(Kota Bekasi.)
Setelah terempas sejauh puluhan kilometer akibat hantaman kuat Buto Angkoro, pemuda berjubah putih membentur mobil sedan hingga kendaraan tanpa awak tersebut terbalik. Pada tangan kanan, sarung tangan besi putih berpadu kulit hitam berada, sementara pada tangan kiri, pedang serupa golok Persia besar ia genggam kuat.
Buto Angkoro, makhluk hitam bermuka genderuwo dengan sayap kelelawar yang lebar membentang pada punggung, segera menoleh ke kiri di mana harimau bermata putih menyala tengah melompat menerkam. Makhluk bermata merah menahan tubuh sang Khodam ganas menggunakan dua tangan. Ia membuka mulut lebar, menembakkan bola listrik hitam dari sana.
Blammmm!
Usai membuat harimau putih bermata menyala terlontar jauh, makhluk bertaring seukuran gading gajah berjalan pelan mendekati pemuda berjubah putih. Tangan kirinya meraih sebuah motor gede tak berpenumpang, memanfaatkan dua jari yang besar. "Tunjukkan padaku cahayamu!" serunya melempar benda tersebut ke arah Wildan yang bersandar di sedan hitam.
Baru tertatih bangkit, Wildan lekas berguling ke kiri tuk mengelak. Nahas, ia tak dapat menghindari ledakan akibat mobil dan motor yang bertumbuk keras.
Blamm!
"Astaghfirullah Hal Adzim!" ucapnya setelah tersungkur. Jubah putih keramat jadi wasilah ia selamat.
"Jubah itu, siapa yang memberikannya padamu?" Buto Angkoro mendekat menyampingkan tangan kiri yang bercakar panjang. Tatkala sang harimau kembali menerjang dari belakang, ia membalik badan mengempaskan gelombang angin kencang, membuat sang Khodam kembali terlempar.
Swuss!
"Bukan urusanmu!" Wildan menghilang dari pandangan. Ia tiba-tiba sudah ada di belakang si Buto bersayap. Lelaki beralis lebat sudah dalam posisi kuda-kuda pamungkas ala Karate-ka. Sarung tangan logam putih-hitam, menyala terang. "Hikaru No Gyaku Tsuki!"
Blammm!
Setelah Buto Angkoro balik badan, Wildan berhasil mendaratkan tinjunya di tubuh lawan-membuat makhluk itu terlempar ratusan meter, menyusul Sayf sang harimau putih.
Dalam kondisi terempas, Buto Angkoro mengepakkan sayap, sejurus kemudian membumbung terbang tinggi ke angkasa. Ia meraba perut yang baru saja dipukul. ‘Itukah cakar putih Pajajaran yang di gadang-gadang mampu menghancurkan semua pusaka Buto?’
Wildan yang tersengal, mengatur napas seraya berbisik dalam batin, ‘Sayf, jika aku membunuhnya, apa tubuhnya yang lain juga akan hancur?’
‘Aku tak yakin, Wildan,’ jawab sang harimau putih sambil terus melihat ke atas. Jaraknya dengan sang majikan, lebih dari seratus meter. ‘Apa kau ingin memakai Ajian Dewata Raga, sekarang?’
"Ajian Raga Separuh! Sekarang!" teriak Wildan ketika sang Buto membuka mulut lebar-lebar. Titik-titik cahaya hitam berkumpul dan masuk ke mulut makhluk tersebut.
Sayf sang harimau gaib seketika berubah jadi hologram. Ia menembus masuk ke raga Wildan, melakukan penyatuan setengah sempurna. Ketika sorot sinar laser hitam melesat dari mulut lawan, Wildan yang kini bercakar dan bertaring dengan mudah melompat ke belakang. Ia dikejar oleh semburan laser hitam yang terus mengarah padanya. Setiap mobil dan motor yang terkena sinar penghancur, meledak hebat.
Blammm! Blamm! Blamm! Blamm! Blamm!
Pemuda berjubah putih terus berlari di atas jalan raya kota nan sepi. Hingga beberapa ratus meter ia lalui, Wildan melompat ke arah pepohonan pinggir jalan tol. ‘Dia belum juga kelelahan setelah gila-gilaan menyerang!’
Dlap!
Setibanya di balik pohon, ia jongkok tuk bersembunyi. Benda pusaka di tangan kanannya bersinar terang. Hanya dalam satu entakkan kaki, pemuda berpedang tersebut sampai di ujung pohon, lanjut melesat ke atas tuk menyambar sang monster berbulu hitam yang terbang. “Haaaah!”
Saat di udara, sinar hitam Buto Angkoro mengarah padanya. Spontan ia menggerakkan tangan kanan berlapis sarung tangan logam sebagai perisai.
Whuuum!
Sang Musafir terdorong oleh tembakan meski berhasil menangkis. Tubuhnya jatuh membentur keras aspal bersamaan dengan pusaka tajam pada tangan kiri. "Ugh!" Sinar laser hitam yang mendorongnya, lenyap.
Saat ia mengerjapkan sepasang mata beriris harimau, Ia tak menemukan sosok yang ia cari di angkasa.
‘Wildan, belakang!’ teriak Sayf dari dalam tubuh.
Cet!
Belum Wildan menoleh ke belakang, Buto Angkoro lebih dulu menggapai kepalanya erat. Rontaan manusia setengah harimau berjubah putih, tak berguna sebab cengkeraman makhluk besar itu begitu ketat.
"Kau lemah!" serunya melempar manusia setengah harimau ke udara. Ia lantas menghujani belasan bola listrik hitam pada lawan.
Dang! Dang! Dang! Dang! Dang! Blam! Blam! Blam! Blam! Blam! Blam!
Wildan berhasil menepis lima serangan pertama. Tetapi sisanya tak mampu ia tepis. "Ugh!"
"Ada apa, hai Sang Titisan Cahaya?" Makhluk berbulu hitam melesat menyusul ke udara dengan wajah berseringai. Monster bermata merah menyala mencengkeram tubuh manusia bermata harimau. Ia memutar-mutar tubuh Wildan sampai lima menit, lanjut melemparnya ke aspal, tepat di dekat golok Persianya yang tergeletak.
Bruk!
"Agh!" Wildan mencoba bangkit, ia langsung melompat ke belakang. Ia berhasil meraih pusaka berwujud golok persia sebelum itu.
"Tunjukan padaku kekuatan cahayamu yang dulu!" Buto Angkoro meluncur cepat. Lagi-lagi ia berhasil mencengkeram badan pendekar berjubah putih. Ia membawa-menyeretnya terbang sambil meremas lawan. Tubuh besarnya berputar-putar bagai tornado.
"Aghhh!" Dengan kesadaran yang terganggu oleh rasa sakit, Wildan berteriak, "Petir Mustika Naga Biru!"
Jedyar!
Petir biru menyambar dari tubuhnya. Akibat sengatan petir, Buto Angkoro berhenti memutar badan. Ia memilih melempar Wildan, membuatnya terlontar begitu jauh mengarungi jalan beraspal kota yang berantakan.
***
(Di saat yang sama, Kediaman Mbah Abdul Karim, Jawa Tengah.)
Nur si gadis berkerudung, menonton televisi di ruang tamu utama pondok bersama puluhan santri lain. Wajah mereka tegang, terlebih saat di televisi, ditayangkan gambar makhluk ganas yang terbuat dari bebatuan, tengah mengamuk. Di sana, ada Hardy, dan beberapa santri lain, yang pernah Wildan kalahkan.
"Di mana Wildan?" bisik Hardy si pria keriting cepak yang duduk tak jauh dari Nur.
"Di mana pun dia, dia pasti juga sedang menuju ke sana," ucap Nur menanggapi.
"Aku harap begitu."
Tak begitu jauh dari ruang utama pondok, tepatnya di ruang tamu ndalem, Mbah Abdul Karim duduk berhadapan dengan Gus Ja'far yang terbungkus perban. Dua cangkir teh hangat, dan dua bungkus lisong, menemani mereka. "Jadi, Abah ... Bolehkah saya turun tangan sekarang?" kata Gus Ja'far meminta izin.
Sang Kakek sepuh hanya menggeleng pelan. "Belum waktunya, Ngger,” jawabnya usai menyeruput teh.
"Tapi, Wildan benar-benar sendirian. Guntur, Mandala, dan Narti, benar-benar tak muncul." Nadanya panik. "Ini darurat, Bah!”
"Kau ingin menolong mereka, bukan?" tanya Mbah Abdul Karim balik.
Pria penuh perban mengangguk. "Nggih, Bah."
"Terkadang..." Mbah Abdul Karim mengambil satu batang lisong, lalu menyalakannya. "Dengan tidak menolong, adalah cara kita untuk menolong mereka," ungkapnya setelah mengisap sebatang lisong di tangan. Kalimatnya membuat sang putra terdiam. "Lebih baik untuk sekarang, suruh para santri melaksanakan Sholat Hajat. Kita doakan, semoga Wildan dan mereka yang sedang di medan perang berhasil."
Gus Ja'far sang lelaki berambut gondrong, menunduk mengiyakan. Ia bergegas melaksanakan niatan, pergi ke ruang utama pondok dan menyuruh mereka semua melakukan Sholat Hajat.
***
(Malam itu, Kota Bekasi.)
Wildan sang pemuda berjubah putih dipaksa masuk menembus tembok keras. Kini ia berada di sebuah toko elektronik pinggir jalan. Ia mendarat di tumpukan televisi flat yang ada di sana. Pedang pusakanya terjatuh dari tangan. Salah satu televisi yang menyala, menayangkan keributan di markas L.H.A yang baru diresmikan. "Apa yang terjadi di sana?"
‘Orang-orang bule itu membangkitkan monster batu seperti dulu, Wildan!’ sahut Sayf dari dalam badan.
"Monster batu?" Wildan menatap tajam layar televisi, yang mana menayangkan pembantaian oleh ratusan patung Gargoyle. Matanya makin melotot saat samar melihat para tentarta, melindungi sang presiden, Bapak Sujono. Pak Andi, jelas terlihat ikut mengawal sang Presiden.
‘Apa yang akan kau lakukan, Wildan?’ Sayf bertanya saat kehadiran Buto Angkoro makin dekat. ‘Aku juga merasakan kehadiran Buto Angkoro yang lain di tempat Presiden berada,’ tambahnya.
‘Apa menurutmu, makhluk jelek satu ini akan membiarkanku pergi ke sana?’ Pria bermata harimau bangkit, mendatangi pedangnya yang tergeletak.
‘Hasratnya untuk membunuhmu begitu besar. Sepertinya dia tak akan membiarkanmu lolos.’
‘Kalau begitu, apa kau tahu ke mana arah Pak Presiden berada?’ Wildan memejamkan mata, meraih alat penembaknya. ‘Akan aku coba penggal dua kepala makhluk itu sekaligus.’
‘Sekitar tiga puluh kilometer dari sini, Wildan. Tepat lurus di belakangmu.’
Bragg!!
Membalik badan, pemuda berjubah putih mengacuhkan Buto Angkoro yang masuk paksa lewat atap toko tanpa penghuni. Makhluk berbulu hitam pekat bermata merah, mengembangkan kedua sayap lebar kelelawarnya. "Apa kau berpikir untuk lari dariku?"
Wildan jongkok, tangan kirinya yang bercakar, erat memegang tangkai pedang. Sedang tangan kanan dibungkus sarung tangan Gadil Pajajaran, yang mana mulai menyala terang. "Jika kau benar ingin membunuhku…." Wildan menarik napas dalam, memejamkan kedua mata. "Kejar aku!"
Wildan membekukan waktu, sejurus kemudian melesat cepat, membuat lubang di dinding dengan tinju kanan, terus melanjutkan langkah ke arah di mana sang petinggi negara berada.