Derita LDR

1694 Kata
Chua: Derita LDR "LUCKY b**o!" "LO YANG b**o, ANJIR!" Apartemen ini mulanya adem ayem. Cuma ada gue yang sibuk menulis n****+ di ruang tamu dan ditemani sama keripik kentang, juga sebotol air dingin di atas meja. Tapi, setelah dua bocah ini tahu-tahu muncul di depan pintu, mau nggak mau gue harus mempersilakan keduanya untuk masuk sebelum bikin rusuh seluruh penghuni di gedung ini. Heran, Lucky sama Aree ini udah bukan anak kecil lagi. Usia mereka udah dua puluh dua tahun, tapi modelannya masih kayak bocah. Entah itu lagi ngobrol hal-hal random, main games sambil gebuk-gebukkan lalu ketawa cekikikan sampe bikin telinga gue bunyi ngiiiiiing. Saat-saat kayak gini tuh bikin gue kangen sama Lakka. Biasanya kita selalu berdua, kadang ngobrol, kadang dia nemenin gue nulis sampe bikin dia ikutan begadang. Tiap kali gue suruh tidur duluan karena pekerjaan nulis tuh nggak jelas kapan selesainya. Kalau boleh jujur sih, tergantung sama suasana hati. Kalau suasana hati lagi bagus-bagusnya, nulis sampe pagi pun kayaknya nggak bakal sadar, tahu-tahu udah pagi aja, gitu. Gue tertawa pelan memandangi isi chat terakhir gue sama Lakka tadi pagi. Lucu nggak, sih, kita yang dulunya ketemu secara nggak sengaja, lalu berakhir gue ngajak dia pacaran gara-gara ide gila si Deta, terus berlanjut ke pertemuan-pertemuan selanjutnya yang kadang bikin gue malu sendiri. Gue dan Lakka diawali dengan pertemuan yang buruk. Gue sendiri yang bikin imaje gue di depan dia jadi nggak bagus. Ya iyalah, belum kenal, tahu-tahu ngajak pacaran. Mana muka gue kayaknya songong banget waktu itu. Hal yang gue ingat adalah, reaksi Lakka—cowok cantik itu mengerutkan dahi dan bertanya dengan nada ketus, banget. Pertemuan kita nggak berhenti di situ aja. Karena, terjadi pertemuan-pertemuan selanjutnya hingga akhirnya gue tinggal di apartemen dia—dan, berakhir jadi pacar Lakka. Kalau orang lain pacaran karena saling menyayangi, buat gue sama Lakka nggak begitu. Lakka bilang, "Kita bisa saling membantu," gue nggak paham sama maksudnya Lakka, sebenarnya. Tapi, gue pikir, punya cowok secakep Lakka, kapan lagi, sih? Bisa gue pamerin ke Deta sama Yuvin. Haha. Gue nggak berharap banyak sama hubungan gue sama Lakka ke depannya kayak gimana. Entah bakal putus gitu aja, Lakka menemukan cewek yang lebih dari gue, gue nggak tahu. Karena kemungkinan-kemungkinan itu bisa datang kapan aja. Yang gue lakukan cuma menyiapkan hati sama tempat tinggal. Kenapa tempat tinggal? Ya karena di sini gue numpang tidur. Kalau Lakka punya cewek lain, otomatis kan, mau nggak mau gue harus cabut dari apartemen Lakka. Iya, nggak? "Gimana perasaan lo pacaran sama Abang gue, Kak?" Itu pertanyaan Lucky waktu kita berdua ngobrol di ruang tamu. Cowok itu baru beres mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Walaupun sambil ngeluh, misuh-misuh dan mengacak rambutnya, akhirnya Lucky bisa menyelesaikan juga. "Ya gitu..." jawab gue, setengah ragu. Gue ragu mau jawab kayak gimana. Pacaran sama Lakka berasa lurus-lurus aja gitu. Kita nggak pernah berantem, apa lagi cemburu karena dipicu hadirnya orang ketiga, atau pun keempat. Gue cerita sama Lakka soal temen-temen gue yang emang kebanyakan cowok. Lakka mengangguk, dia cuma iya-iya dan nggak membatasi antara gue dan temen-temen gue. Ah, Lakka juga lempeng-lempeng aja hidupnya. Gue tinggal satu atap sama dia selama itu, dia nggak pernah ngapa-ngapain gue. Pernah, sekali, gue lupa bawa baju ganti ke kamar mandi. Karena kamar mandi di apartemen Lakka cuma satu, dan ada di luar kamar cowok itu, mau nggak mau gue keluar cuma pake handuk yang melilit badan gue hingga ke paha doang. Gue keluar kamar mandi, berusaha biasa-biasa aja. Cuek aja gitu jalan ke kamar untuk mengambil baju ganti. Pas sampe di depan pintu kamar Lakka, gue lihat si Lakka lagi duduk di ranjang sambil baca buku. Cowok itu awalnya nunduk, fokus ke buku di tangannya. Sampe gue balik mau keluar, Lakka mulai menyadari di situ ada gue. Tahu nggak, reaksi Lakka kayak gimana? Dia cuma mengernyitkan dahi, menatap gue dengan wajah minim ekspresinya sambil nanya, "Ngapain keluar lagi?" gue diem aja di situ, menunggu Lakka melanjutkan kalimatnya. "Kalau mau ganti, ya ganti aja, Wa. Gue bisa keluar." abis itu, Lakka menutup bukunya kemudian turun dari ranjang dan melewati gue tanpa canggung. Di situ gue pengin nanya ke Lakka, "Maaf, gue nggak seksi ya?" tapi nggak jadi. Gue nggak mau dianggap cewek m***m sama Lakka. Jadi, gue harus bersyukur atau geregetan punya pacar kayak Lakka? *** Semenjak nggak ada Lakka di apartemen, gue jadi merasa sering kesepian. Lucky mau pun Aree kayaknya sibuk banget sama tugas kuliah dan nggak jarang gue cuma bengong. Mau nulis, tapi mood lagi nggak bagus. Ya, gimana dong, vitamin gue lagi jauh di Bandung. Alay. Rasanya pengin nabok diri sendiri kalau mulai dalam mode menjijikan kayak gini. Dulu sebelum gue punya pacar, gue suka berangan-angan. Gimana rasanya kalau lagi kangen sama pacar? Karena dulu gue nggak punya pengalaman pacaran, setiap kali ada temen gue yang mengeluh karena harus ldr-an, gue ketawain. Gue bilang aja kalau mereka alay. Apaan, sih! Jauh-jauhan kan bukan berarti nggak bisa lihat. Sekarang tuh udah canggih. Kangen suaranya ya tinggal telepon, pengin lihat mukanya ya tinggal video call. Jadi, susahnya di mana? Iya. Itu gue dulu. Sebelum kenal dan pacaran sama Lakka. Sekarang? Gue ngenes. Bodo. Sebodo amat dibilang lebay juga! Gue kangen Lakka pokoknya. Titik. "Seriusan lo mau kerja, Wa?" tanya sosok cowok bertubuh tinggi besar yang lagi duduk di kursi depan gue. Kepala gue terangguk, "Iya, Bang. Nanya mulu, elah!" Bang Anjas—salah satu teman Lakka yang gue kenal lagi ngajak gue makan di salah satu restoran enak. Gue ditraktir sampe kenyang. Katanya, "Tinggal tunjuk aja lo mau yang mana. Itung-itung lo nemenin gue malam mingguan." Dih. Dasar jomlo karatan! Gue heran sama Lakka, kenapa bisa punya temen yang usianya pada jauh-jauh gini sih. Bang Anjas, Mas Ado, Dokter Gino, dan beberapa temen dia yang gue kenal yang nggak bisa gue sebutin. Sebagian dari mereka ada yang udah punya istri sama anak, duda kayak Mas Ado, nggak jelas kayak Dokter Gino. Dan, bujang lapuk yang sekarang lagi asyik mengunyah kentang goreng. "Lakka tahu lo mau kerja? Izin dulu lah, Wa," kata Bang Anjas dengan mulut penuh makanan. "Kalau Lakka ngizinin, gue cariin deh. Ada tuh, kayaknya di kafenya Kasa." Kasa. Oke. Ini nama baru. Gue nggak tahu si Kasa ini temannya Bang Anjas aja, atau Lakka juga kenal. Soalnya Lakka nggak pernah menyebutkan nama barusan. "Ngapain pake izin sih, Bang," gue mencondongkan badan untuk mengambil minuman gue di tengah-tengah meja. "Lakka cuma pacar gue, Bang, bukan Ayah gue." "Tapi lo kan dititipin ke gue, Wa," sahut Anjas. "Bilang dulu lah, nanti gue cariin. Lo tinggal masuk doang ntar." Enak ya punya temen kayak Bang Anjas. Apa-apa tuh bakal dipermudah. Gue ngeluh laper, udah diajakin makan, gue pengin kerja, katanya tinggal masuk doang, asal gue izin ke Lakka. "Bener tinggal masuk doang nih, ya? Gue izin Lakka nih ntar pulang dari sini." tunjuk gue ke Bang Anjas, dan dibalas sama anggukkan kepala doang. *** Dua hari kemudian setelah gue meminta izin ke Lakka sesuai dengan permintaan Bang Anjas, akhirnya cowok itu pun menepati janjinya untuk membantu gue mencari pekerjaan di salah satu kafe punya teman Bang Anjas yang namanya Kasa. Gue diterima kerja di kafenya Bang Kasa pada hari itu juga. Katanya, kalau Bang Anjas nggak diturutin bisa bikin huru-hara di tempatnya. Gue cuma ketawa melihat ekspresi Bang Anjas yang berasa kayak mau mendorong kursi Bang Kasa. Gue kira cuma Lucky sama Aree doang yang kayak bocah. Lah, ini... orang setua Bang Anjas sama Bang Kasa malah lebih bocah lagi. Emang ya, cuma pacar gue doang yang bener. "Gue titip adek gue, nih," kata Bang Anjas memiting leher gue. "Kalau ada yang sampe bikin lecet, gue pisahin kepala sama badannya." Bang Kasa ketawa ngakak, keras banget. "Anak perawan siapa lagi yang lo jagain sekarang, Njas?" ledek Bang Kasa, "Dulu Sachi, Dirana, istri gue, Klari, sekarang...," Bang Kasa menatap gue dengan sebelah alis yang terangkat. "Siapa nama lo?" tanyanya menunjuk gue. "Chua." sahut Bang Anjas. "Chua, Sa! Maklum sih, lo kan udah tua makanya udah pikun." Mereka berdua lanjut mengobrol di meja dekat jendela kaca yang mengelilingi kafe di sini. Di tempat ini, gue bakal bekerja. Gue bakal ketemu orang baru, siapa tahu bisa menambah pertemanan dengan orang yang lebih banyak. Biar gue nggak ketemu orang-orang itu mulu. "Wang!" seru Bang Kasa memanggil seorang cowok berkemeja biru. Cowok yang dipanggil 'Wang' sama Bang Kasa itu menolehkan kepalanya dan balas menyapa Bang Kasa dengan senyum ramah. Gue mengikuti pandangan Bang Kasa yang tertuju kepada Wang yang sekarang sedang jalan mendekati meja kita. "Chua, kenalin ini Iwang, manajer di sini." kata Bang Kasa menunjuk si Iwang. Iwang, cowok berkulit putih bermata sipit itu menganggukkan kepalanya lalu mengulurkan sebelah tangannya. "Iwang," katanya memperkenalkan diri. Gue balas menjabat tangannya, "Chua, Pak," "Jangan kaku gitu ah, Wa!" sahut Bang Kasa. "Panggil Mas atau Kakak aja nggak apa-apa. Yang lain juga manggil gitu kan ya, Wang?" Iwang mengangguk, mengiakan. "Jadi, Wang," kata Bang Kasa melirik ke gue. "Mulai besok Chua bakal bekerja di sini. Tolong ajari Chua. Ajari sampe Chua bener-bener bisa." Lagi-lagi Iwang mengangguk. "Iya, Bang Kasa." jawab Iwang, menatap gue. Ada perasaan aneh waktu Iwang menatap gue. Nggak tahu kenapa kayak ada yang beda gitu. Gue bukan baper karena dilihatin sama cowok cakep ya. Karena setiap harinya gue di kelilingi cowok-cowok ganteng. Sebut aja salah satunya: Aree. Ganteng dong dia? Tapi gue nggak baper kok. Digombalin sampe mulut Aree keluar busa pun gue biasa-biasa aja. Cuma, tatapan Iwang tuh, kayak.... naksir gue? "Suami orang itu," Bang Anjas menarik gue mendekat lalu berbisik. "Tahu darimana? Kan di jidat dia nggak ada tulisan 'suami orang'." kata gue sambil cekikikan. "Istrinya galak, Wa." tambah Bang Anjas menarik lengan gue. "Lo pernah dilabrak emang?" kata gue masih mengajak dia bercanda. "Gue slepet nih lo, ya." ancam Bang Anjas. "Pokoknya jangan deket-deket banget sama Iwang. Dia emang cakep, rapi buaya juga." "Masa sih?" Kita berdua malah sibuk bisik-bisikkan sampe bikin Bang Kasa dan Iwang menatap ke arah kita berdua. Bang Kasa sih memaklumi ya. Dan, lagi, Iwang nggak berkedip menatap ke gue. Bentar, bukannya mau geer. Iwang, nggak lagi kena virus cinta pada pandangan pertama sama gue, kan? Eiiii. Nggaklah. Otak gue kayaknya mulai terkontaminasi sama sinetron yang sering ditonton sama Lucky, nih. Gara-gara Lucky sering ngajakkin gue nonton sinetron sampe tengah malam.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN