Bab 24

2042 Kata
Dimas dan Miko kini tengah berada di kamar mereka menunggu suara adzan maghrib berkumandang. Pria tampan itu sudah siap dengan baju koko dan sarungnya. Ia ingin sholat berjamaah dengan sang istri yang tiga hari ditinggal pergi olehnya. Pria itu dengan sabar memakaikan mukena untuk istrinya. "Aku kan sudah bisa pakai mukena sendiri." Miko tersenyum melihat aksi suaminya yang selalu ingin membantunya. "Tidak apa-apa, biar kamu ga kecapean saja." Dimas merasa senang bisa membantu meringankan  istrinya. Ia tak ingin Miko kecapean. Padahal itu pekerjaan ringan. Miko terlihat cantik dengan mukena warna putihnya. "Kamu cantik sekali, Sayang!" Dimas memuji sang istri. "Mulai menggombal ya, Bang?" Miko tertawa. "Abang Dimas juga ganteng, kok." Miko mengerling nakal. Allahuakbar Allahuakbar... Suara adzan terdengar sayup-sayup menginterupsi dua insan yang bersenda gurau. "Ayo siap-siap!" *** Waktu makan malam yang dinanti telah tiba. Dimas, Miko dan Bu Ratih serta Ami duduk mengitari meja makan. Di atas meja telah tersedia berbagai hidangan istimewa yang sengaja di siapkan untuk menjamu para tamu. Miko tak lagi makan disuapi, ia sudah bisa melakukannya sendiri. Ia pun yang melayani suaminya untuk mengisi piringnya. Lagi-lagi pemandangan ini membuat perawatnya iri. "Mbok Darmini boleh juga ya masak rendangnya. Mantul! Supnya juga enak." Bu Ratih memberikan pujiannya, saat satu sendok makan masuk ke dalam mulutnya. Dimana pun berada ia selalu menjadi kritikus makanan. Baginya dunia kuliner adalah hal yang didewakan. "Alhamdulillah, Mi. Tapi rendang ini buatan Ida bukan Mbok Darmini." Miko mengoreksi kesalahan ibu mertuanya dalam memberikan pujian. Bukan hanya Mbok Darmini yang biasa masak, melainkan Ida pun sering terjun ke dapur. Tentu saja Miko tak melarang, bahkan ia merasa terbantu setelah dirinya tak bisa memegang apa pun di dapurnya. Pandangan Bu Ratih langsung beralih ke arah sekretaris Miko yang tengah anteng menikmati hidangan di piringnya. Ida tak banyak bicara. Dimas dan Miko mengulum senyum, mereka tak bisa menebak apa yang akan diucapkan oleh ibunya. Semoga kalimat yang menyenangkan. "Wah kamu hebat sekali. Sempat-sempatnya masak, padahal kamu sibuk urusan kantor, jarang loh ada wanita karir yang pandai masak. Ini beneran enak." Bu Ratih sangat menikmati hidangannya. Ia tampak makan dengan lahap. Ida tersipu malu. Kemampuannya mengolah makanan tidak semahir Miko atau Mbok Darmini. Sementara di samping Ida,  Ami mendumel kesal dalam hatinya tak terima jika Ida gadis kampungan itu menerima pujian dari nyonya besar. Baginya makanan yang masuk ke mulutnya terasa biasa saja. Apanya yang istimewa. "Saya masih belajar, Bu. Dibanding Mbak Miko tidak ada apa-apanya." Ida berusaha merendah. Padahal kemampuan masaknya boleh diberi nilai delapan walau berada di bawah Miko. "Enak, ini beneran enak sekali mirip masakan di salah satu restoran padang favorit saya." Bu Ratih mengambil lagi satu potong rendang sapi. Ia tampak ketagihan. Miko bernafas lega karena mertuanya memberikan respon positif kepada sekretarisnya.  Ia kembali teringat akan dirinya. Dulu sekali waktu pertama kali dipertemukan dengan Bu Ratih, wanita itu langsung mengajaknya ke dapur dan menguji kemampuan masaknya. Beruntung Miko bisa lolos dari kritikan Bu Ratih. Ami makin kesal dan iri kepada Ida. Sejak tadi dirinya seolah tak dianggap. Tema obrolan yang membosankan. Mengapa orang-orang menyukai Ida. Seperti halnya sang istri, Dimas pun puas dengan sikap ibunya. Jarang sekali wanita paruh abad itu memberikan pujian berlebihan. Kalau pun memuji pasti ujung-ujungnya membandingkan dengan kemampuan dirinya. Usai makan malam, Dimas, Miko dan Bu Ratih berkumpul bersama di ruang keluarga. Kebetulan hari ini Umi Hamidah tak bisa datang karena suaminya sedang sakit, sehingga Miko bisa santai melepas rindu dengan orang-orang tercintanya. Ida pamit ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaan kantor yang belum selesai, sementara Ami, sengaja diberi kebebasan oleh Miko. Perawat itu bisa istirahat sejenak karena sekarang ada Dimas yang mendampinginya. Miko tak membutuhkan bantuan perawatnya. Bu Ratih duduk di sofa yang sama dengan anak ke duanya. "Mami berencana menjodohkan Fikri dengan Ida. Menurut kalian bagaimana?" Bu Ratih membuka tema percakapannya. Entah sejak kapan ia memiliki ide itu. "Apa Mi?" Dimas menatap ibunya setengah tak percaya dengan pendengarannya.  Semoga ia tak salah dengar. Waktu di Jakarta ia sempat menggoda Fikri dan kini candaannya seolah hendak direalisasikan oleh ibunya sendiri. "Iya Mami serius, si Fikri kan jones bujang lapuk gak laku-laku kasihan banget, Ida juga jomblowati. Sepertinya mereka cocok deh. Profesi mereka juga hampir sama. Kadi bisa nyambung. Ida sebetulnya cantik kalau diamati dari dekat, cuma butuh di make over saja. Gimana kalian setuju?" Bu Ratih tersenyum manis, sekali lagi meminta pendapat anak menantunya. Dimas tak menyangka jika ibunya menaruh perhatian kepada asisten ayahnya. Dirinya juga setuju jika Fikri berjodoh dengan Ida. Ida gadis yang baik dan pintar. Lain halnya dengan Miko. Ia langsung menjerit. Tidak. Dalam hatinya. Ia sudah menandai Ida untuk dipilih menjadi istri ke dua suaminya alias adik madunya. Bisa kacau rencana yang disusunnya, jika ibu mertuanya bertindak lebih dulu. Miko harus memikirkan cara untuk menggagalkannya sebelum Bu Ratih melangkah lebih jauh. Ia tahu persis seperti apa mertuanya kalau punya keinginan. "Aku setuju Mi, aku dukung rencana Mami." Dimas antusias. "Hari Sabtu Mami mau ajak Ida jalan-jalan. Boleh kan?" Bu Ratih meminta izin Miko dan Dimas. "Jalan-jalan kemana Mi?" Dimas menatap ibunya penuh rasa ingin tahu. Rasanya aneh sekali. "Keliling kota Denpasar. Mami tak ada teman. Biasanya kan diantar oleh Miko. " Bu Ratih tersenyum penuh arti. Hanya ia sendiri yang tahu rencananya seperti apa. "Iya, Mi. Mami boleh ajak Ida. Kebetulan hari Sabtu kan libur." Miko memberi izin. "Sudah ah, Mami ke kamar dulu mau telpon Papi. Mami kangen Papi kalian." Bu Ratih beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menuju kamar tamu yang biasa ditempati olehnya. "Ayo, Sayang! Kita juga ke kamar, aku sudah tidak sabar." Dimas pun meraih pegangan kursi roda istrinya. Ia ingin berduaan dengan kekasih pujaan hatinya. Miko tersenyum dan paham maksud dari suami tercintanya. Ia juga sangat merindukannya. *** Kehadiran Bu Ratih di tengah keluarga Dimas menambah kehangatan suasana rumah. Ocehannya membuat kediaman Dimas terasa lebih hidup tak sesepi biasanya. Seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya, ia selalu saja mengkritisi segala hal. Baik itu suasana rumah, kegiatan di dapur ataupun kepribadian dari para bawahan anaknya. Miko sudah tahan banting mendengar semuanya. Ia tahu jika ibu mertuanya walaupun cerewet namun baik hati. Wanita itu hanya ingin kesempurnaan. Waktu menunjukkan pukul sembilan saat Miko didatangi oleh Bu Ratih. "Sayang, Mami pergi dulu ya. Bilangin sama Dimas. Mami naik taksi aja. Pulangnya agak sorean." Bu Ratih pamit kepada Miko. Hati-hati ya Mi!" Miko berpesan. "Ok. Siap. Ada Ida juga yang menemani." Bu Ratih yang berpenampilan layaknya anak gadis segera memakai sepatunya, setelah itu berlalu dari hadapan menantunya. Melihat ada Ami ia langsung mendekat ke arahnya. "Ami, kamu ikut saya ke mall ya!" Pandangan Bu Ratih menatap ke arah Ami. Entah mengapa tiba-tiba dirinya ingin mengajaknya pergi. Pikirnya, ia akan butuh bantuannya. Mendengar kata mall, mata gadis perawat itu langsung berbinar. Ini kesempatan emas untuk menjilat nyonya besarnya. Siapa tahu akan ada papper bag yang dihibahkan kepadanya. Belanja gratis merupakan impiannya. Selama bekerja untuk Miko, sang nyoya tak pernah mengajaknya ke luar kecuali ke rumah sakit. "Baik,Bu." Ami mengangguk antusias. Senyuman langsung terbit. Tak disangka sosok Ida yang telah berdandan rapi mendekat ke arah mereka berdua. "Lho, Mbak Ida juga ikut?" Ami menatap ke arah Ida dengan pandangan tak suka. Ia tak tahu sejatinya ini adalah acara Bu Ratih dengan Ida. Ami semakin sebal dengan Ida. "Terus Bu Miko bagaimana?" Ami mempertanyakan Miko. "Tenang saja, Miko ada suaminya. Ayo buruan kalian bersiap. Taksi sudah datang." Bu Ratih tak ingin terlibat banyak percakapan. Ida pun berjalan bersisian dengan Bu Ratih sementara Ami menyusul dari belakang usai mengambil tas dan pamit kepada Miko. *** Taksi yang ditumpangi oleh Bu Ratih dan dua gadis yang menemaninya melaju menuju sebuah pusat perbelanjaan yang berlokasi di pusat kota. Ida duduk di jok belakang bersama Bu Ratih, sementara Ami di samping sopir. Akhirnya taksi berhenti di depan sebuah salon perawatan kecantikan yang terbilang cukup terkenal di kalangan atas. Di sini tempat para turis memanjakan diri. "Kita ke salon dulu ya!" Bu Ratih memberi arahan. Mereka pun langsung menuju pintu masuk. Ida lupa kapan terakhir kali masuk ke dalam bangunan salon. Baginya salon adalah sesuatu yang asing. Ia bukan wanita yang suka menghabiskan waktu untuk bersolek. Sejak remaja ia sibuk membantu orang tuanya bekerja. Waktu luangnya ia gunakan untuk belajar agar selalu mendapat beasiswa, makanya ia abai terhadap penampilan. Setelah bekerja pun ia merasa sayang jika uangnya ia hamburkan untuk membeli kosmetik mahal atau masuk salon. Terlebih salon seperti tempatnya berpijak saat ini. Kedatangan Bu Ratih, Ida dan Ami langsung mendapat sambutan istimewa. Para pelayan sepertinya kenal baik dengan Bu Ratih. Tentu saja karena ini salon langganannya. Dimana pun berada, Bu Ratih selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi pusat perawatan kecantikan. Baginya cantik itu wajib agar suaminya tak berpaling kepada wanita lain. Makanya dana yang dikeluarkan seolah bukan masalah besar. "Saya ingin perawatan ekslusif dari ujung kaki sampai rambut. Nah, nona yang berkaca mata ini juga tolong di make over buat dia jadi cantik dan menarik." Bu Ratih memberikan perintah kepada dua pelayan. Ida kaget mendengar pernyataan Bu Ratih. Sebenarnya apa yang akan dilakukan oleh nyonya besarnya. Ami yang tak disebut namanya segera melayangkan protesnya. Mendekat ke arah Bu Ratih. "Bu, terus saya gimana?" tanyanya ingin mendapatkan perhatian. "Ya kamu pilih saja ingin perawatan apa?"Bu Ratih masa bodoh. Misinya adalah mengubah penampilan sekretaris Miko yang terkesan jadul dan tidak modis. "Boleh ga disamakan dengan ibu?" tanya Ami penuh harap. Ini kesempatan berharga yang sayang untuk dilewatkan. "Ya udah kamu ikut saya." Bu Ratih memerintahkan. Ami memang mengesalkan. Bu Ratih semakin mengenal watak Ami. "Bu Ratih, saya...saya malu sekali." Ida menatap Bu Ratih bingung. "Ida pokoknya kamu ikut Mbak Nia, soal biaya saya yang tanggung. Jangan khawatir! Pokoknya saya ingin melihat kamu tampil  berbeda." Bu Ratih tak ingin dibantah. *** Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Bu Ratih dan dua gadis itu belum juga pulang ke rumah kediaman Miko dan Dimas. "Sebenarnya Mami pergi kemana sama Ida dan Ami. Seharian belum pulang?" Dimas tampak mencemaskan mereka bertiga. Bukan hal biasa jika ibunya terkadang lupa waktu saat sedang jalan-jalan. "Mami ke salon dan mall. Aku juga tidak tahu mau apa. Kenapa mengajak  Ida dan Ami." Miko tampak bingung. "Mami,...Mami,...bikin khawatir saja," gumam Dimas. "Kita tunggu saja, sebentar lagi juga mereka pasti pulang." Miko berusaha tenang. "Kita tunggu di luar saja." Dimas mendorong istrinya menuju teras depan. Ia ingin menghirup udara luar. "Telepon Ida atau Ami." Dimas memberikan usulannya. "Kamu tidak perlu berlebihan. Biarkan saja mereka menikmati harinya. Lagipula tidak setiap hari kan." Miko enggan menjalankan usulan Dimas yang dinilainya terlalu mengekang. Keduanya kini berada di taman. "Aku kepikiran rencana Mami yang akan menjodohkan Ida sama Mas Fikri, jadi penasaran membayangkan bagaimana reaksi Mas Fikri. Kemarin-kemarin aku pernah godain dia." Dimas tertawa sendiri. "Kamu setuju?" Miko menatap Dimas. "Iya. Kenapa kamu keberatan?" Dimas balik bertanya sebab istrinya tampak biasa saja. Bahkan seolah sedih mendengar rencana yang belum jelas ini. "Kalau Ida jadi dengan Mas Fikri bagaimana kabar aku." Miko berucap dengan nada sendu. "Mas Fikri pasti membawanya," lanjut Miko. Dimas paham akan kekhawatiran istrinya. Selama ini kinerja Ida sangat luar biasa. Tentu Miko akan sangat kehilangan karyawati yang setia sepertinya. Sebenarnya alasan yang ingin diungkapkan Miko bukan itu. Ia tak mungkin membongkar rencana rahasianya yang hanya diketahui oleh dirinya dan gurunya, Umi Hamidah. Jika Ida mau dijodohkan dengan Fikri, lantas siapa kandidat kuat yang akan menjadi calon istri suaminya itu. Betapa sulit menemukan orang yang dikenal baik memiliki budi dan perangai yang baik. Miko tak percaya wanita mana pun selain Ida. Baginya Ida merupakan adik madu idaman. Miko sangat mengenal Ida walaupun keduanya baru dekat akhir-akhir ini. Ia tak mungkin berkhianat dan selalu patuh kepadanya. "Jangan terlalu dipikirkan. Ini baru rencana Mami. Ida dan Mas Fikri kan belum tentu mau dijodoh-jodohkan. Maminya saja yang kebangetan." Dimas mengelus puncak kepala istrinya penuh sayang. Setengah jam kemudian, di halaman rumah mereka ada taksi yang parkir. Rupanya Bu Ratih, Ida dan Ami telah kembali. Dari kejauhan tampak. Bu Ratih ke luar lebih awal diikuti oleh Ami dan Ida. Ami terlihat sibuk membawakan barang belanjaan. Dimas semakin mendekat ke arah mereka. Betapa kagetnya mereka saat melihat penampilan Ida sekarang. Gadis itu tak lagi memakai kaca matanya melainkan mengganti dengan lensa mata. Pakaiannya jauh lebih modis dari biasanya yang hanya mengenakan celana kulot dan blouse kedodoran. Ia memakai dress selutut serta heels di kakinya. Tata rambut dan make up nya benar-benar luar biasa. Siapapun pasti akan sulit mengenalinya. "Ida!" Miko menatap sekretarisnya dengan tatapan tak percaya. Ida hanya menunduk malu. Dimas pun sampai tak mengedipkan matanya. Sementara Ami sejak keluar salon enggan berkomentar. Ia merasa kecantikannya tersaingi. "Iya, Gadis di depan kalian itu Ida Ayu Anggita. Cantik bukan?" Bu Ratih tersenyum lebar. Ia telah sukses mengubah Ida menjadi seperti yang dia inginkan. Ida berpenampilan seperti para sekretaris di perusahaan-perusahaan besar. Ida semakin menunduk malu. "Kamu cantik sekali!" Miko terkagum-kagum. Ia tak menyangka ibu mertuanya melakukan perubahan untuk Ida. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN