"Aku pulang dulu," Nola mencuci piring dan peralatan bekas makannya.
"Iya, ini sudah terlalu malam," Orin menguap. "Aku pulang ya.."
Keduanya pun berpamitan pergi.
Dine hanya mengangguk memperhatikan kedua sahabatnya meninggalkan kediamannya dan menutup pintu.
Saat pintu tertutup, suasana terasa senyap. Tidak ada satu suarapun yang terdengar.
Dine dan Banan duduk di area ruang makan itu dalam diam. Banan tidak bicara karena tahu tunangannya itu marah padanya. Sedangkan Dine sedang menyusun kata kata yang hendak ia ucapkan.
"Kamu mungkin bisa merasakan kalau aku marah," Dine menatapnya dan berkata tegas. "Lebih tepatnya mungkin terganggu dengan sikapmu akhir akhir ini."
"Apa salahku?" Banan mencoba membela diri.
"Kamu aneh. Banyak janji tidak ditepati. Selain itu, kadang ditelepon susah, balas pesan lama," jelas Dine.
"Aku tidak berniat menjadi perempuan posesif yang memintamu membalas pesan dengan cepat atau meneleponku setiap saat setiap waktu. Itu bukan aku.." Dine melanjutkan ucapannya.
"Tapi.. Sikapmu di luar kebiasaan.. Ada apa?" tanyanya lagi.
"Tidak ada apa apa. Kamu terlalu perasa," Banan menjawabnya.
Banan lalu menggenggam tangan Dine, "Please jangan marah."
Dine melepaskan tangannya, "Aku mungkin perasa, tapi aku tidak mellow. Ini fakta! Kamu sering telat membalas pesanku. Ponsel mati.. Dan kadang menelepon dengan sembunyi sembunyi.. Itu apa kalau bukan mencurigakan?"
"Bedakan antara fakta dengan perasaan. Apa yang aku ucapkan memang terjadi!" Dine merasa kesal karena Banan menyebutnya terlalu perasa.
"Iya maafkan aku. Seperti yang aku bilang, ini semua gara gara kedatangan si big boss. Dia membuatku ruwet," Banan mulai bercerita. "Jadi, gara gara ada big boss, VP Marketing sering mengajak rapat, minta laporan ini dan itu.. Bisa dibilang, aku terganggu."
"Din, kita akan menikah. Aku sudah melamarmu dan serius. Jangan banyak memikirkan yang tidak tidak. Soal semalam, ponselku low batt. Aku sudah berniat akan meneleponmu setibanya di apartemen. Tapi, saat menyentuh kasur, aku langsung tertidur," jelas Banan mencoba membujuk Dine.
"Selain itu, aku datang ke sini karena ingin menjelaskan segalanya. Hargai upayaku.." Banan terus berkata kata.
Dine terdiam.
Entah kenapa, kata hatinya masih ragu. Tapi, akal sehatnya memikirkan semua ucapan Banan yang memang masuk akal.
Dine akhirnya menarik nafas panjang, "Ya sudah. Aku tidak akan memperpanjang ini semua."
Antara lelah berdebat tapi juga tidak ingin mempertanyakan sesuatu yang apapun jawabannya tetap saja membuatnya tidak enak hati.
"Syukurlah," Banan langsung bergeser dan duduk di samping Dine. "Kita harus mulai memikirkan venue pernikahan. Itu penting untuk undangan."
"Katering dan yang lainnya mungkin bisa menyesuaikan. Tapi kalau tempat tidak mungkin kita rubah karena melekat ke tanggal pernikahan nantinya," ucap Banan lagi.
"Mmm.. Soal pernikahan outdoor, aku akan mengikuti keinginanmu," lanjutnya. "Dimanapun tempatnya. Aku ikuti.."
Dine menghela nafas.
Sejak mereka bertunangan dan membahas soal venue pernikahan, Banan bersikukuh melakukannya secara indoor. Tapi sekarang, dengan mudahnya Banan berubah menyetujui outdoor.
Ada sesuatu terjadi. Iya, perasaanku mungkin tidak salah.. Tapi.. Apa yang terjadi? Tidak ada hal yang secara terang terangan membuktikan sesuatu yang salah itu..
Dine memaksakan diri untuk tersenyum, "Nanti aku mulai mencari venue. Setelah ada beberapa opsi, kita bisa melihat dan memilihnya."
"Iya, setuju," Banan ikut tersenyum. Ia merasa lega karena Dine akhirnya tidak lagi marah.
Kecupan singkat mendarat di kening Dine. Banan mulai menyentuhnya. Tapi, hari ini terlalu penat dan suasana hatinya masih tidak enak.
"Aku mengantuk," Dine berkata tegas.
Banan langsung membaca kalau emosi Dine belum sepenuhnya reda. Solusi kalau Dine seperti ini adalah dengan membiarkannya dan memberikan waktu.
"Ya sudah, aku pulang," Banan berdiri.
"Iya," Dine mengangguk dan berdiri sambil mengantarkan Banan ke pintu.
Tanpa berbasa basi, Dine menutup pintu. Ia lalu menguncinya dan mematikan lampu. Langkahnya naik ke lantai dua untuk tidur dan beristirahat.
Di tempat tidur, ia telentang sambil memeluk guling. Matanya menatap langit langit kamar.
Ah.. Apa sih ini yang aku rasakan? Kenapa tidak enak hati?
***
Banan melangkah ke tempat mobilnya terparkir. Namun ada satu tangan menyentuh bahunya, "Hai!"
Ia pun menoleh. Perempuan selingkuhannya itu tersenyum lebar menatapnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa belum pulang? Kamu gila atau apa? Bagaimana kalau Dine melihat kita?" Banan sedikit panik.
"Tidak mungkin Dine melihat kita. Tidak ada jendela dari bangunan pet shop yang mengarah ke sini!" perempuan itu hanya tertawa.
Banan membuka kunci mobilnya. Perempuan itu langsung naik ke kursi penumpang.
"Mau kemana?" Banan mengerutkan keningnya.
"Aku ikut. Ke apartemenmu.." ucapnya.
"Tidak.." Banan menggeleng.
Namun perempuan itu dengan sengaja menggodanya. Ia berbisik di telinga Banan dan menggigitnya, "Aku kesepian di apartemenku."
Jari jemari perempuan itu dengan sengaja membuka kancing kemejanya hingga mempertontokan dua bukit kembar yang tetutupi bra berwarna hitam.
"Aku.. Bergairahh.. Please.." bisiknya.
Tangannya mengarahkan tangan Banan agar menyentuh pahanya. Banan menelusuri permukaan kulit yang lembut dan kenyal itu, hingga rok milik permpuan itu tersingkap.
Tubuhnya yang molek berhasil memancing gairahnya.
Banan menelan air liurnya. Ia akhirnya menggerakkan mobil menuju apartemennya tanpa meminta perempuan itu turun.
***
Dine tak bisa tidur. Ia terus saja berguling guling tidak jelas. Akhirnya, Dine bangun dari kasur lalu mengenakan jaketnya. Ia melangkah menuju pintu penghubung antara flat dengan kliniknya.
Lebih baik aku menengok hewan hewan itu..
Dine langsung teringat Dre.
Apa kamu sudah tidur?
Ia kemudian membuka pintu ruang perawatan. Kakinya melangkah ke tempat Dre berbaring.
Ah, tidur ternyata. Yang nyenyak ya kucing kecilku..
Dine mengambil foto Dre dengan niat untuk mengirimkannya pada Bian. Ia pun membuka aplikasi pesan hendak mengirimkan foto tersebut.
Namun saat melihat jam di layar ponselnya, Dine menyadari kalau ini bukan waktu yang tepat.
Pukul sepuluh terlalu malam untuk menghubungi Bian. Bisa dibilang dia orang asing, aku tidak bisa seenakanya.
Dine menyimpan ponsel itu kembali ke saku jaketnya.
Ia memeriksa hewan hewan lainnya. Setelah dirasa semua baik baik saja, Dine pun keluar dari ruang perawatan dan kembali ke flat.
Ah.. Tetap saja tidak mengantuk. Tubuhku lelah tapi tidak bisa tidur.
Dine langsung berbaring di atas tempat tidur.
Namun tiba tiba, terdengar bunyi di ponselnya. Ada pesan masuk!
Dine langsung membukanya. Ternyata Bian.
Oh no! Foto tadi terkirim!
Bian : Thanks for the update. So cute! Dre lucu sekali saat tidur. Dia terlihat segar dan membaik.
Bian : Kenapa kamu belum tidur?
Dine : Aku memeriksa hewan hewan itu dulu sebelum tidur.
Bian : Kamu tidur di klinik?
Dine : Bisa dibilang begitu. Tempat tinggalku di belakang klinik.
Bian : I see..
Dine : Apa sudah sampai?
Bian : Aku masih di pesawat.
Dine : Kenapa ponselmu aktif?
Bian : Ini menggunakan jaringan wifi pesawat.
Dine : Oh. Ok. Ya sudah, aku cuma mau kirim foto Dre.
Bian : Kirimkan juga foto Dre satunya lagi.
Dine : Maksudnya?
Bian : Ada dua Dre bukan? Dre senior (kamu), Dre juniorr (kucing kita).
Bian : I mean, you.. Aku mau fotomu.
Dine : NO!
Bian : YES!
Dine : No, no, no..
Bian : Yes, yes, yes.
Dine : Hentikan.
Bian : Aku akan mendapatkan fotomu, someday! Watch out!
Dine : LOL
Dine : Ya sudah, aku mau tidur dulu.
Bian : Ok. Have a nice dream.
Dine : Thanks.
Sesaat sebelum menyimpan ponselnya, Dine membaca kembali pertukaran pesan antara dirinya dan Bian tersebut.
OH! Apa yang terjadi padaku? Ini flirting bukan? Dan aku, kenapa aku meresponnya?