelanjanginya. Gaun itu hanya memiliki tali kecil di bagian pundaknya.
Ben dibuat melongo melihat penampilan Adel saat wanita itu berdiri di hadapannya. Rasanya Ben ingin mengamuk karena tak rela jika tubuh Adel akan menjadi bahan pembicaraan para pria di pesta pernikahan Imel. Ingin mengamuk, tapi ia tidak bisa memungkiri jika ia sangat menyukai penampilan Adel malam ini. Penampilan yang sangat memanjakan matanya.
Karena melihat Ben masih sibuk memandanginya, Adel membuka pintu mobil milik Ben. Awalnya Adel sedikit berharap jika Ben akan membukakan pintu mobil untuknya. Namun, Ben terlalu sibuk dengan fantasi liarnya
“Ben, mau berangkat gak sih?” ketus Adel.
Kesadaran Ben akhirnya kembali, ia buru-buru masuk ke dalam mobil. Dan sepanjang perjalanan, Ben terus melirik ke kursi sampingnya. Alasannya sudah jelas, karena yang di samping adalah pemandangan yang sangat indah.
“Ben, gimana kalo saya yang nyetir?”
“Loh kenapa, Miss?”
“Biar kita tetap aman dan kamu bisa puas ngeliat saya.”
Ben menelan ludahnya dengan susah payah.
“Maaf, Miss.”
“Ben ….”
“Iya, Miss.”
“Haruskah kita balik dulu? Pakaian saya sepertinya terlalu berlebihan, kamu sampe ileran gitu ngeliat saya.”
Ben menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia jadi salah tingkah, mau melirik tapi tak enak hati. Tidak dilirik alangkah sangat ia sayangkan pemandangan indah itu untuk dianggurkan begitu saja. Membuat ia berkali-kali meneguk ludahnya sendiri dengan terpaksa. Ditambah sambil menghela napas panjang.
Anggap saja ini ujian, ujian pertahanan diri tingkat tinggi. Sebelum nanti ujian thesis. Ben menggumam dalam hati.
Mobil yang dikemudikan Ben akhirnya berhenti di pelataran sebuah hotel yang menjadi lokasi resepsi pernikahan Imel. Setelah Adel turun dari mobil, Ben buru-buru melepas jasnya dan memakaikannya pada Adel.
“Kenapa?”
Adel hendak melepaskan jas milik Ben yang kini sudah tersampir di pundaknya. Namun, dengan cepat ditahan oleh Ben, disertai dengan tatapan permohonan. Ben tidak akan rela untuk membagi tubuh Adel dengan pria lain, meski hanya untuk dipandang.
“Please, Miss ….”
“Kenapa?”
“Karena saya gak mau berbagi dengan pria lain.”
Ucapan itu membuat alis Adel sedikit terangkat, agak heran mendengar keberanian Ben. Dan entah kenapa, ia senang mendengar seseorang begitu memperhatikannya. Tanpa berpanjang lebar lagi, Ben menarik tangan Adel memasuki lobby hotel tersebut. Lalu keduanya berjalan menuju lift dalam keadaan tangan yang masih saling bertautan.
Adel sebenarnya sudah tahu jika Ben menaruh rasa padanya. Karena selama ini Ben selalu mengekori, mengajak makan, mengirimkan pesan yang sebenarnya terlalu berlebihan untuk ukuran hubungan antara mahasiswa dan dosen, serta segala macam perhatian pria itu.
Ben seringkali mengingatkan Adel untuk makan atau mengajaknya hang out berdua, lebih tepatnya berkencan dengan cara yang Ben selubungi dengan alasan ingin bimbingan. Lantas bagaimana perasaan Adel?
Entahlah, Adel menerima semua perhatian Ben tanpa menolak. Ia senang ada orang yang memperhatikannya. Terlebih karena Ben memang memperhatikannya dengan cara yang selama ini ia inginkan. Ia menginginkan seseorang yang bisa terus berada di sisinya, dan Ben berhasil membuat Adel merasa bahwa ia menemukan orang yang ia cari.
Setelah lift terbuka, tiba-tiba Adel melepaskan genggaman tangan Ben. Membuat pria itu mengernyit heran, disertai ekspresi tak senangnya.
“Kenapa dilepas?” tanya Ben.
Adel hanya tersenyum samar. Ia tak menjawab, tapi gerakan tangannya menjadi jawaban atas pertanyaan Ben. Wanita itu, tanpa malu dan tanpa ragu meraih lengan Ben, lantas mengamitnya dengan mesra. Dan hal itu jelaslah membuat Ben bersorak senang dalam hati. Senyum Ben merekah, satu kesempatannya akhirnya terbuka.
Yah, Ben mungkin memang harus memberanikan diri untuk mengajak Adel berpacaran. Mencap sang dosen sebagai wanita miliknya. Sehingga tak ada lagi dosen-dosen ganjeng yang akan menggoda Adel di kampus. Atau mahasiswa-mahasiswa kurang ajar yang selalu mangap-mangap ketika melihat Adel.
Ben dan Adel bergabung dengan teman-teman sekelas Ben yang memang datang duluan. Jika bersama para mahasiswanya, Adel lebih terlihat seperti mahasiswa, bukannya dosen. Adel duduk manis di samping Ben.
“Kita foto yah, mumpung lagi lengkap gini,” seru seorang teman sekelas Ben.
“Miss Adel ikutan juga yah,” timpal yang lain.
Seorang mahasiswi berdiri dari kursinya, ia kemudian mengatur posisi teman-temannya agar semuanya bisa masuk dalam foto. Ben merapatkan diri pada Adel
“1 … 2 … 3 ….” Yenni berseru sambil mengambil beberapa foto selfie.
Para teman sekelas Ben pun mendatangi sang pengantin untuk bersalaman dan mengucapkan selamat. Dan tentunya untuk berfoto. Ben dan Adel juga ikut bergabung, bahkan sang dosen pun masih mengamit lengan Ben saat mereka berfoto.
Teman-teman sekelas Ben sudah kembali ke kursi masing-masing setelah mengambil makanan.
“Habis nikahan Imel, siapa lagi yah?” celetuk seorang teman sekelas Ben tiba-tiba.
“Harusnya sih yah si Ben, kelihatannya udah punya calon,” ledek yang lain.
“Gimana Ben, siap gak loe?” timpal yang lain.
“Gue mah siap selalu, tinggal Miss Adelnya aja nih, siap gak gue nikahin?”
Nada-nada terselubung dalam candaan Ben. Antara bercanda sekaligus memastikan respon Adel. Semua mata memandang ke arah Adel, menanti seperti apa jawabannya. Membuat yang dipandang hanya hanya tersenyum samar, lalu ia menjitak kepala Ben.
“Kerjain tuh thesis, jangan kebanyakan ngayal.”
****
“Miss ….”
Adel menoleh sesaat setelah mendengar panggilan itu, kemudian ia kembali menatap layar ponselnya sebelum bertanya.
“Kenapa?”
“Kalo saya panggil Miss pas kita di luar kelas gini, Miss Adel ngerasa gak nyaman atau gimana?”
“Biasa aja.”
“Saya boleh manggil Miss Adel dengan lebih santai gak?”
Adel hanya mengangguk tanda setuju. Sebenarnya mau dipanggil Miss atau dengan panggilan lain, Adel tak pernah keberatan. Tapi, jika Ben ingin memanggilnya dengan lebih santai, yah mungkin lebih baik. Panggilan Miss terlalu kaku apalagi saat mereka berada di luar kelas.
“Aku boleh panggil Adel kan?”
Adel terkekeh. “Boleh Ben, apalagi kalo dipanggil makan, makin seneng.”
“Kalo dipanggil sayang boleh gak?”
Adel mendecak kesal lalu menjitak kepala Ben. “Ni anak yah.”
“Del ….”
“Hmm ….”
“Aku sayang sama kamu,” ucap Ben tiba-tiba.
Akhirnya Ben memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. Perasaan yang ia tahan sejak pertama kali bertemu Adel di hari pertama Adel masuk di kelasnya. Perasaan yang membuat Ben menggila selama beberapa bulan terakhir. Menggila karena ia merasa tak pantas akan statusnya, tapi ia lebih gila karena sangat menginginkan Adel untuk menjadi wanitanya.
“Aku mau kamu jadi pacarku.”
Adel tidak bisa menahan tawanya lagi. Ia terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Sangat-sangat aneh bagi seorang Adel mendapatkan pengakuan cinta dari mahasiswanya.
“Umur loe berapa Ben?” tanya Adel saat ia bisa mulai meredakan tawanya.
“30,” jawab Ben dengan kikuk. Ia sedikit merasa aneh dipanggil loe oleh Adel. “Kok tiba-tiba manggil loe?” tanya Ben sambil menggaruk tengkuknya.
“Katanya mau ngomong santai, kan gak nyambung gue ngomong formal terus loe ngomong santai sama gue,” ujar Adel sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas. Kemudian ia memfokuskan pandangannya pada Ben yang sedang berdiri di sampingnya. “Loe terlalu tua buat pacar-pacaran, Ben.”
“Kalo gitu, kita menikah,” balas Ben dengan cepat.
Makin tertawalah Adel. Bisa-bisanya Ben mengajaknya menikah dengan semudah itu. Padahal baru beberapa bulan mereka saling mengenal dan menjadi dekat karena Ben sering mengajaknya makan bersama. Eh, tiba-tiba diajak menikah dengan cara konyol seperti ini.
Karena tak nyaman dengan pengakuan tiba-tiba Ben, Adel membalik tubuhnya lalu berjalan menjauh dari pria itu. Meninggalkan Ben yang masih berdiri di pinggiran terali balkon kamar hotel.
Kamar hotel, yah … Ben memang berhasil mengajak Adel untuk masuk ke sebuah kamar hotel. Entah apa niat Ben, tapi Adel mengiyakannya begitu saja saat pria itu mengatakan ingin mengatakan sesuatu padanya.
“Del ….” Tangan Ben berhasil menahan Adel. “Kamu marah aku ngomong gini?”
“Gak,” ketus Adel sambil menampik lengan Ben.
“Terus kalau gak marah apa namanya ini?”
“Pengen balik aja,” Adel berkilah. “Kalo loe masih mau disini, ya udah, gue balik naik taxi aja.”
Ben lagi-lagi menahan lengan Adel sebelum wanita itu benar-benar keluar dari kamar hotel tersebut. Lebih baik Ben yang mengantar Adel pulang dari pada membiarkannya naik taxi malam-malam begini. Mungkin Ben memang terlalu terburu-buru. Harusnya ia tidak asal bicara begitu saja tanpa benar-benar mengenal Adel.
Meski mereka sering menghabiskan waktu bersama, Ben tak benar-benar mengenal Adel. Yang ia tahu hanyalah Adel dari sisi terluarnya. Ia tak tahu apapun mengenai kehidupan pribadi Adel atau orang-orang yang dekat dengan Adel.
Perjalanan pulang, dari hotel ke apartemen Adel berlalu begitu canggung. Suara deru napas Ben mendominasi. Sementara suara Adel tak terdengar sedikit pun, bahkan tak sedikit pun helaan napasnya terdengar, meski dengan lirih.
Ben memarkirkan mobilnya di depan gedung apartemen Adel. Dan dengan segara, Adel melepaskan jas Ben dari pundaknya. Wanita itu menatap Ben karena mobil dalam keadaan terkunci sehingga menghalanginya untuk keluar. Tatapan Adel tak membuat Ben mengabulkan keinginan wanita itu, ia justru meraih tangan Adel.
“Kamu marah?”
“Gak.”
“Terus kenapa diem aja, kasih aku jawaban.”
“Kenapa loe ngajakin gue pacaran?” tanya Adel dengan suara meninggi, sudah tak mampu mengendalikan emosinya.
“Emangnya gak boleh? Aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, apa itu salah? Aku pengen milikin kamu.”
“Biar loe bisa nidurin gue kan? Itu yang loe mau kan?”
Adel tertawa mengejek. Ucapan Adel menohok hati Ben. Setengah hatinya membenarkan ucapan Adel. Ben memang menginginkan hal itu. Yah, wajar bagi seorang pria dewasa jika ingin melampiaskan kebutuhan biologisnya pada seorang wanita yang ia cintai.
Namun, di sisi lain Ben benar-benar menginginkan Adel. Bukan hanya untuk kepuasan seksual, tapi untuk melindungi wanita itu. Ben menginginkan Adel sebagai wanita miliknya sehingga ia bisa mencintai Adel sebanyak yang ia mau tanpa harus tertahan oleh status tak jelas di antara mereka.
“Loe penasaran kan sama tubuh gue? Mau ngeliat?”
Adel mengubah posisi duduknya dengan membelakangi Ben. Memposisikan dirinya agar Ben lebih mudah ketika pria itu benar-benar ingin menelanjanginya dengan menarik turun resleting dress-nya.
“Nih, lepasin dress gue biar loe bisa liat apa yang mau loe liat. Kenapa gak dilepasin?” tanya Adel dengan suara menuntut setelah berbalik dan menatap tajam pria yang masih diam itu. “Atau mau langsung tidur sama gue?”