“Maaf, kita putus aja.”
Kata-kata yang beberapa jam lalu di ucapkan Tantri cukup membuat emosi Gantan meluap. Mereka baru menyatakan resmi berpacaran dua minggu lho. Lalu putus dengan alasan malu sama motor butut? Oh God, adil nggak sih?
Baru juga jalan sekali saja, udah putus. Alasan anak labil banget dan tentu keliatan kalo memang matre. Padahal ya, jajan bakso tadi, itu juga pakai uang Gantan, walau ngerebut dari tangan bapaknya.
“Aassh! Brengsekk! Cewek sialan!” makinya dengan kesal.
Ia menjambak rambut untuk melampiaskan rasa kecewa dan sakit hatiya. Nggak bisa dipungkiri kalau dia benar-benar mengagumi sosok Tantri dan kini telah jatuh cinta.
Setelah lama berdiam disamping gardu yang tentu hanya sendirian, Gantan memutuskan untuk Kembali ke rumah. Nggak mungkin banget jika mau balik nongkrong, main game pakai wifi yang hanya bayar dua ribu di warung buk Parmi. Pasti temen-temennya akan nanyain tentang kencan pertamanya sama Tantri. Cewek cantik yang jadi incaran banyak lelaki.
Gantan menghentikan motor di teras depan rumahnya. Tatapan mata, tertuju ke sepeda tua yang selalu dibawa bapak pergi kemana-mana. Bisa dipastikan jika bapaknya sudah pulang dari proyek. Tanpa permisi atau ucapan salam, ia membuka pintu dengan satu kaki, cukup kasar. Membuat yang ada didalam rumah mengelus d**a.
“Gantang, buka pintu pakai tangan, bisa kan? Kalau pintu rusak, siapa yang benerin? Bapak lagi pastinya. Bapak itu capek, pulang kerja.” Omel pak Rohmadi yang tentu tak di gubris oleh anaknya.
Gantan justru berdiri didepan bapaknya yang duduk dikursi dengan bersandar. Terlihat sekali wajah Lelah orang tuanya. Tapi, seorang Gantan, mana peduli.
“Beliin motor gede dong, pak. Yang sama kek punya Aldi.” Pintanya dengan begitu enteng.
“Astaga, Le ….” Bu Sarmi yang tentu ikut mendengar omongan Gantan, langsung menyahut. “Kamu tadi abis bohongi bapakmu kan?! Ngambil duit bapak lima puluh ribu. Sekarang malah minta motor. Kamu pikir beli motor itu seperti beli garam di warung? Iya?!” marah bu Sarmi.
Tak menanggapi marahnya ibuk, Gantan melipat kedua tangan di pinggang dengan d**a naik turun menahan keinginan dan emosi.
“Coba kamu cari kerjaan, Gan. Kalau dapat gaji, kamu tabung, sampai duitnya cukup buat beli apa saja yang kamu mau. Bapak sama ibuk ndak akan minta.” Nasehat bapaknya yang lebih sabar dari ibuk.
Gantan menarik nafas dalam, menatap bapaknya cukup tajam. “Aku maunya cepat, pak. Seminggu lagi lah, itu motor udah ada.”
“Lailahailallah ….” Ibuk Kembali nimbrung. “Bapakmu ini bukan pak Tarno, Le.”
Pak Rohmadi menegakkan duduk. Memang anaknya ini keterlaluan banget. Dia baru aja pulang, baru meluruskan punggung yang nyeri dan tentu sangat Lelah. Nggak bisa apa, menghargainnya sedikit?
“Gantan, kalau kamu mau memiliki sesuatu, belajarlah bersabar. Lakukan sebuah usaha untuk bisa mendapatkannya. Semua itu perlu proses, tidak ada yang instan.”
Bibir manis Gantan menyungging penuh ejekan. “Sabar kek bapak, maksudnya? Udah hitungan tahun, jadi kuli bangunan, lalu ibuk jadi buruh cuci yang selalu dapat omelan tapi nggak kaya-kaya?! Ogah! Yang ada Cuma capek, tapi duitnya tetep aja nggak ada! Beli hape gambar gigi aja nggak mampu, ngapain sabar-sabar segala!”
“Ya Allah, Gantan ….” Buk Sarmi benar-benar geleng kepala dengan semua perkataan anak bujang satu-satunya ini.
Galina yang sejak tadi belajar didalam kamar, memilih keluar karna suara kakaknya ini telah mengganggu konsentrasi belajarnya. Hanya geleng kepala dengan merangkul adiknya dari belakang, setelahnya, memilih menuntun Galuh menuju dapur.
Pak Rohmadi berdiri, menatap anaknya yang kini tumbuh sedikit lebih tinggi dari dirinya. “Gantan, kamu sudah dewasa. Umurmu bukan lagi enam belas tahun, sekarang mulai berfikirlah untuk masa depanmu. Kedepannya, kamu memutuskan untuk menjadi apa? Bapak menyekolahkan kamu sampai SMA, itu buat ap ajika bukan buat masa depan kamu? Pakai ijazah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Mendapatkan uang yang selalu jadi keinginan kamu.”
Gantan mengacak rambut dengan begitu frustasi. “Assh, kerja, kerja, kerja! Itu mulu! Bosen banget dengarnya!”
“Gantan,”
“Pokoknya, aku mau motor gede! Kalau sampai seminggu belum ada, aku … aku mau mati aja!”
Braak!
Dembuman pintu yang dibanting keras dari kamar Gantan membuat semua yang mendengarnya menggeleng dengan helaan nafas.
**
Hari-hari berjalan berbeda, karna anak ganteng buk Sarmi nggak mau keluar dari kamarnya. Soal makan, Gantan tetap makan, karna dia bukan ular yang seminggu nggak makan tetap akan hidup. Tepat di hari ini, terhitung satu minggu sudah.
Bayangan motor gede yang ia mau sudah memenuhi kepala sejak beberapa hari yang lalu. Tersenyum sendiri membayangkan dia yang menaiki motor dengan Tantri yang akan ngebonceng dibelakangnya. Lengkap dengan pelukan dan tawa Bahagia mereka.
Emang dasarnya anak gila! Behahah ….
Berdiri didepan cermin, membetulan posisi topi terbaliknya. Tersenyum menatap kesempurnaan fisiknya. Serius pokoknya, di aini ganteng tingkat kecamatan.
Melangkah keluar dari kamar, tatapannya tertuju ke meja makan. Menarik kursi, lalu mendudukkan p****t. Sedikit binar terlihat di kedua mata Ketika melihat ada pepes nila yang selalu ia bayangkan setiap kali menyantap masakan sang ibu.
Sarmi sedikit mengulas senyum melihat binar Gantan. “Nih, ibuk masak pepes nila, kesukaan kamu. Makan yang banyak, biar kenyang.”
Tak menanggapi, tapi dia segera mengambil nasi. Detik kemudian, ia makan dengan sangat lahap. Usai makan, Gantan menatap bapaknya yang meraih gelas, meniup the yang kepulan uap panasnya masih terlihat. Lalu kedua adiknya yang masih menghabiskan nasi di piring.
“Pak, habis gajian, kan?” ucapnya.
Pak Rohmadi sedikit melirik Gantan, lalu melanjutkan menyesap minumannya. “Iya, tapi duinya udah ibuk pakai buat bayar hutang kamu di warungnya buk Parmi.”
Gantan berdesis pelan, menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi belakangnya. “Jadi beliin aku motor, kan?”
Pak Rohmadi menghela nafas panjang, terlihat sangat tenang dan begitu sabar menghadapi Gantan. “Gantan, motor yang kamu mau itu nggak cukup di beli dengan uang lima ratus ribu. Kamu juga tau, gaji bapak seminggu itu hanya cukup untuk kebutuhan seminggu kita. Ka—”
“Bapak kan bisa pinjam ke boss-nya bapak dulu. Gitu masa’ nggak bisa sih!?” ngomongnya dengan ngotot, seperti biasanya.
Pak Rohmadi Kembali menghela nafasnya. “Gantan,”
Brakk!
Gantan berdiri sambil mendorong kursi ke belakang dengan sangat kasar, membuat kursi itu terpentok ke dinding triplek yang terhubung ke kamarnya.
“Lebih baik aku pergi! Jadi anaknya bapak sama ibuk itu nggak enak! Apa-apa nggak punya! Nggak asik!” ucapnya.
“Ya Allah, Gantan!” seru bu Sarmi yang kini menghentikan tangan dari piring.
Gantan menatap kedua orang tuanya penuh benci. “Males jadi anak kalian! Miskin!”
Setelah mengatakan itu, Gantan melangkah keluar dari rumah. Dengan emosi yang memenuhi dadaa, ia berjalan tanpa arah. Tak minat bawa motor, karna motor itu bensinnya habis. Seorang anak yang frustasi dengan pemikiran yang benar-benar masih bocah dan belum bisa meluas, kemana lagi dia akan pergi?
Gantan mendudukkan pantan di beton yang ada di pinggir jalan. Jalanan yang sepi karna memang jalanan itu tidak terlalu banyak dilewati oleh kendaraan. Terlebih Ketika malam hari seperti ini, tak aka nada kendaraan yang lewat. Jika tetap lurus jalan ke aspal yang lebar itu, maka akan sampai di kota Jogja dengan melewati hutan yang tebingnya cukup tinggi.
Diam, menyalahkan nasib yang menurutnya sangat tak adil. Menjambak rambutnya lagi, menendang angin untuk melampiaskan segala rasa.
“Aaaa! Tuhan emang nggak adil! b******k! Anjiing!” berteriak marah.
Jedeer!
Tanpa angin, tanpa gerimis atau apa pun itu, tetiba kilatan petir terdengar seperti alam yang marah. Lengkap dengan kilat yang sempat terlihat membelah langit gelap. Sayangnya, keadaan seperti ini tetap tak membuat Gantan merasa takut atau gemetar.
Hanya menengadah, menatap langit sesaat, Kembali ia melangkah. Langkah yang pelan dengan pikiran kacau yang dipenuhi oleh emosi sesaat. Dia benar-benar akan pergi, membuat orang tuanya menyesal karna tak mau menuruti kemauannya.
‘Ya, aku harus menghilang. Biarkan bapak dan ibuk sibuk mencariku. Mereka tak menyayangiku!’
‘Malam-malam begini, aku harus pergi kemana?’
‘Gantung diri? Atau … aku harus terjun dari atas tebing di hutan sana?’
Suara-suara setann membuatnya semakin tak karuan. Suara hati dan pikiran positive-nya telah kalah. Dan tanpa berfikir Panjang, Gantan benar-benar melangkah masuk kedalam hutan. Namun, sebelum dia masuk ke hutan, sesuatu telah menyeretnya, membuatnya mengerang merasakan sakit yang luar biasa.
“Aaaagghh! Aagghh! Tolong!” pekiknya, berteriak kencang, sampai otot lehernya tercetak sangat jelas.
Kawanan binatang buas, dan ini sejenis musang atau … malah siluman? Karna tubuhnya yang besar, bahkan lebih besar dari anjing milik juragan pisang di kampung sebelah.
Kaki Gantan di gigit, lalu dia diseret ke tengah jalan. Hewan yang lain Kembali menyerangnya. Kali ini menggigit tangan, lalu kepalanya. Tak lagi bisa melawan, karna jumlah hewan yang lebih dari satu itu benar-benar telah mengkoyak seluruh tubuhnya.
Detik kemudian, pandangan Gantan mulai mengabur, rasa sakit karna gigitan hewan itu terasa sampai ke ulu hati. Selanjutnya, kedua mata terpejam, ia tak sadarkan diri.
**
Mati, itu terlalu cepat untuk Gantan yang memang … durhaka.
“Eeggh ….” Lengkuhan tertahan dan terdengar begitu berat.
“Pangeran Gan tang,” suara seseorang yang terdengar lirih dan samar di telinga Gantan.
“Sampaikan pada Kaisar, Pangeran Gan tang bangun!”