Bab 15

1520 Kata
Pukul enam pagi, Ida telah siap dengan setelan kerjanya. Ranselnya yang berisi laptop dan laporan  pun telah siap dicangklong. Ia duduk lesehan di atas karpet yang digelar di ruang tamu. Dengan gerakan cepat ia meraih nasi bungkus yang ada di piringnya, untuk sarapan pagi pengganjal perutnya. Ia harus segera berangkat karena akan mampir ke rumah Miko untuk melihat keadaannya sekaligus memberikan semangat. Tok...tok.. Suara ketukan pintu tepaksa membuat dirinya menunda membuka bungkusan. Dengan langkah cepat ia berdiri untuk membukakan pintu, melihat siapa gerangan tamunya. "Mbak Lia!" Ida menatap tamunya. "Mbak Ida, maaf mengganggu boleh saya minta nasi sepiring? Anak saya mau berangkat sekolah. Saya belum menanak nasi, kebetulan beras habis dan suami saya baru akan pulang nanti siang." Lia, tetangga kontrakannya berkata lirih setengah berbisik dengan nada memelas meminta pertolongan Ida, ibu tiga anak itu tampak kusut dengan anak bungsu di digendongannya. Setau Ida keluarga tetangganya itu memang kekurangan. Anak-anaknya masih kecil serta suaminya tak jelas pekerjaannya. Bukan sekali dua kali Ida dimintai bantuan. Dengan ikhlas Ida selalu membantunya. "Tunggu sebentar ya, Mbak." Ida masuk ke dalam untuk mengambil nasi bungkus yang hendak dimakannya. Ia juga mengambil dompetnya mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu. "Ambil ini saja Mbak, kebetulan saya tidak masak nasi." Ida menyerahkan jatah sarapan yang tadi ia beli di pedagang keliling yang mampir ke kontrakannya. Walaupun perutnya lapar namun ia lebih memilih untuk menyedekahkan makanan miliknya kepada orang yang lebih membutuhkan. "Terima kasih banyak Mbak." Lia menerimanya dengan senang hati. Hanya Ida yang bisa dimintai tolong, sebab yang lain tak pernah peduli. "Ini uang untuk jajan anak-anak sekalian beli beras dan telur." Ida menyerahkan uangnya ke tangan Lia. Ida dapat merasakan penderitaan wanita beranak tiga itu. Ia teringat akan para sepupu dan keponakannya. Namun mengingat ada sosok pamannya seketika rasa rindu itu menguap begitu saja. Wanita bernama Lia itu meneteskan air matanya. Terharu akan kebaikan dari tetangganya. Jika tak ada Ida entah bagaimana nasib mereka. "Semoga Tuhan membalas kebaikan Mbak Ida." Doa Lia tulus. "Amin." "Kalau begitu saya permisi." Lia pamit. Ida mengangguk dengan senyuman kecilnya. Wanita itu melangkah kembali menuju rumah kontrakannya yang terhalang dua pintu. Rumah tempat tinggal Ida merupakan rumah petak. Di sana ada 8 rumah yang saling berhadapan. Ida tak jadi sarapan. Biarlah ia makan di kantor. Saat ini ia harus segera berangkat agar tak terlambat. Usai mencangklong ranselnya ia memasang jaket kulitnya dan helm. Tak lupa ia mengunci pintu rumah petak yang disewanya. Setelah menstarter motor maticnya yang cicilannya belum lunas itu, ia langsung menuju rumah Miko. Beruntung jaraknya tak terlalu jauh. Sepuluh menit kemudian dirinya tiba di halaman rumah atasannya itu. Tampak Mbok Darmini sedang menyiram tanaman. "Pagi, Bi." Sapa Miko Ia mulai terbiasa berinteraksi dengan wanita yang berprofesi sebagai ART itu. "Pagi Bu Ida, masuk saja Bu Miko sama Pak Dimas ada di ruang makan." Mbok Darmini mempersilahkan. Baginya, Ida bukanlah orang asing lagi. Hampir tiap hari ia datang ke rumah majikannya. Ida melangkahkan kaki masuk ke dalam. Perasaannya sedikit ragu karena ia merasa khawatir mengganggu pasangan suami istri yang tengah berada di ruang makan. Mereka pasti sedang sarapan bersama. Tiba-tiba perutnya bergejolak, bukan sekali dua kali dirinya pun sering diajak makan bersama. Namun tanpa Dimas. *** Dimas dan Miko tengah sarapan di ruang makan. Keduanya duduk berdampingan. Miko tetap berada di kursi rodanya. Di atas meja telah tersedia nasi goreng seafood dan potongan buah naga serta minuman jus strawberry. Dengan telaten Dimas mengisi piring istrinya. "Ayo buka mulutnya!" Dimas mulai menyendok nasi goreng dalam piringnya. Menyodorkan ke mulut istrinya yang masih rapat. "Aku mau coba makan sendiri! Aku udah bisa kok walau pakai tangan kiri" Miko menatap suaminya. Sebenarnya tangan kirinya kuat untuk digerakkan dan Miko ingin mencobanya. Sayangnya Dimas selalu tak mengizinkan. Selalu saja ada alasan. "Sudahlah, Sayang. Biar aku yang suapi. Kalau tidak ada aku baru kamu makan sendiri." Dimas tetap berusaha memaksa Miko membuka mulutnya. Ia tak ingin dibantah. Selama dirinya ada di samping istrinya ia akan melakukan yang terbaik. Melayaninya segenap jiwa raga hingga sembuh.  Mau tak mau Miko pun menurut. Keduanya makan satu piring berdua. Dimas seolah menjadi ayah yang sedang menyuapi putri kecilnya yang belum mampu makan sendiri. Miko terharu dengan semua yang telah dilakukan suaminya. Ia tak pernah bosan dan marah kepada dirinya yang sakit dan cacat. Ia memperlakukannya dengan tulus, penuh kasih sayang. Dimas selalu menjadi suami siaga yang selalu hadir selama dua puluh empat jam. Ia memang sosok suami idaman. Miko menyantap hidangannya dengan lahap. Dimas menyuap sendok bergantian. Sekali untuk dirinya sekali untuk istrinya hingga piringnya tandas tak bersisa. "Aku senang kita bisa makan begini terus sepiring berdua." Dimas tersenyum. Suasana pagi ini cukup romantis. Berulangkali Dimas mengelap sudut bibir istrinya yang kotor karena remahan nasi. Setelah itu Dimas menyuapi istrinya potongan buah naga. "Alhamdulillah habis juga, sekarang minum jusnya ya." Dimas meraih gelas berisi jus strawberry. Semua perintah Dimas dituruti Miko. Ia tak mau membantah. "Perutku mau meledak saking kenyangnya." Miko tertawa kecil. "Biar kamu segera sembuh." Dimas mengambil air putih sebagai penutup. Tanpa disadari oleh mereka, sosok Ida telah berdiri di dekat pintu masuk ruang makan menatap ke arah mereka berdua. Dimas menjadi orang pertama yang melihatnya. "Ada sekretaris kamu." Bisik Dimas kepada istrinya. Ia bersiap untuk menjauh untuk memberi waktu mereka bicara. Rasanya tak nyaman jika ia ikut terlibat dalam percakapan yang isinya tak jauh dari perusahaan Miko. "Ida!" Miko menyapa Ida. Wajahnya langsung sumringah. "Ayo, sini duduk! sarapan bareng." Miko mengajak  Ida bergabung. Ia lupa padahal sudah menyelesaikan sesi sarapan paginya. Ida pun mendekat ke arah pasangan bahagia itu. Ada perasaan canggung karena takut mengganggu keasyikan mereka berdua. "Maaf mengganggu. Terima kasih atas tawarannya. Sayangnya saya sudah makan." Ida berbohong. Padahal ia belum sarapan apapun karena tadi nasi bungkusnya ia berikan kepada tetangganya. Ia malu dan merasa tak nyaman berada di antara mereka berdua. Selama ini Ida sempat makan bersama tapi jika hanya berdua dengan Miko. Dimas memang tak pernah menunjukkan keakraban dengan siapapun termasuk Ida. Jika ada Ida, pria itu selalu menghindarinya. Seperti kali ini Dimas ingin memberi waktu untuk istri dan sekretarisnya bicara.  "Aku ke atas dulu ya, sekalian manggil Salwa," pamit Dimas meninggalkan kedua wanita itu.  "Saya ke sini sebentar saja untuk mengantarkan ini." Ida menyodorkan map untuk Miko. "Oke terima kasih nanti saya baca ya. Tolong letakkan di meja ya." Miko memerintah ia tak bisa langsung memegangnya. "Hari ini saya lembur jadi kemungkinan tidak bisa ke sini lagi. InsyaAllah besok saya ke sini." Ida berkata dengan nada penuh sesal. Sebenarnya ada banyak hal seputar urusan kantor untuk dibahas bersama bosnya. "Ok. Ga apa-apa. Terima kasih banyak ya. Kamu sudah banyak membantu saya. Saya tidak tahu bagaimana nasib perusahaan kalau kamu tidak ada." Miko menatap Ida lekat. Ia bersyukur memiliki partner kerja yang luar biasa. Selalu menjalankan semua tugas dengan baik dan penuh tanggung jawab. "Sudahlah, Mbak. Mbak Miko jangan berkata seperti itu terus. Saya kan sudah bilang jika ini kewajiban saya maka saya harus bekerja dengan baik. Saya sudah digaji oleh perusahaan." Ida tersenyum. Miko memang paham dengan jawaban Ida. Ia berjanji akan segera menaikkan gajinya. *** Dimas pamit untuk pergi ke kantor. Hari ini ada rapat penting yang harus dihadiri olehnya. Sejak istrinya sakit Dimas banyak mengambil cuti. Bila masuk kantor pun, ia selalu pulang lebih awal. Ia tak bisa terus cuti karena ada banyak proyek baru yang mulai dikerjakan. "Sayang, aku berangkat dulu ya!" Dimas menatap istrinya dengan penuh kasih. Sebenarnya ia tak ingin pergi namun pekerjaan menanti dirinya. Ia masih sangat mengkhawatirkan kondisi Miko. "Kamu tidak apa-apa aku tinggal?" Dimas tampak ragu. Sementara Miko hanya tersenyum. Tentu saja ia akan mengizinkan Dimas. Kalau suaminya tak kerja apa kabar perusahaannya. Lagipula di rumah ada Mbok Darmini dan Salwa, perawat yang menjaganya. Ida juga tak pernah absen mengunjunginya. "Pergi saja Dim, kamu tidak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja." Miko tak masalah. Meskipun dirinya lumpuh ia tak ingin manja. Sebenarnya Dimas lah yang terlalu berlebihan dalam memperlakukan dirinya. "Baiklah. Kamu hati-hati di rumah. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku. Aku pulangnya malam." Ini merupakan kali pertama dirinya ke luar kota setelah hampir dua bulan tak pernah pergi jauh. Ia selalu mengirimkan perwakilannya. "Kamu juga hati-hati." Miko melepas kepergian suaminya. Dimas mengecup kening dan pipi istrinya. Ia pun tak lupa menyuruh perawatnya untuk menjaga istrinya setiap saat terutama saat akan ke kamar mandi dan tidur. *** Kepergian Dimas membuat Miko kesepian. Ia pun memilih untuk berdiam diri di teras belakang sambil berjemur ditemani oleh perawatnya yang bernama Salwa. Mereka duduk sambil mendengarkan musik yang diputar Salwa. Miko senang mendengarkan musik. "Bu, saya belum sempat bicara dengan Bapak dan ibu. Mungkin mulai minggu depan, saya tidak bisa bekerja lagi di sini. Saya mau pindah ke kampung karena sebentar lagi saya akan menikah." Salwa memberanikan diri mengemukakan maksudnya. Gadis berusia dua puluh tiga tahun yang sebelum bekerja untuk Miko merupakan karyawan honorer sebuah rumah sakit tampak ragu. Ia sebenarnya kasihan dengan Miko. Gadis berambut keriting itu sudah merasa nyaman dengan majikannya yang baik. "Ya sudah, nanti saya bicarakan dengan suami saya." Miko sedikit menahan sesal. Jujur saja ia sudah cocok dengan Salwa yang cekatan. Namun ia tak mungkin menahan Salwa dan memaksanya untuk tetap bekerja. "Untuk pengganti saya, nanti biar saya bantu carikan. Saya punya banyak teman perawat yang sedang mencari pekerjaan." Salwa tak bisa meninggalkan Miko begitu saja. Sebelum ia pulang kampung harus memastikan majikannya ada yang merawat. "Oke. Terima kasih banyak ya.kamu sudah menjaga dan merawat saya. Sebenarnya saya sedih tapi mau bagaimana lagi. Saya doakan kamu bahagia dan betah tinggal di tempat baru." Miko hanya dapat mendoakan kebaikan Salwa. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN