05. Hati-hati Padanya

1464 Kata
Kimmy pulang sendiri, karena Rustam dan Dini berlari ketakutan meninggalkannya saat mengira Kimmy diterkam buaya.  Dia tak menyalahkan mereka, namanya saja anak-anak.  Cuma, kini dia harus pulang sendirian padahal belum seberapa mengerti jalan menuju rumah Pak Lurah. Kimmy menoleh ke belakang.  Berjalan teratur menjaga jarak darinya, tampak pria raksasa itu juga berhenti.  Kimmy melambaikan tangan pada pria itu.  Merasa tak mendapat respon, akhirnya Kimmy berbalik untuk menghampiri pria itu. “Kamu menguntitku, kan?” Pria itu diam, matanya menatap tanpa ekspresi.             Kimmy tersenyum ramah padanya.  “Tak usah malu mengakuinya.  Ayo, berbuat jangan tanggung-tanggung.  Antarkan aku pulang ke rumah Pak Lurah,” pinta Kimmy sembari melingkarkankan tangannya ke lengan pria itu.             Satryo tak menjawabnya, dia hanya menatap tautan lengan diantara mereka berdua.  Kimmy tersadar seketika, dia melepas tangannya.  Namun mendadak Satryo menahan tangannya dan menggandengnya, setengah menyeretnya karena langkah kaki Satryo yang begitu besar.  Kimmy kesulitan mengikutinya.             “Hei, hei, hei ... tunggu!  Tak usah terburu-buru seperti dikejar setan!” seru Kimmy dengan napas memburu.             Satryo berhenti dan berdiri mematung.  Matanya awas mengawasi sekelilingnya.  Kimmy merasa resah karenanya.             “Astaga, apa betulan ada setan disini?  Di siang bolong begini?” bisik Kimmy di telinga Satryo.  Karena perbedaan tinggi mencolok diantara mereka, dia terpaksa berjinjit untuk melakukannya.              Spontan Satryo menoleh cepat, alisnya menukik menyadari betapa dekat wajahnya dengan si mata kelereng.  Kimmy pun terkejut.  Begitu cepat Satryo menoleh, dia belum sempat menarik bibirnya menjauh.  Gadis itu nyaris terjungkal karena mendadak kehilangan keseimbangan.  Dengan cepat Satryo menahan pinggangnya dan menariknya keatas.             Cup!             Pertemuan bibir diantara mereka berdua tak sengaja terjadi.  Kedua pasang mata sama-sama melebar karena syok.  Sebenarnya berciuman bukan hal baru bagi Kimmy, dia wanita kota yang telah memiliki tunangan.  Percintaan mereka begitu panas dan mesra.  Semua telah dia lakoni, kecuali penetrasi.  Kimmy ingin dirinya masih gadis saat menikah nanti.  Bukan sok suci, tapi dia suka membayangkan pernikahan yang sakral dengan mempersembahkan miliknya yang paling berharga pada suaminya kelak.  Jadi, lebih dari kecupan tak sengaja ini sudah biasa dilakukannya.  Tapi aneh, mengapa ada debaran aneh di dadanya?  Dan getaran yang dialaminya seakan ada setrum yang merambati dirinya.             “Ma-maaf ....”             Mengapa dia harus minta maaf?  Seakan dia yang berniat mencium pria gelap ini!  Kimmy membodohkan dirinya sendiri.  Satryo menatapnya lekat, tapi tak lama kemudian pemuda berkulit gelap itu memandang keatas.   Seekor burung gagak hitam tengah menatap mereka , seakan tengah mengawasi.             Mendadak Satryo menggandeng Kimmy dan membawanya berlari cepat.  Kimmy mengikuti dengan heran.  Ada apa?  Apa benar di hutan ada penunggunya?  Mereka berlari tanpa henti hingga tiba di tepi hutan.  Kimmy berhenti dengan napas tersenggal-senggal, wajahnya memerah .. menatap keheranan pada pemuda di depannya.  Mengapa pria ini tak tampak kepayahan sama sekali?  Seperti dia tak habis berolahraga berat.  Napasnya mengalun teratur, wajahnya tak tampak kelelahan.  Berbeda dengan Kimmy yang peluhnya membanjiri wajah dan tubuhnya.              Dengan pakaian basah kuyup, rambut lembap, wajah dan tubuh berkeringat yang membuat kulitnya mengkilap ... Kimmy tak sadar bahwa penampilannya sangat eksotis dan menggair*hkan.  Tak terkecuali di mata Satryo.  Padahal selama ini begitu banyak wanita yang menggodanya, Satryo tak pernah tertarik.  Tapi mengapa terhadap si mata kelereng dia tak bisa mengabaikan rasa tertariknya walau gadis itu tak berniat menggodanya?  Bahkan kini tangannya terulur, ingin menghapus peluh di wajah gadis itu.  Namun batal saat telinga tajamnya mendengar beberapa langkah mendekat.             Tampak Dini dan Rustam yang datang menghampiri bersama bapaknya, Pak Lurah Sudarsono dan beberapa pria yang membawa tombak dan galah.  Rupanya mereka ingin menolong Kimmy yang dikhawatirkan telah dimangsa buaya.  Melihat kelompok orang itu, Satryo berniat pergi.  Akan tetapi, Kimmy menahannya.             “Tung ... tunggu!  Kau belum mengatakan, ada apa tadi?  Mengapa kau mengajakku berlari?  Siapa yang kau hindari?”  Kimmy memberondong dengan pertanyaan yang membuatnya penasaran.             Satryo tahu dia tak akan dilepaskan jika tak menjawab pertanyaan gadis ini.              “Lain kali!” sahutnya singkat.                                   Lain kali?  Berarti pemuda gelap ini mengajaknya bertemu lain kali.  Kimmy merasa senang dengan janji tersirat ini.   Namun dia belum berniat melepas Satryo.   Pemuda itu mengerutkan dahinya ketika tangannya masih dipegang kukuh oleh si mata kelereng.             “Minta no WA-mu!” tuntut Kimmy.             Melihat ekspresi heran di wajah gelap itu, Kimmy baru sadar.  Astaga, apa dia tak tahu apakah WA itu?             “Nomor ponsel!” pinta Kimmy.             Pria itu menggeleng.  Apa dia juga tak punya ponsel?  Se-primitif apa pemuda ini?  Zaman gini ada yang tak punya ponsel?  Kimmy ternganga, saat itulah pemuda yang dipegangnya berhasil melepaskan diri.  Kimmy menatap dengan wajah masih melongo.             “Kak Kimmy!  Syukurlah Kakak selamat!”  Dia tersentak ketika Dini memeluknya erat.             “Tentu saja.  Memang apa yang terjadi?” tanya Kimmy heran karena kesadarannya belum pulih sepenuhnya.             Rustam yang menjawabnya dengan gusar.  “Aduh, masa Kakak jadi linglung?  Bukannya Kakak barusan diincar buaya raksasa berwarna putih, toh?  Kami was-was mengira Kakak dimangsa buaya!”             “Maksud kamu si Tole?” tanya Kimmy sembari menyeringai geli.  Dia baru tahu ternyata buaya putih itu lumayan manis jika disamping pawangnya, si Satryo Pingitan.             “Pak, sepertinya Kak Kimmy kesambet, toh?”  Rustam menatap ayahnya bingung.             Pak Lurah menggeleng keras, lantas berbincang pada Kimmy.             “Nak Kimmy, tadi kami menerima laporan bahwa Nak Kimmy diserang buaya putih raksasa.  Itu sebabnya kami buru-buru kemari ingin menyelamatkan Nak Kimmy.  Sepertinya Kak Kimmy baik-baik , toh.”             “Iya, Pak.  Saya tak terluka sedikit pun.  Ternyata buaya itu jinak.”             Tampaknya Pak Lurah tak setuju dengan pendapat Kimmy.  “Saya ndak tahu mengapa Nak Kimmy berpendapat seperti itu.  Tapi ndak ada salahnya Nak Kimmy berhati-hati.  Buaya itu telah beberapa kali melukai warga.  Kami telah memprotesnya berulangkali pada Juragan Wardoyo yang memeliharanya supaya ndak melepasnya ke sungai.  Tapi Juragan Wardoyo ndak mau tahu.”              Pak Lurah menghela napas panjang, seakan tak berdaya menghadapi manusia yang dipanggilnya Juragan Wardoyo itu.  “Bukannya saya sudah berpesan supaya Nak Kimmy menghindari orang itu?”             Kimmy sontak teringat pada kemunculan sosok pria yang ada dalam mimpinya di tepi sungai tadi.             “Apakah dia pria paruhbaya yang berkulit gelap, tampak galak dengan matanya yang tajam dan kumisnya yang tebal seperti parang?” cetus Kimmy seraya berusaha mengingat figur yang dilihatnya di tepi sungai.             “Ya itu dia!  Nak Kimmy bertemu dengannya?” tanya Pak Lurah dengan mata melebar.             Kimmy mengangguk.  “Tadi.  Dia berdiri di tepi sungai saat Mas Satryo mencoba menenangkan buaya putih peliharaannya.”             Pak Lurah Sudarsono menghembuskan napas panjang dan menatap Kimmy dengan serius.             “Nak Kimmy, tolong berhati-hatilah padanya.  Dia bukan orang yang mudah dihadapi.  Nak Kimmy ndak tahu apa yang ada dalam pikirannya.  Pokoknya hati-hati saja.”             “Pada siapa, Pak?  Juragan Wardoyo atau Mas Satryo?” tanya Kimmy menegaskan.  Mengapa dia merasa Pak Lurah berusaha menjauhkannya dengan mereka berdua?  Tiga, jika si buaya Tole dihitung!             “Mereka semua, Nak Kimmy.  Satryo Pingitan itu ... dia juga bukan lelaki baik.  Dia adalah begundal Juragan Wardoyo, yang melakukan pekerjaan kotor untuk tuannya.”             Penjelasan Pak Lurah menohok hati Kimmy.              Satryo bukan lelaki baik.  Jadi dia harus menghindarinya?  Tapi mereka telah berjanji bertemu lagi!   ==== >(*~*)               Kaok!  Kaok!             Buruk gagak hitam itu terbang dan hinggap di depan jendela gubuk seseorang sambil berkaok-kaok keras.  Matanya yang bersinar, tampak berkilauan di gelapnya malam.              Dari dalam gugup, melangkah dengan kaki diseret  seorang wanita tua yang kulitnya sangat berkeriput.   Rambutnya telah beruban, terurai panjang ... sangat berantakan, seperti rambut hantu di film horor.  Wajahnya tak kalah mengerikan, dengan parut-parut mengerikan seperti bekas cakaran hewan.  Mata wanita itu hilang satu, menyisakan rongga mata kosong berwarna kelam, sementara mata yang lain berputar-putar sendiri.             Mungkin jika orang yang melihatnya dan tak mengenal dirinya, akan mengira dirinya hantu.  Atau jelmaan Mak Lampir, tokoh set*n yang sempat fenomenal dulu.  Namun beberapa orang mengenalnya sebagai Nyai Dasimah, dukun legendaris yang terkenal akan kesaktian dan kekejamannya!             Konon, sewaktu-waktu Nyai Dasima bisa berubah menjadi set*n.  Tak ada yang tahu pasti apakah dia itu manusia jelmaan setan ataukah setan yang menyamar menjadi manusia.  Semua orang takut padanya, tapi masih tetap ada beberapa orang yang berani datang ke tempatnya.  Di gubuk reyot didalam hutan.   Mereka datang dengan tujuan tertentu, demi kepentingan pribadi untuk memuaskan hawa napsu dan keserakahan mereka.             Kali ini yang hadir adalah seorang wanita paruh baya, wajahnya tampak pias dan syok saat melihat penampilan Nyai Dasimah yang mengerikan begitu dukun perempuan itu membukakan pintu baginya.             “Nyonya Wardoyo, saya tahu siapa kowe.  Dan apa tujuanmu kemari!  Siapa yang ingin kowe santet?  Gendakan suamimu yang terbaru?”             Wanita itu terbelalak kaget.  Bagaimana dukun perempuan ini tahu siapa dia dan maksud tujuannya kemari?  Ternyata kesaktiannya bukan isapan jempol!              Saat dukun perempuan itu menyeringai kejam, tak sadar bulu kuduk perempuan itu berdiri.  Dia harus berhati-hati padanya!             Sebenarnya kalau tak butuh, tak sudi dia kemari.                “Masuklah, Nyonya ....”             Krieeet ... krieeettt .....             Nyai Dasimah membukakan pintu gubuknya.  Mata wanita yang menjadi tamunya seketika melotot saat melihat tengkorak yang tergantung di dinding gubuknya.                Dia harus sangat berhati-hati menghadapi dukun set*n ini!   ==== >(*~*) Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN