BAB 1
Satu persatu kalimat meyakinkan keluar dengan begitu mudahnya. Bibir menari disertai senyuman, juga dengan matanya yang berbinar indah. Salwa Maina. Wanita matang yang percaya diri, dan berbahagia. Ia keluar ruangan dengan perasaan puas. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan lagi. Baru saja menyelesaikan sidang skripsinya dan dinyatakan lulus. Salwa duduk dan mengambil ponsel, memutar lagi vidio yang Zian kirimkan sebagai dukungan. Sedang mengkhayalkan pernikahan ia terkejut karena Meta memeluknya. Meta adik Salwa, mahasiswi di kampus yang sama.
"Ehm, yang sudah siap nikah," goda Meta. "Selamat."
Salwa tersenyum berterimakasih. "Sidangnya lancar, tidak sia-sia usahaku berapa bulan ini. Aku melakukannya dengan baik."
Zian muncul dengan buket bunga. Berjalan mendekat, pelan diiringi senyum yang tentu saja membuat Salwa membuncah karena bahagia. "Selamat ya, Sayang. Dengan begini kita tidak perlu menunda pernikahan lagi," kata Zian tersenyum simpul.
"Terima kasih karena mau menungguku," balas Salwa malu. Ia sudah mati-matian mengejar dosen pembimbing agar tidak membuat Zian bosan meminta restu orangtuanya.
"Aku turut bahagia untuk kalian," Meta menyemangati lalu beranjak. "Meta ada kegiatan."
"Apa kamu sibuk?" tanya Salwa pelan.
"Tidak. Hari ini khusus untukmu. Apa yang ingin dilakukan?"
Salwa menjadi yang paling bahagia. Ia menyelesaikan skripsinya dengan baik, punya calon suami yang menyenangkan dan tentu saja ia sudah memenuhi harapan orangtuanya. Itu semua kebahagiaan yang cukup untuk ruang hati kecilnya. Ia bersyukur, sepenuhnya.
+±+
Salwa mematut wajahnya lagi. Ia melempar senyum kepada cermin, dan pantulan itu membuatnya tersenyum sekali lagi. Salwa kini melihat jamnya. Ia sudah menunggu 30 menit, bersabar demi mengingat Zian yang menunggu berbulan-bulan untuk membawa Salwa ke pelaminan. Salwa akan tetap menunggu. Hari ini mereka akan memesan undangan setelah semalam tadi menentukan desain yang tepat.
Ponselnya berbunyi. Massanger.
"Selamat ya. Semoga sukses selalu."
Salwa mengenal nama pemilik akun sebagai teman lamanya waktu di SMA. "Terima kasih. Bagaimana kabarmu?"
"Aku sekarang hamil anak ke dua. Kabarnya kamu akan menikah, apa itu benar?"
Salwa membalas chat dengannya sambil tersenyum karena tiba-tiba terpikir kalau dirinya mengandung. Tidak ada lagi Salwa yang bertubuh langsing, dan yang selalu cantik. Orang-orang akan melihat perutnya membuncit dan wajah pucatnya yang kepayahan. Namun Salwa tidak membenci harapan itu, ia malah tidak sabar untuk mengalaminya sendiri. Sekedar membuang waktu Salwa melihat postingan temannya itu. Ia menemukan beberapa foto bayi lucu, foto hamil dan penikahan yang sepertinya seminggu lalu.
"Maaf membuatmu menunggu, Sayang." Zian mendekat dan menyerahkan setangkai bunga yang ia bawa. "Chat dengan selingkuhan?"
Salwa tersenyum menerima bunga itu. Zian selalu punya banyak cara untuk mengembalikan senyumannya. Zian yang selalu mengatakan 'maafkan aku' dan Zian yang akan menghubungi lebih dulu ketika mereka bertengkar. "Aku sedang membalas chat teman."
Zian duduk di kursi sebelah Salwa. "Teman lama?"
"Ya, sepertinya dia menghadiri sebuah pernikahan minggu lalu." Salwa menatap Zian, "Kebetulan daerahnya dekat dengan rumah orangtuamu."
"Minggu lalu?" Zian tampak mengingat. "Entahlah. Aku di sini minggu lalu." Zian memang perantau. Dia berasal dari Padang dan bekerja di sini.
Salwa antusias mengabari yang barusan dibacanya. "Kamu tahu, mempelai laki-lakinya punya nama yang sama denganmu."
"Benarkah?"
Salwa menyerahkan ponselnya. "Kalau kamu kurang yakin."
Zian menggeser foto. "'Tunggu! Ini kan... Calara." Dia menepuk keningnya dengan wajah terkejut, "Bagaimana aku bisa lupa. Ini Calara. Dia memang menikah minggu lalu."
"Dia menikah dengan Zian. Kebetulan namanya juga mirip denganmu," kata Salwa curiga. Ia kenal Calara, dan tidak begitu suka kepadanya. Alasan yang cukup sederhana, wanita itu suka berpakaian minim. Lebih lagi dia bekerja di tempat yang sama dengan Zian.
"Hei, tentu saja cuma kamu seorang yang akan jadi pengantinku." Zian menggeser lagi foto itu, wajahnya cemberut, "Sayang sekali. Temanmu ini tidak mengambil gambar mempelai laki-lakinya."
"Sungguh bukan kamu?"
"Apa bisa lelaki yang harusnya berbulan madu menemanimu mencetak undangan?"
Salwa terdiam. Memang tidak masuk akal.
Zian berdiri di depannya, lalu menatap Salwa dengan pernyataan tulus. "Aku tidak mencintai siapapun selain Salwa Maina."
Salwa tersipu, "Kamu sedang tidak merayuku, kan?"
"Aku mengatakan kejujuran."
Salwa memicing curiga. "Apa yang kamu lakukan hari itu?"
"Seperti biasa. Kamu tahu kan, kebiasaanku ketika libur."
Salwa mengetuk ponsel. "Aku akan menelepon Mama untuk memastikannya," ancamnya.
Zian mengangguk setuju dengan wajah santai. "Jika itu bisa membuatmu puas."
Salwa mengurungkan niat. Ia berdiri lalu menyimpan ponsel di tas.
"Kamu tidak melakukannya?" tanya Zian heran.
"Kita tidak bisa menikah kalau tidak bisa saling percaya," jawab Salwa tenang. Mungkin Zian memang mengahabiskan hari liburnya dengan istirahat panjang seharian.
"Alhamdulillah."
+++
Salwa terkejut menyadari Meta sudah duduk di sebelahnya.
"Kenapa calon pengantin melamun?"
Salwa mayun kemudian berguling pelan di tempat tidurnya. "Apa aku perlu menikah?"
"Ha?" Meta menelengkan kepalanya, "Apa Kakak belum bangun?"
Salwa mengeliat malas, "Kupikir aku akan bekerja dulu, baru menikah."
"Dan Bang Zian tidak akan menunggumu lagi," tambah Meta yakin.
Salwa memangku dagu. "Kalau dia tidak mau menunggu, mungkin kami tidak berjodoh," balasnya asal. "Akhir-akhir ini Zian lebih tidak peduli padaku."
"Karena Kakak sibuk." Meta berdiri, "Sekarang kan tidak lagi. Kalau memang ragu, coba saja temui orangtuanya atau bertanya pada Mama."
"Bertanya bagaimana?"
"Yah, hal-hal yang terjadi sebelum pernikahan. Beberapa teman Meta yang sudah menikah bilang, akan ada banyak masalah yang membuat calon pengantin ragu."
Saat Meta menghilang di balik pintu, Salwa kembali membuka ponsel. Kabar mengejutkan yang datang bertubi tentang calon suaminya. Ia membereskan bererapa pakaian, memasukkannya dalam koper dan besok ia akan benar-benar memastikan semuanya. Penentuan berlanjutnya hubungan Salwa dengan Zian setelah lebih dari satu tahun mereka mengikat hati.
Salwa bergabung makan malam. Seperti biasa meja itu diisi empat orang, ada satu kursi yang kosong, kursi saudari tertua mereka. Neli, yang sudah menikah dan tinggal jauh dari mereka.
"Kamu hanya mengurung diri di kamar seharian ini," sapa Mama santai. "Persiapan kalian sudah selesai?"
"Belum. Zian kan belum membawa orangtuanya, Ma."
"Memang belum secara formal, tapi kalian sudah lama merencanakannya dan kami juga setuju."
"Baru memyetujui," ralat Salwa dengan suara berbisik. Salwa menghela napas, pembicaraan itu tak terelakkan. "Besok Salwa akan ke rumah Kak Neli. Tiket dan semuanya sudah siap, jadi Mama atau Papa tidak boleh melarang Salwa pergi."
"Kakak pasti akan bertemu calon mertua," celetuk Meta menahan tawa.
Salwa bersikap biasa. "Yah, sekalian kan."
"Sekalian apanya," Papa bersuara. "Rumah Neli dengan tempat orangtua Zian tinggal sangat jauh."
Salwa dengan santai berkelit. "Yang Salwa maksud ongkos pesawatnya, Pa."
"Berapa lama kamu akan di sana?"
"Dua hari, Pa. Salwa rasa itu sudah cukup."
Papa dan Mama bertukar pandang. Salwa yakin sebenarnya mereka tidak mau membiarkan Salwa pergi sendirian tanpa mahram. Tapi keduanya juga tahu, bahwa berdebat dengan Salwa percuma. Salwa akan pergi juga kalau ia sudah memutuskan.
"Berangkat jam berapa?" tanya Mama.
"Pesawat jam 7."
"Apa Zian juga pergi bersamamu?"
Salwa menatap bergantian anggota keluarganya, "Salwa pergi sendiri. Jangan memberitahukan ini kepada Zian."
"Apa kalian bertengkar?"
"Mungkin gara-gara Salwa tidak setuju dengan warna undangan yang Zian pesan," Mama dengan wajah santai menjawab pertanyaan Papa.
Suara tawa Meta terdengar, tapi Salwa tersenyumpun tidak. Dengan wajah serius ia kembali menekuri makanannya.
"Ada apa, Nak?" tanya Papa lebih peka. "Kemarin kalian baik-baik saja.”
"Kak Salwa ragu, Pa." Meta mengangkat bahu, "Tapi Kakak tidak menceritakan alasannya."
"Salwa hanya ingin memastikan lagi, Pa. Salwa tidak mau menyesalinya nanti. Pernikahan itu cukup sekali untuk selamanya.
"Padahal kalian begitu menggebu," komentar Mama lagi.
"Sudahlah, Ma. Karena Salwa yang akan menikah, biarkan dia saja yang memutuskan."
"Coba dengan sholat istikharah, Kak."
Salwa mengangguk. Sebenarnya ia sudah beberapa kali melakukannya, namun bayangan yang muncul sama sekali tidak seperti Zian. Ia mencoba anggapan itu sebagai bunga tidur. Salwa sudah menyimpan mimpinya sendiri, dan ia akan melakukannya lebih jauh lagi, lalu menarik takdirnya dengan perasaan bahagia nanti.
Salwa melarang kedua orangtuanya untuk ikut mengantar ke bandara, beda cerita dengan Meta yang memaksa ikut. Di dalam taksi benak Salwa penuh dengan mimpi itu. Mimpi yang sama didapatnya setelah istikharah. Ia tidak bisa melihat lelaki itu, tapi menggenggam tangannya terasa sangat nyata meski hanya dalam mimpi.
"Kak?"
"Ah, ya?"
Meta melipat tangan sebal, "Kakak mendengar yang Meta katakan?"
"Hm, ya," jawab Salwa ragu. "Tentang oleh-oleh, kan?"
Meta menggeleng heran. Percuma, ia harus menjelaskan lagi semuanya dari awal.
"Bukan ya?" Salwa tersenyum minta maaf. "Jadi, ada apa?"
"Beberapa sahabat Meta bilang, kalo Bang Zian sebenarnya sudah menikah Kak." Meta menelaah ekspresi Salwa yang sama sekali tidak terkejut. "Kakak sudah mendengarnya?"
"Ya. Aku juga menanyakan itu kepada Zian..."
"Lalu?" potong Meta penasaran. Salwa hanya diam. "Jadi Kakak ke sana untuk mengatakan kepada orangtua Bang Zian? Sesuatu yang sudah jelas mereka lebih tahu!"
Salwa masih tetap bungkam dengan mata yang sekarang melihat ke luar jendela taksi.
"Kak itu tidak masuk akal. Kenapa Kakak yang harus repot-repot mengeluarkan banyak biaya dan tenaga, sementara harusnya mereka yang datang ke rumah kita dan memohon maaf," jelas Meta berang. "Meta memang sudah menduga Zian itu pecundang jaman now!"
Sudut bibir Salwa terangkat, "Lalu Kakak wanita malang jaman now?"
Meta juga ikut tersenyum. Marahnya sedikit luntur. "Kakak harusnya tidak pergi," katanya pelan, seperti memohon.
"Aku harus memastikan semuanya," kata Salwa keras kepala.
"Kakak memang keterlaluan. Bagaimana kita menjelaskan kepada Mama-Papa kalau Zian pecundang jaman now itu benar-benar sudah menikah dibelakang Kakak?"
Salwa tertawa. Dan itu sangat janggal dimata Meta. Barangkali kakaknya mulai sedikit gila. "Harusnya kamu menghiburku, bukan malah memojokkan seperti ini."
Meta mengangkat bahu, "Meta sudah melakukannya, Kakak sekarang tertawa."
Salwa mengangguk-angguk. "Semoga saja gosip itu tidak benar."
Meta menelaah wajah muram Salwa yang kembali. Bagaimana seorang bisa begitu picik, membual hanya demi kesemuan semata. Terlebih yang jadi korban adalah kakaknya.
Salwa membuka pintu taksi, "Rahasiakan dulu. Nanti aku yang akan menjelaskan semuanya."
Meta mengangguk. "Sampaikan salam kami pada Kak Neli."
"Insyaallah."
+++