03. Desa Terkutuk

1298 Kata
Desa Gayam, 20 tahun kemudian ...             Baru kali ini ada mahasiswi kota yang datang melakukan penelitian di desa terpencil ini.  Kedatangannya tentu memancing perhatian para penduduk desa, apalagi dia masih muda, sangat cantik .. dan memiliki darah blasteran.  Namanya Kimberly, panggilannya Kimmy.  Dia mahasiswi jurusan tari.  Demi kepentingan tugas akhirnya, dia rela mengunjungi desa Gayam yang konon merupakan desa terkutuk akibat aura mistis tari ronggeng yang kini dilarang dipentaskan di desa ini.              Kimmy penasaran.  Itu sebabnya ia mengangkat topik ini sebagai tugas akhirnya.  Sebagai mahasiswi calon lulusan terbaik, dia ingin mempersembahkan tugas akhir yang spektakuler.  Sangat cocok kan tema yang ia angkat?             “Sebenarnya saya heran, mengapa Pak Lurah bersedia menerima Nona Kimmy mengadakan penelitian di desa kami,” cetus Pak Leres Sejati.  Dia petugas administrasi desa yang bertugas menerima dan mengenalkan Kimmy di desa Gayam.             “Memangnya mengapa Pak?  Apa ada larangan meneliti di desa ini?” tanya Kimmy heran.             “Bukan begitu, Nona.  Tapi topik yang Nona angkat sangat riskan.  Apa Anda tahu rumor di desa ini?”             “Justru itu saya ingin menelitinya.  Saya yakin, desa ini bukan desa terkutuk.  Apalagi kutukannya karena tari ronggeng.  Saya tak rela kebudayaan kesenian kita menjadi kambing hitam untuk sesuatu yang kurang baik konotasinya,” jelas Kimmy.             Pak Leres menghela napas panjang.  Sebenarnya bukan tariannya, tapi kutukan itu datang dari mulut penari ronggeng yang hingga kini tak diketahui keberadaaanya.  Ada yang bilang dia melenyapkan demi tumbal kutukannya.   Tapi Pak Leres tak berani mengungkapkannya, tak hanya dia .. semua penduduk di desa Gayam tak berani menyebut nama Nyai Ronggeng.  Mereka khawatir teluh akan datang jika mereka memanggilnya.             Kimmy berjalan santai di samping Pak Leres, sesekali ia tersenyum pada penduduk desa yang ditemuinya di jalan.  Namun mereka melengos, ada yang membuang muka.  Sepertinya penduduk desa ini bukan orang yang welcome pada orang asing yang dijumpainya.              “Maaf, mereka memang begitu terhadap orang yang baru dikenalnya.  Tapi nanti lama kelamaan mereka akan menerima Nona Kimmy dengan baik jika Nona tak melanggar pantangan di desa ini dan mematuhi adat kami.”             Pantangan apa?  Adat seperti apa?              Kimmy mengernyitkan dahi heran.  Namun ia menyimpan pertanyaannya dalam hati.  Begitu banyak yang ingin ia ketahui, dia harus sabar untuk bisa mengungkapnya satu per satu.  Semakin lama disini ia semakin penasaran.  Dan Kimmy adalah tipe cewek yang tak mudah puas jika belum menemukan jawaban atas rasa penasarannya.             “Tak masalah, Pak.  Saya akan berusaha memenuhinya sebisa mungkin.”             Sebisa mungkin.  Semaksimal dia bisa.  Jadi kalau tak bisa, bukan dia mengingkari janjinya kan?  Pikir Kimmy geli.             Btw, anggap saja disini dia sekalian berlibur.  Hawa pegunungan di desa Gayam sangat sejuk, dia menyukainya.  Kimmy merentangkan tangannya sambil berjalan mundur, menghirup dan menikmati udara segar dengan memejamkan matanya.  Duk! Dia membentur seseorang, tubuhnya sempoyongan kalau tak ada lengan lelaki yang menahan pinggangnya.  Tak sadar, ia berbalik dan menampar pria yang memeluknya. PLAK!  Tamparannya bukan di wajah pria itu, namun di dadanya.  Kimmy terpaku seketika.  Pria yang baru saja ditamparnya adalah raksasa!  Tingginya hanya sedada pria itu, padahal Kimmy termasuk cewek dengan tinggi diatas rata-rata.  Jadi berapa tinggi pria ini?  Dua meter lebih?  Kimmy mendongak dan berhadapan dengan wajah datar nan dingin raksasa itu.  Dia mengamatinya dengan seksama.  Berkulit gelap, sawo matang cenderung hitam.  Mata yang tajam, setajam belati.   Bibir yang kaku dan agak tipis.  Hidungnya tinggi.  Dagunya belah.  Rambut pria itu pasti panjang, dibentuk gelungan mirip abdi jaman kerajaan dulu.  Pipinya tirus namun kokoh.  Sebenarnya secara keseluruhan pria ini tampan, hanya mungkin orang seram melihat tubuhnya yang sebesar raksasa dan aura seram yang meliputi dirinya.  “Maaf, tadi hanya spontan,” ujar Kimmy setelah sadar dari keterpanaanya. Pria itu hanya mendengus dingin, lantas bergeser ke samping dan berjalan cepat meninggalkan Kimmy.  Gadis itu memandangnya intens, dari belakang .. mengapa punggung kokoh itu nampak begitu kesepian?  Aneh, mengapa ia ingin meraihnya dan memberinya kehangatan?  Kimmy menggelengkan kepala, mengusir keinginan gila yang mendadak muncul dalam dirinya. Wake up, Kimmy!  Kamu sudah memiliki tunangan yang baik hati, tampan dan kaya.  Apalagi yang kau harapkan?  Nicholas amat sempurna untukmu!  batin Kimmy. “Tak usah dihiraukan, Satrio memang begitu,” celetuk Pak Leres memecah kesunyian. “Satrio?” ulang Kimmy.  Jadi namanya Satrio.  “Namanya Satrio Piningitan.  Tak ada yang tahu asal-usulnya.  Dia dibawa masuk ke desa ini oleh Juragan Wardoyo karena diangkat menjadi begundal lelaki terkaya di desa ini,” jelas Pak Leres, kemudian dia menutup mulutnya seakan sadar telah kebanyakan bicara tak perlu. Mereka kembali berjalan.  Pak Leres mengantar Kimmy ke tempat tinggalnya sementara.  Di rumah kepala desa.   Mereka disambut dengan ramah oleh keluarga Pak Kades. “Selamat datang, Nak Kimmy,” sapa Bu Kades Pertiwi.  Dia wanita bertubuh ramping, walau wajahnya tak terlalu cantik namun sangat manis dipandang mata. “Terima kasih, Bu.  Senang berjumpa Ibu sekeluarga, maaf bakal merepotkan sebulan kedepan,” sahut Kimmy sembari memeluk hangat wanita didepannya. Meski rikuh, Bu Kades membalas pelukan itu.  Mungkin beginilah orang kota memberi salam perkenalan, dia berusaha memaklumi.  Dia membiarkan ketika Kimmy memeluk kedua anaknya,  Rusman 10 tahun dan Dini 8 tahun.  Untung Kimmy cukup tahu diri, dia hanya menyalami suaminya.  Pak Kades Sudarsono.  “Ada beberapa hal yang harus diperhatikan Nona Kimmy selama berada di desa ini,” kata Pak Kades memulai pembicaraan serius.   Kini mereka berada di kantor kepala desa untuk memulai pengenalan secara umum keadaan di desa Gayam. “Baik, Pak.  Saya siap mendengarkan.” “Pertama, jangan pernah mengharap ada pertunjukan tari ronggeng di desa kami dan menyinggungnya sama sekali.  Kami sepakat menutup akses tari ronggeng di desa ini.  Dan jangan tanyakan apa alasannya.” Masalah ini lagi.  Padahal Kimmy kemari ingin mengungkap rahasia dibalik lenyapnya kebudayaan tari ronggeng di desa Gayam.  Namun untuk sementara waktu ia akan berkompromi sembari menyelidikinya diam-diam.  Pasti ada celah untuk mengorek informasi tentang hal ini, entah pada siapa. “Baik, Pak.  Saya mengerti,” sahut Kimmy sopan. “Kedua, ada beberapa orang yang lebih baik Nona Kimmy hindari selama berada di desa kami.   Antara lain, Juragan Wardoyo dan antek-anteknya.” “Termasuk Satrio tadi, Nona Kimmy,” timpal Pak Leres Sejati. Pak Kades mengernyitkan dahi mendengarnya.  “Nona Kimmy tadi bertemu Satrio?” “Injih, Pak.  Saya sempat tegang ketika Nona Kimmy memukul d**a Satrio.  Untung Satrio diam dan membiarkannya tok.” Pipi Kimmy terasa panas menyadari tatapan heran Pak Kades tertuju padanya.  “Saya yang salah, Pak.  Saya pikir Satrio berniat kurang ajar pada saya.  Ternyata dia cuma ingin membantu saya supaya tak terjatuh.” “Dia melakukannya?” tanya Pak Kades heran.  “Biasa Satrio amat acuh.  Bahkan anak balita jatuh didepannya, dia hanya melenggang kangkung.” “Itulah, tadi saya juga heran Satrio begitu,” sambung Pak Leres Sejati. Pembicaraan tentang Satrio walau sekilas menyimpan kesan dalam hati Kimmy.  Dia penasaran pada pemuda raksasa yang amat pendiam itu.    ==== >(*~*)    Suara gending, gamelan dan tamborin terdengar begitu semarak.   Dalam mimpinya, Kimmy seakan kerasukan menggerakkan tubuhnya menarikan suatu jenis tarian yang aneh.  Seperti tari ronggeng, namun dalam tempo cepat dan sarat akan sensualitas.   Eksotis sekali.  Tubuh indahnya berguncang sesuai gerakan tarinya, menerbitkan air liur bagi kaum hawa yang mengelilinginya.  Mereka menontonnya sambil mengucapkan kata tak senonoh padanya. “l***e ini menari dengan kejalangannya.” “Seakan minta ditiduri.” “Dasar penari ronggeng murahan!” Kimmy tak peduli semua yang didengarkannya, dia terus menari bagai orang kerasukan.  Matanya menatap kosong, hingga kemunculan sesosok lelaki tua dengan bekas luka di lehernya.  Mendadak Kimmy menggeram.  Matanya tak lagi kosong, melainkan memandang dengan sorot penuh dendam. “MATI KOWE!!” teriak Kimmy sembari menyerbu kearah lelaki itu.  Entah darimana, ada pisau tajam berlumur darah di tangannya. Kimmy menghujamkan pisau ditangannya ke leher pria itu. JLEB!! . . Kimmy terbangun dengan peluh membasahi wajahnya.  Mimpi yang sangat mengerikan!  Mengapa ia sering sekali memimpikannya semenjak tinggal di desa ini? Ada apa gerangan?  Dia menghela napas, lantas melanjutkan tidurnya setelah sebelumnya berdoa.    ==== >(*~*)   Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN