Ekspresi yang Menghibur

1075 Kata
Irisa meremas bawahan gaunnya meski nanti akan membuat gaunnya kusut. Tatapan mata Allen sungguh mengintimidasi, membuat pria itu terlihat seperti binatang buas yang sedang memojokkan mangsanya. Seketika Allen menghela napas. Tubuhnya menjauh, menarik kedua tangan yang mengurung Irisa untuk kemudian disimpan di dalam saku celana. Berdiri tegak tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan. Sontak Irisa menundukkan kepala, menghindari kontak mata dengannya dan tentu saja membuat Allen mendengus. “Kau tahu? Kau terlihat seperti kelinci yang terperangkap dalam jaring pemburu.” Irisa masih bergeming, mengacuhkan perkataan Allen yang dianggapnya tidak penting. Hingga akhirnya sepasang sepatu kulit di hadapannya itu mulai menjauh dan membuat ekor matanya bergerak mengikuti. Langkah Allen berhenti di depan sebuah meja nakas yang berada di samping ranjang. Tangannya terulur, mengambil sebotol wine yang sudah tersedia di sana. Sementara tangan satunya digunakan untuk mengapit dua gelas kaca dengan jari. “Aku mendapatkan wine ini di acara pelelangan. Hanya ada empat botol di dunia, dan aku memiliki semuanya.” Allen mengisi setengah gelas kaca tersebut dengan cairan kental berwarna merah keunguan, lalu menyodorkannya ke hadapan Irisa. Setelah menunggu selama beberapa saat dan Irisa masih belum mengambil gelas pemberiannya, Allen lantas mengerlingkan mata. “Apa kau akan terus membuatku memegang gelas ini?” Tubuh Irisa sedikit tersentak, menjadikannya menatap Allen sekilas sebelum akhirnya mengambil alih gelas yang dipegang pria itu. “Aku tidak menaruh racun di dalamnya, jadi kau tidak perlu khawatir.” Lagi. Allen kembali berbicara begitu melihat Irisa yang hanya menatap gelasnya dalam diam. Orang lain akan merasa terhormat jika Allen menuangkan mereka minum dengan tangannya sendiri. Namun, sepertinya Irisa tidak begitu. Saat Allen mengulurkan tangannya untuk merebut kembali gelas yang dipegang Irisa, tiba-tiba tangannya ditepis yang tentu saja membuat matanya membulat. Irisa meminum wine dalam gelasnya hingga tandas. Tangannya bergerak mengusap bibirnya yang basah, lalu menaruh gelas kosong tersebut di atas meja. Hal itu mengundang seringai di wajah Allen yang kemudian berpikir untuk membuat Irisa mabuk. Setelah beberapa waktu berlalu, tampak rona merah menjalar di sekitar wajah Irisa. Tubuhnya sedikit terhuyung dan matanya berkedip dengan setengah menutup. Allen sangat menikmati pemandangan langka di hadapannya, menyaksikan wajah mabuk Irisa yang tidak pernah dilihatnya. Dia hendak mengisi kembali gelas kosong milik wanita itu, namun ternyata botol dalam genggamannya pun sudah kosong. “Ah, sepertinya kita kehabisan wine.” Irisa mengerjapkan matanya yang terasa berat. Pandangannya terlihat kabur dan berbayang, bahkan kepalanya pun sangat pusing. Ini pertama kalinya Irisa minum alkohol. Karena sebagai seorang perawat, dia tidak boleh mabuk yang mungkin saja membuatnya melakukan kesalahan saat sedang merawat pasien. Dengan tubuh yang terhuyung, Irisa berusaha berdiri meski pada akhirnya terjatuh kembali. Sontak kedua tangannya memukul-mukul kepala untuk mengembalikan kesadaran. Melihat itu, Allen pun segera menahan tangan Irisa agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. Irisa memberontak dan tentu saja membuat Allen mengerahkan tenaganya untuk mencengkeram tangan Irisa lebih erat. “Argh! Lepaskan aku, berengsek! Dasar pria sampah! Kau telah menghancurkan hidupku dan mengambil kesucianku! Aku sungguh membencimu!” Allen melepaskan cengkeramannya dan langsung membawa Irisa ke dalam pelukan. Namun, Irisa tidak bergeming. Tangannya bergerak memukul punggung Allen. Tangisannya pun pecah seketika, membuat pukulannya melemah hingga jatuh terkulai di masing-masing sisi tubuhnya. “Aku membencimu ... aku membencimu, Allen Castellar. Mengapa aku harus menikah denganmu? Kau hanya membuatku tersiksa hingga aku ingin mati ....” Setelah gumaman pelan itu, terdengar suara dengkuran halus dan deru napas Irisa yang teratur. Kemeja Allen terasa basah karena air mata, namun tak dia pedulikan. Sontak pria itu menggendong tubuh ringkih Irisa dengan hati-hati yang kemudian dibaringkannya di atas ranjang. Ibu jarinya mengusap kedua belah mata Irisa yang tampak basah, merapikan rambut wanita itu hingga akhirnya menarik selimut untuk menutupi tubuh feminimnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mati meski kau menginginkannya, Irisa.” *** Pagi hari, Irisa terbangun dengan kepala yang masih terasa pusing dan perutnya yang mual. Pandangannya menyapu satu ruangan, memindai setiap barang dan dekorasi yang terlihat familiar di mata, dengan dahi yang berkerut dan sebelah alis yang terangkat. Irisa membuka selimut yang menutupi setengah tubuhnya, memperlihatkan piyama merah muda selutut dengan renda putih di bawahnya. Kakinya hendak turun dari ranjang, saat tiba-tiba terdengar suara maskulin yang datang dari ambang pintu. “Kau sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?” Seketika Irisa memutar kepalanya ke arah sumber suara. Tampak Allen yang tengah menyandarkan punggungnya di kusen pintu sembari melipat kedua tangannya di depan d**a, menatapnya datar. Saat itu, terlintas di pikiran Irisa untuk menanyakan kejadian yang tak diingatnya semalam. Bagaimana dengan acara pertunangan Vega? Mengapa Irisa bisa ada di kamarnya dengan pakaian yang berbeda? Pertanyaan semacam itu. Namun, mulutnya justru mengeluarkan pertanyaan lain. “Untuk apa kau ke kamarku?” Hal itu sontak membuat Allen mengangkat sebelah alisnya ke atas. Sejenak dia memperhatikan wajah bangun tidur Irisa; mata sayu; rambut kusut dan berantakan; kulit putihnya yang tanpa polesan make-up, sebelum akhirnya memilih untuk mendekat. Allen duduk di sofa tunggal yang kemudian diposisikan ke arah Irisa. Dia lantas menyilangkan kakinya dan pandangannya lurus ke depan. “Sepertinya aku harus meluruskan sesuatu. Pertama, ini adalah rumahku dan aku bebas melakukan apa saja. Kedua, kamar ini adalah kamar kita.” Tak sedikit pun dari ekspresi Allen berubah ketika mengatakan itu, tetap tegas seperti ciri khasnya. Irisa menggigit bagian dalam mulutnya sembari melirik ke arah lain, sedangkan hatinya mengutuk diri. “Kau tidak ingin berteriak padaku seperti semalam, contohnya?” Kening Irisa mengerut seketika, sebelum akhirnya menundukkan kepala yang tentu saja mengundang senyum tipis Allen. Dari sana Allen bisa tahu; Irisa tidak mengingat kejadian semalam. Tiba-tiba sebuah ide gila pun muncul di dalam kepala Allen. Pikirnya, dia mungkin bisa mempermainkan Irisa sedikit dan melihat bagaimana reaksinya. “Tadi malam kau sangat agresif padaku. Bukan hanya berteriak dan memaki, tetapi kau juga berusaha menggodaku dengan tubuh telanjangmu.” Mata Irisa membulat sempurna, memperlihatkan keterkejutannya. Sejurus kemudian, dia menggigit bibir bawahnya dengan mata yang terpejam. Alkohol adalah musuh terbesarnya. Irisa tidak mengingat apa pun, jadi dia tidak bisa memastikan perkataan Allen; apakah benar atau hanya kebohongan. “Aku tidak mungkin seperti itu.” Irisa berusaha menyangkal kejadian yang bahkan tidak diingatnya. Pikirnya, dia tidak mungkin sampai melakukan sesuatu yang menjijikkan untuk menggoda Allen meski sedang mabuk, kecuali jika dia memang sudah gila. Namun, untuk berteriak dan memaki pria itu, Irisa mungkin mempercayainya. Hal itu selalu ingin dilakukannya meski tanpa pengaruh alkohol, jadi tidak heran jika itu benar-benar terjadi. Saat itu juga, Allen tertawa keras hingga menunjukan deretan gigi putihnya yang rapi. Tangannya menutup sebelah mata yang merupakan sebuah kebiasaan saat dia sedang tertawa. “Aku menyukai ekspresimu. Kau benar-benar menghiburku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN