Bab 7. Diantar Kuliah

1508 Kata
"Papa, tengok rambut aku!" ujar Reva lagi. Gadis cilik itu memiringkan tubuhnya agar sang ayah bisa melihat kreasi Mayang. "Wah, iya! Cantik banget anak Papa," kata Ivan seraya berdiri. Ia lalu mengangkat tubuh Reva dan mendudukkannya di atas kursi anak. Ia juga melepaskan tas Reva agar anak itu lebih nyaman ketika duduk. Ia lalu menoleh pada Mayang. "Kamu juga duduk. Kita sarapan dulu, May." "Baik, Om." Mayang ikut-ikutan meletakkan tas milik Ivan di dekat tas Reva. Sementara ranselnya sendiri ia biarkan di atas kursi kosong yang ada di sebelah kursinya. Kedua mata Mayang berbinar melihat sajian sarapan yang sangat elit ini. "Kita berdoa dulu, Sayang," kata Ivan pada putrinya. Ia juga melirik Mayang yang menampakkan ekspresi hampir sama dengan Reva. Keduanya terlihat sangat senang dengan menu sarapan mereka. "Iya, Pa." Reva mengangkat kedua tangannya di depan d**a. Ia lalu menatap Mayang. "Tante juga. Tante berdoa dulu." "Oke." Mayang bersyukur dalam hati, meskipun Ivan memiliki sikap yang jelek padanya, Ivan bisa berperan sebagai ayah yang baik. "Nah, sekarang kamu bisa makan. Bentar, Papa bantu potong ya," kata Ivan setelah mereka selesai berdoa. "Makasih, Pa." Ivan mengalihkan tatapan pada Mayang ketika Reva sudah makan dengan baik. "Kamu kuliah pagi?" "Iya, Om. Tapi, aku mau mampir ke rumah dulu. Aku harus ambil beberapa buku aku," kata Mayang dengan mulut penuh makanan. Ivan menelan saliva, setelah menonton Mayang makan apel dengan seksi, kini ia bisa melihat Mayang makan dengan menggemaskan. "Aku anterin kamu sekalian nanti. Kalau pulang biar kamu dijemput sopir," kata Ivan. "Ehm, nggak usah deh, Om. Aku bisa sendiri. Motor aku masih di kampus. Nanti pulang kuliah aku juga harus ke rumah sakit. Aku lihat kondisi kak Damar." Mayang menuturkan rencananya. Ia memiliki rencana lain, yakni pulang saja ke rumah kontrakannya sore nanti. Ia tak mau tidur di sini dengan ancaman ia akan kehilangan mahkotanya. "Kamu bisa pergi dengan mobil, jangan pergi pakai motor jelek kamu," kata Ivan sambil makan. Mayang menggenggam sendoknya dengan geram. Motor itu memang butut dan ketinggalan tren. Namun, ia dan Damar menabung sedikit demi sedikit untuk membelinya. "Aku harus kerja nanti sore sampai malam. Aku lebih enak pakai motor sendiri," kata Mayang sesopan mungkin. "Kamu harus resign. Kamu udah punya kerjaan baru sekarang. Di sini, di dekat aku," kata Ivan sambil tersenyum miring. "Tapi ... aku masih butuh kerjaan di resto, Om." Mayang mendengkus. Ia tak suka Ivan menginterupsi hidupnya. "Aku nggak mau tahu. Kamu boleh kerja hari ini. Tapi, ini terakhir kalinya kamu kerja di sana. Dan pagi ini, aku antar kamu sekalian berangkat ke kantor. Kita anterin Reva ke sekolah dulu," kata Ivan dengan nada tegas seolah ia tak menerima protes. "Oke deh." Mayang tak ingin berdebat. Hitung-hitung, ia bisa menghemat uang saku. Mayang tahu, ia baru akan mendapatkan uang 2 miliar itu setelah masa kontraknya habis. 1 tahun ke depan, itu yang tertulis di surat kontrak. Jadi, ia merasa ia masih harus bekerja untuk memiliki uang saku dan untuk membayar biaya kuliah. "Pa, ini enak banget," kata Reva menyela obrolan Mayang dan Ivan. "Iya, kamu habiskan. Terus minum s**u ya." Ivan dengan lembut mengusap kepala Reva. Mayang hanya bisa menelan keras. Ia selalu suka bagaimana Ivan memperlakukan Reva karena sekali lagi, itu adalah impiannya ketika ia masih kecil. Sayang, ia sama sekali tak memiliki orang tua. Pagi itu setelah sarapan, Mayang benar-benar masuk ke mobil Ivan. Ia duduk di depan sementara Ivan menyetir. Reva duduk di belakang sambil bersenandung lirih. Sesekali, Reva bertanya ini dan itu pada Ivan dan Ivan menjawab dengan sabar setiap pertanyaan putrinya. Hingga beberapa menit kemudian, mereka pun tiba di depan sebuah taman kanak-kanak. "Kita turun, Sayang!" Ivan keluar lebih dulu lalu membantu menurunkan Reva. Ia menggendong Reva lalu berjalan menuju ke gerbang sekolah. Setelahnya, ia mencium pipi Reva kanan-kiri lalu membiarkan Reva menyalami tangannya. Reva melambaikan tangan dengan riang sebelum ia masuk ke gedung sekolah. Mayang yang duduk di dalam mobil turut melambai ketika ia merasakan tatapan Reva terarah padanya selama sedetik. Sekali lagi ia merasa bahwa kehidupan Reva sangat beruntung. Memiliki ayah yang baik dan kaya raya. "Sekarang, kita ke rumah kamu," kata Ivan begitu ia masuk ke mobil. "Ya. Aku harus ambil buku aku," tukas Mayang. "Ambil aja semua. Kamu tinggal di rumah aku sejak kemarin, jadi yang perlu kamu bawa, kamu ambil aja." Ivan menoleh pada Mayang yang terlihat was-was. "Ehm, oke. Tapi ... aku mau bahas yang tadi pagi, Om. Aku ... bisa kita ubah surat kontraknya? Aku nggak mau ngelakuin itu sama Om," kata Mayang. Ivan tertawa mendengar ucapan Mayang. "Kamu udah terlanjur tanda tangan. Jadi nggak ada yang perlu diubah." Mayang menggeram lirih. "Om tahu aku terlalu panik waktu itu. Kakak aku harus segera dioperasi." "Ya, aku paham itu. Tapi, tetap aja kamu nggak bisa seenaknya ngatur isi perjanjian yang udah kita tandatangani itu," tukas Ivan dengan nada tak terima. "Kamu milik aku selama setahun ke depan, itu nggak bisa diubah." "Sebenarnya, Om nikah kontrak buat apa? Apa cuma demi kebutuhan seks?" tanya Mayang ragu-ragu. "Aku ... aku mau mantan istri aku kembali. Aku mau gunain kamu buat bikin dia cemburu," kata Ivan tak tanggung-tanggung. Mayang ternganga mendengar penuturan Ivan. "Jadi, Om cinta banget sama mantan istri Om?" "Ya. Aku cinta banget sama dia." Mayang mengangguk. Ia sudah melihat foto mantan istri Ivan. Wanita itu sangat cantik dan terlihat tak asing, entah seperti ia pernah melihatnya di suatu tempat. "Kalau Om cinta sama dia, kenapa Om mau aku tidur sama Om?" tanya Mayang setelah beberapa detik ia berpikir. "Harusnya, Om nggak menodai cinta Om dengan tidur sama wanita lain." "Kamu istri aku. Aku berhak meniduri kamu kalau aku mau, kita nggak berdosa," kata Ivan. "Lagipula, aku udah bayar kamu!" Mayang meremas tasnya. Ia bersumpah akan kabur sore nanti. Ia takut kembali ke rumah Ivan dan ia akan berakhir kehilangan segalanya. Bagaimana bisa seorang pria mengatakan bahwa ia mencintai seorang wanita dan ingin tidur dengan wanita lain? "Udah sampai, ayo kita ambil buku-buku sama barang kamu." Ivan membuka sabuk pengamannya. "Om nggak perlu masuk. Rumah aku jelek banget," kata Mayang beralasan. Ia tak ingin berduaan dengan Ivan di rumah kecil itu. "Barang aku nggak banyak. Aku ambil yang penting-penting aja." "Oke. Sana." Mayang berlari cepat masuk ke rumah. Ia tak membuang waktu dengan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia menatap fotonya bersama Damar yang ada di atas meja. Ia ikut memasukkannya ke dalam tas. "Maaf, Kak. Kalau kamu tahu aku harus terlibat sama om-om m***m, kamu pasti marah sama aku. Tapi aku nggak punya pilihan lain, Kak." Mayang lekas keluar dari rumah. Ia kembali masuk ke mobil Ivan. Ia bersyukur sepanjang perjalanan menuju kampusnya, Ivan tak banyak bicara. Ia juga tak tahu harus bicara apa lagi dengan pria itu. "Aku masuk dulu, Om. Makasih." Mayang segera meninggalkan mobil Ivan. Ia menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan tak ada siapapun yang melihatnya datang dengan mobil mewah. "Woy! Lo dianter siapa?" Sekar tiba-tiba merangkul Mayang. "Astaghfirullah! Sekar, lo bikin gue jantungan deh." Mayang meraba dadanya yang berdebar tak keruan. "Iya, habisnya gue penasaran. Tumben lo ke kampus naik mobil. Mewah lagi," kata Sekar dengan nada penasaran. "Ehm, itu ... itu mamanya Faril. Kamu tahu 'kan, itu ... anak yang les sama aku. Tajir sih. Tadi aku diajak bareng." Mayang beralasan. Ia bersyukur Sekar juga tak terlihat penasaran lagi dan justru tersenyum lebar menatap ponselnya. "Pacar gue telepon. Bentar, May!" "Oke." Mayang memutuskan untuk duduk di taman sembari menunggu jam kuliahnya dimulai. Masih ada waktu 45 menit. Ia menunggu sembari merencanakan aksi kaburnya nanti sore, tetapi bisakah? Ia ingat, Ivan punya banyak anak buah. Ia ngeri sendiri jika Ivan memata-matainya. Mayang menatap Sekar yang duduk tak jauh darinya sembari bicara malu-malu, kadang tertawa dan tersenyum bak orang gila. Pacar Sekar pastilah pria yang baik meskipun ia belum pernah melihatnya, pikir Mayang dalam hati. "Gue harus naik," kata Sekar pada Mayang. "Kelas gue mulai 10 menit lagi." "Oke. Gue masih mau bernapas di sini." Sekar tertawa kecil lalu melambaikan tangannya pada Mayang dan berlari menjauh. Mayang menoleh pada Sekar karena ia mendengar sesuatu yang jatuh. "Ah, dasar tuh cewek. Buru-buru banget nyampe nggak nyadar ponselnya jatuh." Mayang hampir mengantongi ponsel temannya. Namun, tiba-tiba ada pesan masuk dari seseorang yang terlihat di layar. Sayangku: Nanti pulang bareng kita, Beb. Mayang pulangnya jam 1. Merasa namanya disebut, mau tak mau Mayang pun penasaran. Ia tak pernah mengenal pacar Sekar, tetapi pacar Sekar tahu jadwalnya? Ini sungguh aneh. Ia jadi ingat, Sekar dan Bayu sering bersama. "Nggak mungkin." Mayang tak berniat mencurigai temannya, tetapi hatinya langsung bergemuruh. Dengan gusar, Mayang akhirnya mencoba membuka ponsel Sekar. Ia baru tahu bahwa kunci yang digunakan adalah tanggal lahir Bayu. Sungguh di luar dugaan! Mayang mengecek nomor ponsel pacar Sekar dan membandingkannya dengan nomor Bayu. Sama! "b*****t!" Mayang melihat di galeri ponsel Sekar. Dan ternyata di sana penuh dengan foto mesra Sekar dengan Bayu. Padahal, ia sendiri cukup jarang berpose sedekat ini dengan Bayu. "Ini apa?" Sekar ternganga ketika ia menemukan file yang berisi foto-foto Sekar dengan Bayu yang jelas diambil di atas ranjang. Sekar menutupi tubuhnya dengan selimut sementara Bayu tak memakai atasan. "Jadi, selama ini mereka ... main di belakang gue?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN