Keadaan di pondok pesantren malam itu tampak sangat ramai dan penuh suka cita. Hal itu karena para tamu yang datang untuk melakukan pengajian malam ketiga meninggalnya Abi Yahya, berganti dengan kebahagiaan atas pernikahan Ridho dan Nayla.
“Alhamdulillah semua udah selesai, Nak. Sekarang kamu udah sah menjadi istri Ridho. Kamu harus patuh dan taat pada suamimu!” ucap Zulha kepada Nayla yang masih duduk bersender pada tubuhnya dengan manja.
“Apa itu artinya sekarang Ami nggak akan peduli lagi sama Nay? Nggak bakalan ngurusin Nay lagi seperti dulu? Gitu juga dengan bang Ali dan bang Firman, Mi?” tanya Nayla dengan bertubi-tubi.
Zulha tertawa ringan mendengar pertanyaan dari Nayla yang dianggapnya sangat tidak masuk di akal. Ia tidak bisa membayangkan betapa polosnya atau mungkin minimnya ilmu tentang pernikahan yang dimiliki Nayla. Itu semua karena Nayla memang jarang sekali mengikuti semua pelajaran yang diajarkan oleh para guru di pondok pesantren itu.
Tidak ada seorang pun yang bisa membuat Nayla betah dan duduk selama jam pelajaran berlangsung. Akan ada saja alasan Nayla untuk bisa keluar dari kelas lalu pergi bermain. Sungguh, sudah terlalu banyak mereka semua bersabar menghadapi tingkah laku Nayla dulu.
“Ami nggak akan pernah seperti itu, Nak! Bagaimana pun juga, kamu adalah anak Ami perempuan semata wayang. Lagi pula, abang-abangmu tetap akan menjadi pelindungmu sampai kapan pun. Hanya saja …,” ucap Zulha terputus dengan nada akhir yang terdengar sangat sendu.
“Hanya aja apa, Mi?” tanya Nayla penasaran dan sedikit khawatir.
“Hanya … tanggung jawab kami padamu sudah habis, Nak! Semua udah berpindah pada Ridho sejak dia sah menjadi suamimu tadi. Semua tanggung jawab dan bahkan dosamu, akan ditanggung oleh Ridho sebagai suamimu. Bukan lagi oleh Abi atau Ami.”
‘Bagus deh kalau gitu. Nanti aku bikin dosa banyak-banyak biar dia dapat dosa yang banyak,’ batin Nayla berkata dengan senyum licik terpancar di sudut bibirnya.
“Kamu lagi mikirin apa, Nay? Jangan berpikir untuk melakukan hal yang aneh-aneh sama Ridho. Kamu tau kan, Abang akan tetap memantau kamu dan memperingati kamu kalau kamu salah!” tegur Ali kepada Nayla dan sukses membuat Nayla terkejut.
“Gimana Abang tau kalau Nay lagi mikirin buat bikin dosa dia makin banyak? Kan Nay dalam hati doang bilangnya, trus senyum Nay juga nggak keliatan karena ketutup nih cadar,” ungkap Nayla kepada Ali dengan penuh keheranan.
“Abang ini udah jagain kamu dari kamu masih ingusan, Nay! Muka kami ditutup derom aja Abang bisa tau apa yang kamu pikirkan sekarang,” sahut Ali dengan sedikit menakuti Nayla.
“Ah, masa sih? Hebat banget Abang bisa tau apa yang Nay pikirkan!”
“Tuh, buktinya tadi bener kan? Abang tau kalau kamu lagi rencanain hal yang buruk buat suami kamu.”
“Kenapa tadi Nay nggak bilang aja kalau Nay lagi mikirin tentang pendidikannya Nay yang masih belum selesai di sini, ya.”
“Jangan bahas masalah itu sekarang buat mengalihkan permasalahan. Dulu kamu sendiri yang nggak mau serius sama study kamu. Sekarang, giliran udah nikah malah bahas masalah pendidikannya. Nggak akan merubah semua keadaan yang udah terjadi juga, Nay!” terang Ali dengan penuh kesabaran kepada sang adik perempuan semata wayangnya yang sangat manja itu.
Nayla memang lebih ingin berbaur bersama ibu dan kedua abangnya sekarang. Sementara Ridho juga sedang bercengkrama dengan keluarganya di sudut yang lain. Pasalnya, Ridho akan tinggal di sini setelah pernikahan ini terjadi. Nayla juga sudah menyatakan penolakannya atas rencana Leni yang akan mengadakan resepsi pernikahan di rumah mereka yang ada di kota.
Meski pada awalnya Leni tampak marah dan kecewa, akan tetapi Rendra berhasil membuat Leni bisa tetap bersikap ramah dan sopan di depan semua orang. Beberapa orang keluarga mereka juga ikut dalam acara ini sehingga Leni bisa langsung memperkenalkan Nayla pada keluarga besarnya.
“Dho, panggil sana istri kamu. Biar kenal dan lebih akrab sama keluarga kita. Masa nggak menghargaii kita banget, masih aja di sana sama orang tua dan abang-abangnya!” ucap Leni dengan memandang ke arah di mana Nayla sedang duduk saat ini.
Tatapan matanya yang tajam ternyata tidak sengaja langsung berhadapan dengan tatapan Nayla yang kebetulan sedang memandang ke arahnya pula.
‘Ngapain tuh maknya si Ridho ngeliatin aku gitu amat? Pasti mereka lagi ghibahin aku,’ batin Nayla lagi dan langsung melempar pandangannya ke arah yang lain.
“Biarian aja dulu dia sama keluarganya, Ma. Nayla pasti masih butuh waktu dan penyesuaian dengan semua ini.” Ridho menjawab ucapan Leni dengan lembut dan sopan karena tidak ingin kalau Leni sampai tersinggung.
“Penyesuaian apaan! Kayak yang nikahnya dipaksa buat nebus hutang aja!” geram Leni dengan suara yang dipelankan agar tidak terdengar oleh orang lain yang ada di sana.
“Husstt … Mama nggak boleh ngomong gitu! Malu sama keluarga besan kita kalau mereka mendengarnya, Ma!” tegur Rendra kepada Leni dengan tegas dan tampak emosinya berusaha ia redam karena tamu masih sangat ramai.
“Papa sama anak kok sama aja sih! Nggak ada yang belain Mama! Tega banget memang kalian berdua sama Mama!” keluh Leni dengan nada sedih yang sengaja dibuat-buat.
Kalau sudah seperti ini, Rendra dan Ridho tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mereka lebih memilih untuk diam dan tidak lagi menjawab semua ucapan Leni. Mereka tidak mau menambah masalah karena tahu Leni akan terus memperpanjang hal yang dia ributkan kepada Rendra dan Ridho.
“Ini demi kebaikan dan nama besar keluarga kita juga, Ma. Kalau Mama bikin masalah di sini, nanti anak kita juga yang akan malu di depan keluarga istrinya.”
“Kenapa harus malu? Laki-laki itu harus mental baja dan muka tembok. Semua yang dia katakan harusnya yang akan dituruti oleh istrinya. Jangan sampai anak kita nanti jadi suami yang takut sama istrinya itu, Pa!” omel Leni lagi dengan suara yang setengah berbisik di sebelah Rendra.
Mendengar hal itu, seorang istri dari adik bungsu Rendra pun menyela. “Bukannya itu udah turunan, Mba? Papanya takut sama istri, udah pasti nanti anaknya juga takut sama istri!”
“Heh! Jangan sembarangan kamu kalau bicara! Aku nggak mau kalau anakku takut sama istri bercadarnya itu. Kalau aku sama suamiku itu jelas beda, nggak bisa disamakan!” bantah Leni dengan emosi tertahan dan bicara dengan gigi yang tertutup rapat atas dan bawah, sungguh luar biasa. Namun, Rendra tampak sudah pasrah dengan sikap istrinya itu. Sudah sangat susah untuk dinasehati.
“Kok pada ribut sih? Ya udah, Ridho aja yang ke sana biar Mama sama yang lainnya puas-puasin ngobrol,” sela Ridho pula dengan sedikit kesal.
“Eh, jangan! Masa kamu yang ke sana sih? Tunggu aja dia yang ke sini dan mencoba berbaur sama keluarga kita,” titah Leni yang baru saja memberikan larangan kepada Ridho untuk menyusul Nayla ke tempatnya duduk bersama dengan Ali, Firman, dan ibu kandung mereka.
Ridho tidak tahan dengan sikap dan kecerewetan dari Leni. Hal itu juga yang menjadi penyebab Ridho lebih betah tinggal di pondok pesantren itu dari pada harus kembali ke rumahnya. Namun, ia tentu saja tetap bersikap baik kepada Leni dan tidak ingin menyakiti hati ibunya itu.
Saat ini, Nayla tampak sedang sangat berbahagia dengan keluarganya. Mungkin, Nayla tengah menikmati masa-masa terakhirnya menjadi kesayangan abang dan ibunya. Sebelum akhirnya Nayla harus berbakti dan mengabdi kepada Ridho.
Meski tertutup dengan cadar, Ridho bisa melihat sorot mata bahagia Nayla dan tawa riangnya di sana. Mana mungkin Ridho tega untuk merusak momen itu karena dia tahu Nayla sangat jarang sekali bisa tersenyum. Apalagi sampai tertawa riang seperti sekarang ini.
“Akan aku buat kamu benar-benar jatuh hati padaku, Nay!” gumam Ridho dan terus saja menatap wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu dengan senyum kebahagiaan.