"Hentikan akad nikah ini!" Sosok Abian Emery memasuki area akad nikah.
Adine Edrea hanya bisa melongo saking kagetnya.
Bagaimana mungkin Bian bisa masuk ke area ini? Dia bukan undangan. Semua tamu harus menggunakan identitas khusus agar diperbolehkan melewati gerbang.
"Apa yang kamu lakukan?" Banan Aleric berdiri dari kursinya. "Berani sekali mengganggu acara sakral ini!"
"Acara ini tidak mungkin menjadi sesuatu yang sakral. Kamu tahu sebabnya kenapa.." Bian menyeringai sambil menatap Banan dengan tajam.
Bian lalu menoleh ke arah Dine dan menggenggam tangannya, "Dine, ikuti aku."
"Tidak! Ini pernikahan kita! Dine duduk!" Banan mengeluarkan amarahnya.
"Dan kamu! Lepaskan tangannya!" Banan berusaha melepaskan genggaman Bian di tangan Dine.
Tapi Bian dengan kuat menautkan jari jemarinya dengan Dine dan menatapnya tanpa berkedip, "Percaya padaku, kalau melanjutkan pernikahan ini, kamu akan menyesal seumur hidup."
"Ikuti aku dan kamu akan tahu segalanya," Bian berusaha membujuk Dine.
"Lelaki ini, tidak seperti yang terlihat," ungkap Bian sambil menunjuk ke arah Banan. "Dia telah.. MAIN BELAKANG.."
"Dine, jangan percaya. Aku calon suamimu. Dia hanya orang asing!" Banan berteriak.
Suasana akad nikah berubah tegang. Pihak keluarga dan tamu undangan hanya bisa membisu melihat keributan itu. Yang anehnya, tidak ada satupun petugas keamanan yang bergerak.
Dine sungguh bingung. Pikirannya kalut. Segala rumor itu kembali dalam ingatannya.
Apa Bian mengetahui sesuatu soal Banan? Siapa yang harus aku percaya? Apa Banan sungguh sungguh main belakang? Dengan siapa?
Bian mendekat dan berbisik, "Dia.. Memiliki hubungan dengan seseorang lain yang ada di ruangan ini! Trust me!"
A-apa?
Dine terdiam. Ia menatap kedua sahabatnya secara bergantian, Finola Avanti dan Noreen Arianna. Keduanya sahabat lama sejak bangku sekolah menengah atas.
Rasanya tidak mungkin kalau salah satu dari mereka.
Matanya bergerak menatap para tamu yang hanya sedikit saja, tidak lebih dari lima puluh orang. Secara cepat Dine memilah dan memilih. Kemungkinan kecil kalau Banan memiliki hubungan dengan salah satu dari tamu itu.
Ia kembali menatap Nola dan Orin.
Apakah salah satu dari mereka? Sahabatnya bermain api dengan tunangannya? Mereka main belakang dengan calon suamiku?
"Kita pergi," Bian kembali berbisik, "Jangan menikah hari ini, dan jangan menikah dengannya. Dia bukan lelaki untukmu."
Dine menggigit bibirnya. Ia kemudian membeku menatap Bian.
Ada ketulusan di matanya.
Bian tidak mungkin berani mengambil resiko merusak akad nikahnya hanya karena emosi sesaat. Lelaki di hadapannya ini tidak seperti itu.
Ya, Bian pasti tahu sesuatu.
Ia lalu menatap Banan. Rasa ragu itu kembali. Ketidakpastian yang dirasakannya beberapa bulan terakhir ini kembali merasuk.
Apa aku salah? Apa aku seharusnya membatalkan pernikahan ini?
Banan yang merasa kalau Dine sudah mulai terpengaruh langsung menarik tangan calon istrinya itu tapi Bian menahan tangan Dine sekuat tenaga.
"Lepaskan aku!" Dine berteriak.
Baik Bian dan Banan melepaskan genggaman tangannya. Keduanya menatap Dine yang terdiam dan merenung.
"Jangan ada yang mendekat!" Dine kembali bicara. "A-aku harus berpikir! Jangan ada yang mengikutiku!"
Dine membalikkan badannya dan bergerak keluar dari area akad nikah. Ia melangkah dengan cepat menuju area terbuka di peternakan luas tersebut.
Di sebuah pohon besar, ia diam bersandar. Gaun pengantin putihnya mungkin saja kotor, tapi ia tak peduli. Air mata mengalir di pipinya...
Aku ragu. Aku sudah tidak yakin lagi.
Tapi, kenapa aku memaksakan pernikahan ini?
Dine memejamkan matanya, air mata mengalir tanpa henti. Ia teringat kala menemukan ponsel yang tersimpan di laci meja kerja Banan. Tunangannya itu memiliki dua ponsel tanpa ia ketahui.
Lalu, pembicaraan Banan dengan seseorang yang entah siapa. Dia marah marah ketika itu..
Ingatan masa lalu seakan kembali di dalam benaknya. Tunangannya itu menyimpan rahasia.
Belum lagi kebohongan soal acara kantor. Banan bilang ada makan malam bersama rekan kerja, tapi... Ternyata dia tidak ikut. Alasannya karena ada tamu mendadak di lokasi lain. Dan aku percaya.
A-aku.. Bodoh sekali.. Kenapa aku mengabaikan itu semua?
Dine menatap gaun pengantinnya. Putih dan indah namun bagian bawahnya kotor oleh tanah.
Gaun ini merepresentasikan acara yang seharusnya suci dan indah, tapi.. Ada noda yang membuatku tak ingin lagi menjalaninya.
Dine memperhatikan ada sebuah bangunan kecil dari kayu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berlari dan masuk ke dalam bangunan tersebut. Di dalamnya ada tumpukan jerami dan peralatan lainnya.
Ia terduduk di atas jerami dan mulai menangis sesegrukan!
"Aku bodoh! Aku si stupid! Aku... Buang buang waktu, uang, energi untuk semua ini.. Si Banan kurangajar!" Dine membiarkan emosinya meluap.
Kedua kakinya menekuk dan Dine mulai menunduk di antara kedua lututnya. Ia membiarkan tangis terus keluar.
"Kenapa aku sebodoh ini...? Kenapa membiarkan semuanya terjadi? Kenapa...?" Dine terus saja mempertanyakan keputusannya.
"Dan gaun ini! I hate it! Si Banan bilang aku cantik dalam gaun ini.. NO! NO! Aku tidak cantik mengenakan gaun ini! Ini gaun kotor! Ternoda!" Dine berdiri dan mencoba melepaskan kancing di bagian belakang tubuhnya satu persatu.
Tapi sulit, ia hanya berhasil melepaskan tiga kancing teratas.
Dine menendang nendang jerami sebagai luapan rasa kesalnya, "Aku ingin melepaskannya! Tapi kenapa susah??"
Tiba tiba pintu terbuka, Dine pun menoleh. Sosok Bian masuk ke dalam.
"Apa yang kamu ketahui soal Banan? Kenapa kamu diam saja selama ini?" Dine histeris dan memukul mukul d**a Bian.
Bian menahan tangan Dine dan dengan berani langsung memeluknya, "Menangislah."
Dine pun kembali menangis di pelukan Bian. Setelah beberapa saat, ia menarik tubuhnya.
"Make up ku pasti rusak? Iya tidak?" Dine menghapus air matanya.
Bian ikut menggunakan jari jemarinya mengeringkan pipi Dine, "Make up mu memang rusak, tapi tidak merusak kecantikanmu."
Dine menatap Bian, "Kenapa kamu bisa datang ke sini? Tempat ini eksklusif dan tidak mudah dimasuki."
Bian hanya tersenyum, "Rahasia.."
"Aku.. Tidak suka rahasia," Dine menggumam sambil menunduk.
"Semuanya tidak akan lagi menjadi rahasia kalau kamu menerima perasaanku," Bian berkata tegas. "Banyak hal yang tidak kamu ketahui soal aku."
"Tapi rahasiaku, jauh lebih baik dari rahasianya," Bian tersenyum.
"Just be with me..." Bian bicara perlahan. "I promise you, I'm better than him."
Dine berpikir dan berpikir. Ia mengatupkan bibirnya.
Tak lama, Dine mengangkat kepalanya, "Sebelum aku menjawabnya, bantu aku melepas gaun pengantin ini. Rasanya kotor dan aku... Aku tidak ingin mengenakan simbol kesucian yang ternyata palsu."
Bian tercekat. Jantungnya seperti berhenti berdetak.
Tapi, Dine sepertinya serius.
Perempuan idaman hatinya itu membalikkan tubuhnya, memintanya melepaskan kaitan kancing kancing yang menjadi perekat gaun pengantinnya.
Jari jemari Bian dengan gemetar membuka satu persatu kancing yang berderet di punggung Dine.