1. Kedatangan Danial

1401 Kata
Waktu sudah menunjukkan jam 00.30 ketika Joko, supir setia keluarga Narendra, mengeluarkan sebuah koper berwarna merah besar dari bagasi mobil berjenis hatchback yang baru dikendarainya untuk menjemput seseorang dari bandara. Joko meletakkan koper itu di atas lantai carport yang berlapis batu alam dengan hati-hati. Ia kemudian sedikit membungkuk sambil wajahnya ia dekatkan ke kaca jendela mobil yang terbuka. "Mas Danial, saya akan membawakan koper Anda ke dalam," tutur Joko dengan sopan kepada pria yang masih duduk di jok penumpang belakang. Pria bernama Danial itu hanya diam. Pandangannya menjelajahi rumah besar bercat kuning gading dan berdesain neo klasik yang berdiri kokoh di hadapannya dengan pandangan muram. Ia berpikir cukup lama sampai akhirnya ia memutuskan untuk menurunkan kaki menginjak lantai carport rumah tersebut. Lembaran-lembaran kenangan itu kembali diputar otaknya seperti sebuah film. Pria itu dipaksa untuk melihat kembali memori yang sangat ingin ia lupakan. Kenangan pahit yang ingin ia kubur dalam-dalam hingga ia tak bisa lagi menemukannya. Danial mengatur napasnya. Ia harus bersiap menghadapi kenyataan yang menanti di hadapannya. Ia berusaha keras membutakan mata hatinya pada semua yang akan ia lihat dan rasakan yang mungkin saja hal itu akan dan bisa menyakiti dirinya. Danial mengikuti langkah Joko. Ia berjalan dengan tegak dan berusaha untuk tetap tenang. Wajahnya yang memesona hasil perpaduan tiga bangsa—Cina, Jawa, dan Belgia—memancarkan rona gundah. Kedua tangannya terkubur dalam saku celana jeans birunya. Danial terus berjalan di belakang Joko melintasi foyer lalu memasuki ruang tengah yang mewah, elegan dan mengagumkan. Perabotannya terlihat sederhana tapi simetris. Furnitur kayu gelap dengan ornamen indah, lantai batu, dan marmer berlapis karpet Persia. Semua terlihat seperti biasanya, tampak sama. Tidak ada yang berubah dari ruangan itu seperti tujuh tahun lalu sebelum Danial meninggalkan rumah tersebut. Langkah Danial terhenti saat ekor matanya menangkap sosok yang tidak ingin dilihat, dibenci, namun sekaligus sangat dirindukannya. Wanita itu terlihat sangat cantik dan anggun. Ia terlihat dewasa dengan pulasan make up natural dan midi dress bermotif bunga yang membalut tubuh rampingnya. Kelip anting-anting cantik yang menghias telinganya membuat wanita itu terlihat sempurna. "Pak Joko, biar saya saja yang membawa kopernya. Pak Joko bisa meninggalkan saya," pinta Danial. Joko menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadap Danial. "Baik, Mas. Tapi—" "Tidak apa-apa, Pak," potong Danial meyakinkan Joko. "Oh, ya. Kalau begitu saya permisi, Mas." Pandangan Joko kemudian beralih pada wanita cantik yang tengah berdiri mematung di samping kursi ruang tamu. "Bu, saya permisi dulu." Wanita itu mengembangkan senyumannya lalu mengangguk. Senyuman yang membuat hati Danial teriris dan terasa sangat perih. Senyuman yang seharusnya menjadi miliknya, hanya miliknya. Kini, senyuman itu harus dimiliki orang lain yang tak bukan adalah papanya sendiri. Joko sedikit membungkuk memberi hormat lalu meninggalkan mereka berdua dalam keheningan. "Semua ini idemu atau ide si tua bangka itu?" tanya Danial dengan nada sinis. "Dia papamu, Dan. Kau tidak boleh berkata seperti itu padanya." Suara lembut yang keluar dari mulut wanita itu menggetarkan jiwa Danial dan menggoyahkan sisi batin yang sangat mendambakannya. "Persetan dengannya!" Danial mencoba mengantisipasi dengan bersikap sedikit kasar agar tidak larut dalam hasrat terbesarnya. "Ini semua keinginan papamu. Papamu ingin bertemu denganmu sebelum ajal menjemputnya," jelas wanita itu. Tatapan mencela Danial menjelajahi wajah wanita itu. "Jadi, hanya untuk bertemu denganku kalian sampai harus menyewa detektif swasta dan menghabiskan uang ratusan juta?" "Danial, papamu sekarat. Dia sedang berjuang melawan maut. Bisakah kau melembutkan hatimu untuknya barang sedikit. Kuakui aku menghabiskan uang ratusan juta hanya untuk menemukan keberadaanmu di San Francisco. Aku tidak punya cara lain untuk mengabulkan keinginan papamu. Bisa jadi ini keinginan terakhirnya." Mata wanita itu tampak berkaca-kaca. Danial mengangkat kedua ujung bibirnya tersenyum getir. "Ayu, Ayu. Namamu belum berubah, 'kan?" Wanita itu menggeleng. "Aku tidak pernah merubah namaku. Merubah namaku tidak akan bisa menghapus siapa diriku dan masa laluku. Biarkan saja seperti ini. Seperti namaku yang tidak akan pernah berubah, Ayudia Mustafa. Mungkin kau masih mengingatnya." Ucapan Ayu langsung menikam relung hati Danial. Ingatan Danial kembali ke tujuh tahun silam saat pertama kali ia bertemu dengan Ayu di sebuah desa nelayan di ujung barat atau kulon pulau Jawa.  Gadis lugu berseragam putih abu-abu itu telah menarik perhatiannya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di desa tersebut. "Silahkan diminum tehnya, A, Teteh." Gadis itu meletakkan nampan plastik dengan beberapa cangkir teh di atas meja kayu. Wajahnya sangat polos dengan rambut di ikat ke belakang membentuk ekor kuda, tak henti-hentinya ia menebar senyuman manis kepada seluruh peserta kegiatan KKN yang akan dilaksanakan di desanya. Gadis itu tak bisa membuat tatapan Danial berpaling. Sambil menikmati angin laut yang berhembus menerpa atap rumah sederhana milik orang tua gadis itu dan balai-balai tempat para peserta KKN  duduk, Danial terus memandangi wajahnya. Ada getaran aneh yang dirasakan Danial saat melihat wajah  polos gadis tersebut. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat wajah cantik tanpa pulasan make up sama sekali. Keramahan dan senyumannya begitu alami dan tidak ada kepura-puraan di dalamnya. "Siapa namamu?" Danial memberanikan diri bertanya. "Saya Ayu, A. Ayudia Mustafa. Anaknya Pak RT di sini. Pak Mustafa. Sabar ya, A. Sebentar lagi Bapak pulang. Ayo atuh diminum dulu tehnya," balas Ayu dengan aksen Sundanya yang kental. Danial mengerjapkan matanya. Bagaimana mungkin ia akan melupakan hari itu? Bagaimana mungkin ia bisa melupakan wajah polos yang sudah menarik jiwa dan raganya ke dalam kobaran cinta yang membara dan berujung pada sebuah kenistaan? "Papamu masih dirawat di rumah sakit. Besok kau harus menemuinya di sana," tutur Ayu. Danial mengeluarkan tangan dari saku celana jeansnnya lalu bersedekap. Tangannya yang terlipat di depan d**a dan memperlihatkan otot-otot yang menghias lengan kuatnya membuat Ayu menelan ludah. Ayu menatap wajah Danial beberapa saat. Menjelajahi seluruh bagian wajah pria itu. Wajah yang sama yang sudah menghancurkan masa mudanya. Wajah yang membuatnya terperosok ke dalam jurang nestapa. "Kamarmu masih yang dulu." Ayu kemudian berbalik lalu melangkah pergi. "Jadi, sekarang kau yang mengatur di rumah ini?" Danial masih bersikap sedikit kasar. Ayu menghentikan langkah lalu berbalik kembali menghadap Danial. "Aku istri pemilik rumah ini. Sudah menjadi tanggung jawabku mengatur rumah ini." "Kedengarannya kau sangat bangga menjadi nyonya rumah ini," sahut Danial dengan nada merendahkan. Tak ada gunanya bagi Ayu menanggapi semua ucapan Danial. Tidak ada tanda-tanda penyesalan sedikit pun dalam setiap nada bicara dan tatapan pria itu. Ayu kembali berbalik dan tak lagi memedulikan semua ucapan Danial. Hati pria itu sekeras gunung batu. Sepertinya, penyesalan tidak pernah masuk dalam kamus hidupnya, pikir Ayu. Ayu mengganti pakaiannya dengan piama tidur. Ia berjalan beberapa langkah ke samping tempat tidur lalu menempatkan bokongnya di atas bantalan empuk kursi malas. Saraf-sarafnya yang sempat menegang akibat pertemuannya dengan Danial tadi membuat Ayu merasa pusing. Ia menyandarkan kepala ke punggung kursi sambil memejam. Seandainya aku tahu Danial putra Mas Anthony, aku tidak akan pernah menerima tawaran Mas Anthony untuk menikah dengannya. Pikiran Ayu kembali melayang dan berputar-putar ke masa lalu. Derit suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Ayu. Wanita itu segera membuka lebar-lebar mata gelapnya. Selain Anthony, tidak ada yang diizinkan masuk ke kamarnya meskipun putri Anthony sendiri, Rachel, adik perempuan Danial. Ya Tuhan! Ayu menangkap sosok Danial tengah berdiri di hadapannya. Ia terperanjat hingga tanpa disadarinya, ia telah memegang erat-erat tangan kursi malas itu. "Danial, mau apa kau ke sini?" "Dulu, ini kamar ibuku. Aku hanya ingin melihat kamar ini. Ternyata, kau sudah menggantikan posisi ibuku di rumah ini. Kau menguasai semuanya." Danial menatap Ayu dengan geram. Danial mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ia menyatukan giginya dan mengeraskan rahang seksinya menahan sengatan emosi yang mulai tercipta. Danial tidak bisa membayangkan Ayu dan papanya memadu kasih di kamar ini, di kamar ibunya. Danial melangkah mendekat. Ujung kakinya hampir menyentuh ujung  kaki kursi yang diduduki Ayu. Ia mencondongkan tubuhnya dan menempatkan tangannya di punggung kursi tepat di samping pundak Ayu. Wajahnya kini hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah wanita itu. Ayu bahkan bisa merasakan hangat napas pria itu dan mencium aroma maskulin dari tubuhnya. "Danial, aku istri Papamu. Kau tidak boleh berada di kamarku," ucap Ayu gugup. "Kamarmu?" Danial menatap tajam Ayu beberapa saat. "Apa tujuanmu menikah dengan pria tua itu?" Ayu terdiam dan menatap Danial dengan tatapan tajam. Ia merasa sangat terhina dengan pertanyaan Danial. Matanya mulai panas dan berair. Pria di hadapannya ini benar-benar dibutakan oleh keadaan. Ia tidak menyadari jika ia sudah sangat meyakiti Ayu dan membuatnya menderita selama ini. "Aku mencari perlindungan, kehormatan, dan sekaligus kesenangan. Puas?!" air mata Ayu jatuh membasahi pipi mulusnya. Ia mengucapkan apa yang ingin didengar oleh Danial, meskipun itu membuat hatinya terasa diremas-remas.  Danial menyeringai menampakkan deretan gigi putihnya dengan sangat tidak ramah. "Sudah kuduga."  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN