Masuk Ruang UGD
Sedikit masyarakat Korea menganggap bunuh diri adalah cara terbaik untuk memprotes, meminta maaf, bahkan memecahkan masalah. Dengan cara meminum racun, menghirup gas beracun, gantung diri hingga melompat di jembatan dalam kasus kebanyakannya. Hal itu di akibatkan karena tingkat status sosial-ekonomi, persaingan yang tinggi, umur, cyber-bullying, dan akhirnya kematian yang diderita sendiri tidak lagi dianggap sebagai pilihan yang buruk. Tetapi menjadi pilihan yang membanggakan. Telah terhitung dalam terakhir ini, Korea Selatan peringkat sepuluh dengan masyarakat terbanyak yang memilih bunuh diri.
Lain halnya dengan Jang Hana, wanita berusia 25 Tahun itu, menganggap bunuh diri sebagai pilihan terbaik mengenai masalah asmaranya. Enam bulan lalu, tunangannya meninggal dalam kecelakaan tragis, bahwa mobil yang ia kendarai, masuk ke dalam sungai sewaktu melintasi Jembatan Mapo.
Meski Hana telah bekerja sebagai seorang guru matematika di Korea International School, tetap saja segala pengetahuan yang ia ketahui tak mampu meredam patah hati yang ia rasakan. Selama enam bulan terakhir ini, ia hanya bersembunyi di balik pintu kamar apartemennya, sambil menangisi foto tunangannya yang berada dalam dekapannya.
Puluhan panggilan tak terjawab dari keluarga, kerabat, murid hingga kepala sekolahnya, telah lama tercantum di layar Handphonenya tanpa ia lihat sekalipun. Tak ada aktivitas yang ia lakukan selain terbaring menangis dan memeluk foto tunangannya erat-erat. Sesekali ia berbicara pada foto tersebut bagai orang gila kehilangan kesadarannya. Mengelus foto tersebut berulang kali bagai hewan peliharaan.
Ia juga merasa sebagai orang paling bodoh dan paling bersalah di dunia. Baginya, jika ia tidak mengizinkan kekasihnya pergi keluar kota, maka tidak akan terjadi kecelakaan maut menimpanya. Tetapi enam bulan lalu, ia malah menyemangatinya, seperti kebiasaan seseorang yang sombong. Sampai-sampai ia juga lupa mengatakan yang sering ia ucap ketika tunangannya pergi keluar kota, yaitu “Hati-hati, sayang. Aku mencintaimu” Ia terlalu senang dan tergiur oleh jabatan yang akan di sematkan pada tunangannya ketika telah menyelesaikan tugas kantornya.
Kini ia layaknya mayat yang masih hidup. Tubuhnya kurus kering dan kaku, tak bisa ia gerakkan kemana-mana. Wajah serta bibirnya pucat seperti halnya bulan Purnama. Kini parasnya seperti halnya dengan kamarnya yang sangat amat berantakan. Ia telah melupakan kebiasaannya mempercantik diri, olahraga di pagi hari, memetik bunga-bunga segar di pohon tepi jalan. Mengunjungi panti jompo dan memberikan edukasi pada mereka. Semua telah terlupakan oleh patah hati yang terlalu pedih. Dalam pikirannya hanya satu, yaitu segera mati.
Selama enam bulan itu, suhu tubuhnya panas bagai berjemur di bawah terik matahari, batuk darah berulang kali keluar dari mulut dan hidungnya, matanya merah dan penglihatannya buram bagai minus tiga. Kepalanya terasa sangat amat sakit bagai di tusuk seribu jarum hingga bagai memecahkan kepalanya.
Tak ada yang mengetahui keberadaannya ... Sebenarnya apartemen yang ia tempati sekarang ini akan ia tempati dengan tunangannya ketika sudah menikah. Sebab itu, ia ingin sekali mati terkubur di tempat tidur sambil membayangkan wajah tunangannya di detik-detik dia meninggal. Berusaha tersenyum ketika membayangkan wajah tunangannya di detik malaikat maut merenggut nyawanya. Tetapi apabila malaikat maut hanya menghampiri, lantas ia bisa berbicara dengannya, maka ia akan katakan “Segera cabut saja nyawa ku dan segera pertemukan aku dengan kekasih yang aku cinta.”
Sebelumnya, Hana dan tunangannya pernah mengaitkan jari kelingking mereka di suatu sore di tepi pantai. Sambil mengatakan satu ikrar yang menurut mereka itu sangat suci, janji itu adalah “Sehidup Semati” sampai-sampai Hana meneteskan air mata, ketika janji itu di ucapkan manis oleh tunangannya sambil menatap matanya. Sebab itu, ketika Hana memang benar memenuhi janjinya, maka seharusnya ia harus mati menyusul tunangannya.
Ketika jam tujuh malam, seluruh tubuhnya terasa kaku dan dingin, matanya terasa sulit ia buka, nafasnya pelan-pelan menghilang dari rongga hidungnya. Bisa saja waktu ini adalah hidup yang terakhir kalinya. Tanpa melihat keindahan musim gugur yang selalu ia nantikan kedatangannya, ia pun ingin menyusul tunangannya.
Namun berbeda dengan keinginan Tuhan, seketika Ye Jun datang bersama dua Polisi yang telah melacak keberadaannya selama tiga hari lewat handphone yang ia biarkan di atas meja belajarnya. Kemudian mereka mengetuk pintu kediamannya berulang kali secara keras, hingga akhirnya mereka mendobrak pintu setelah tidak ada suara sahutan panggilan dari Hana. Akhirnya mereka bisa masuk ke dalam apartemennya.
Mata Hana yang terpejam, telah membuat Ye Jun kaget dan waswas, lalu dengan cepat ia periksa nafas di hidung dan denyut nadi di pergelangan tangannya, sambil memanggil-manggil nama Hana berulang kali. Jantung Ye Jun berdetak kencang, wajahnya memucat seketika. Ia kira teman akrab yang sering cerita dan bertukar pendapat dengannya itu, telah wafat sambil memeluk foto tunangannya.
Di sebelah Hana, terdapat selembar kertas yang di tulis dengan tinta merah, Ye Jun pun mengambil, kemudian ia simpan di saku celananya. Ye Jun pun dan kedua Polisi tersebut segera melarikan Hana ke Rumah Sakit terdekat. Di pertengahan jalan menuju Rumah Sakit, Hana sempat membuka bibirnya lalu mengucapkan nama tunangannya secara pelan dalam dekapan Ye Jun. Ye Jun yang panik meminta mempercepat laju kendaraan. Hingga ia teriak menggertak penyetir mobil.
Tiba di Rumah Sakit, Hana langsung di masukkan ke ruang UGD (Unit Gawat Darurat) sebagai tahap penanganan keselamatannya. Sementara Ye Jun menghubungi keluarga Hana, bahwa anak semata wayangnya tak sadarkan diri dan kini di masukkan ke ruang UGD di Rumah Sakit Nanuri dengan kondisi yang sangat krisis.
Sambil menunggu keluarga Hana datang, Ye Jun pun membuka surat Hana, ia membacanya dalam batin “Aku melihat cahaya fajar di jendela kamar dalam pembaringan ku setiap hari, mendengarkan suara sunyi uap udara yang melintas di hidungku setiap hari, dan memeriksa suhu tubuh ku yang berubah setiap hari, yang selalu mendekatkan aku pada keinginan ku”
“Seperti yang di pahami semua manusia, jantung ini ciptaan Sang Pencipta, namun aku tak akan menangis jika ia berhenti bekerja. Ruh ku bisa saja hari ini bertemu dengan Dewa maut, lalu ia hantar aku di sisi kekasih ku dan kami abadi di sana”
“Dan bisa saja aku mati hari ini tanpa hujan tangis orang-orang terdekat, dan itu yang aku harapkan dari semuanya. Hingga jika bisa tersenyum, maka lakukan itu tanpa melihat jasadku yang telah kering."
“Aku tahu kalian akan menemui ku tergeletak membusuk disini, namun aku berharap jasadku terkubur di sebelah tunangan ku. Ketika memiliki banyak salah, maafkan aku sebagaimana kalian memaafkan bayi membuang sarapan paginya. Aku sayang kalian semua. Semua ini demi cinta”