Nayla Cemburu?

1350 Kata
Nayla tidak sengaja mendengar semua yang Ridho dan orang tuanya itu bicarakan. Ia berniat untuk menemui Firman dan Ali saat ini karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Nayla tadinya tidak ingin memakai cadar, akan tetap ketika bertemu dengan uminya, Nayla mendapatkan perintah yang tidak bisa lagi dia bantah. “Aku nggak akan pernah membuat kalian tenang dan senang. Liat aja nanti! Oke, pernikahan ini akan tetap berjalan dan kalian akan menyesal nanti!” gumam Nayla lagi dan langsung bergegas meninggalkan tempat itu sebelum ada yang memergoki dirinya. Sementara di dalam aula itu, Ridho masih terus berdebat dengan kedua orang tuanya. Ridho benar-benar sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi Leni yang memang sangat keras kepala. Ridho adalah anak yang manja dan penurut pada Leni sebelumnya. Namun, semenjak mengenyam pendidikannya di pondok pesantren itu, Ridho tidak lagi menuruti semua ucapan Leni. Bukan maksud hati ingin menjadi anak durhaka, akan tetapi lebih ke Ridho sudah bisa memilih dan memilah mana yang patut ia turuti dan mana yang tidak seharusnya ia turuti. Meski pun itu adalah perintah dan keinginan dari ibunya kandungnya sendiri. “Dari mana aja kamu, Nay?” tanya Firman yang tak sengaja berpapasan dengan Nayla di salah satu jalan menuju ruang pimpinan pondok pesantren itu. Tempat di mana abi Yahya selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja dan memikirkan segala kemajuan tentang tempat yang ia kelola dan tempati sejak puluhan tahun silam itu. “Kok Abang tau ini Nay?” tanya Nayla yang justru merasa heran dengan sapaan Firman itu. “Ya tau lah, Nay! Kamu kan adek Abang,” jawab Firman santai dan tertawa ringan. “Iya, Nay. Pertanyaan kamu tuh ada-ada aja!” sela Ali pula dan ikut tertawa pelan. Nayla hanya merengut di balik cadar berwarna merah maroon nya itu. “Tapi ‘kan … Nay pakai cadar begini. Masa sih langsung dikenali juga?” tanya Nayla lagi merasa tidak puas dengan jawaban Firman dan Ali barusan. “Nayla … kamu tuh punya daya tarik dan pesona sendiri. Dari sorot mata dan juga tatapan kamu aja, kami udah tau kalau itu kamu. Mungkin juga … karena kami udah lama bersama kamu. Jadi, meski kamu biasanya nggak pakai cadar dan sekarang pakai, kami tetap bisa mengenali kamu,” ungkap Syifa pula dengan sangat lembut dan suaranya sungguh bisa meluluhkan hati siapa saja yang beku. “Benar yang dikatakan oleh Kak Syifa kamu itu, Dek. Apalagi Abang nih, udah jagain kamu dari kamu masih orok. Masa nggak bisa ngenalin kamu di balik cadar itu,” ucap Firman pula yang membenarkan ucapan istrinya itu. Seketika wajah Nayla kembali berubah menjadi masam. Meski tersembunyi di balik cadar, tentu saja kedua pasang insan manusia itu dapat melihat kekesalan dari Nayla yang kini entah tertuju pada siapa lagi. “Terus aja belain istrinya. Apa pun yang dibilang istrinya, selalu aja benar dan dibenarkan. Nggak pernah tuh aku dengar Bang Firman membantah ucapan Kak Syifa. Secinta itu, ya? Sampai bucin gitu banget!” sindir Nayla dengan nada ketus dan jengkel kepada Firman. “Ckckck … kamu nih, apa-apa sih Nay? Nggak baik ngomong gitu sama bang Firman. Ayo buruan minta maaf!” sela Ali yang jelas tidak suka mendengar sindirian Nayla kepada Firman tentang hubungan atau perlakuan Firman kepada Syifa itu. Sementara itu, selama ini Nayla juga tidak suka kepada Marwah – istri Ali karena nota bane nya Marwah adalah sahabat Nayla dulunya. “Nggak apa-apa. Nayla nggak salah kok, karena dia sedang cemburu. Jadi semua yang dia katakan adalah benar!” Firman berkata singkat dan dengan nada datar. “Siapa yang cemburu?” “Bukan siapa-siapa, Dek. Kamu mau ke mana dengan pakaian seperti ini? Nggak biasanya!” “Aku tadi mau nyari Abang lah. Malah disuruh umi pakai beginian. Gerah banget tau! Mana nggak bisa tebar pesona lagi sama santri-santri tampan dan muda di sana,” ujar Nayla dan melirik ke arah kiri dari tempatnya berdiri. Di sana memang sedang ramai oleh para santri yang sedang bergotong royong membersihkan pekarangan dan juga menggemburkan tanaman herbal. Sementara yang santriwati sudah bisa dipastikan sedang membersihkan semua ruangan yang ada di pondok pesantren ini. Itu adalah tugas rutin merek setiap hari minggu, jika mereka tidak pulang ke rumah orang tua mereka. Dan biasanya, hari minggu seperti sekarang ini dimanfaatkan pula oleh para santri dan santriwati saling berkenalan atau bertukar pesan. Di sini lah banyak terjadinya jatuh cinta pada pandangan pertama dan berakhirnya mereka duduk di pelaminan setelah lulus dari pondok pesantren ini. “Husst! Nayla nggak boleh gitu. Jaga pandangan kamu, Nay! Sebentar lagi juga bakalan nikah sama Ridho,” tegur Marwah tanpa sadar dengan bahasa dan gaya bicaranya yang berbeda. Sebenarnya itu tidak lah berbeda dari yang biasanya. Hanya saja, sudah sejak lama Marwah tidak pernah lagi bicara seperti itu kepada Nayla. Semenjak Nayla memusuhinya saat itu, ketika ia menerima pinangan Ali dan mereka menikah lalu menetap di pondok pesantren itu. “Ih … ada yang lagi nasehatin aku. Tapi lupa kalau dulu dia juga begitu,” ejek Nayla dengan sengaja membuat Marwah malu dan kemudian tertunduk dengan rasa sedih yang tak bisa ia ungkapkan. “Nayla! Jaga bicara kamu sama Marwah. Gimana pun hubungan kalian dulu, sekarang dia adalah istri Abang dan kamu harus menghormati dia sebagai kakak iparmu,” tegur Ali dengan nada tinggi yang membuat Nayla tidak lagi heran. Nayla selalu menduga bahwa kedua abangnya itu sudah terbiasa berbicara padanya dengan meninggikan suara sejak mereka menikah dan memiliki kehidupan sendiri. “Abang tuh sama aja kayak Bang Firman. Aku tuh merasa udah nggak kalian sayang dan nggak lagi berarti di hati kalian. Semenjak kalian berdua punya istri, aku dianggap seperti orang lain yang hanya terus mengganggu dan membuat kalian jadi susah,” ungkap Nayla dengan nada suara bergetar dan kemudian melangkah meninggalkan mereka. “Nay … Nayla!” panggil Firman dan Ali bersamaan. Mereka sungguh tidak dapat mengerti dengan sikap serta ucapan Nayla yang menurut mereka tidak benar sama sekali. Sementara, Syifa dan Marwah sudah pasti akan langsung merasa bersalah dengan ucapan Nayla tadi. “Nayla terlalu berpikir jauh tentang semua ini. Padahal, Abang nggak pernah benci dan menganggapnya seperti itu,” ucap Firman dan didengar oleh Syifa dengan hati pilu. “Sabar, Bang. Nayla masih labil dan tidak bisa mengerti maksud Abang yang sebenarnya. Cepat atau lambat, Nayla pasti akan menyadari bahwa semua yang Abang dan Ali lakukan selama ini adalah demi kebaikan dan masa depannya sendiri. Ini hanya masalah waktu, Bang!” terang Syifa berusaha memberikan ketenangan dan juga energi positif kepada suaminya itu. Dia tidak ingin Firman merasa sedih atas sikap sang adik yang sebenarnya memang sudah cukup keterlaluan. “Kak Syifa benar, Bang. Kita nggak akan pernah benar untuk saat ini dipandangan Nayla. Jadi, sebaiknya kita banyak mengalah aja. Dan demi kebaikan serta keharmonisan keluarga kita juga,” imbuh Marwah pula membenarkan ucapan Syifa tadi. “Ya sudah kalau begitu, Bang. Kita temui umi aja dulu, karena sepertinya Ridho masih berbincang dengan orang tuanya. Umi juga perlu tau rencana orang tua Ridho yang ingin menggelar resepsi pernikahan di kediaman mereka,” ucap dan ajak Ali kepada Firman yang masih saja tampak murung dan sedikit bersalah. Ia merasa bersalah karena sepertinya sudah gagal mendidik Nayla selama ini. Dia juga menyesal sudah terlalu memanjakan Nayla dan sekarang Nayla sampai berbuat seperti itu. Bahkan, saat abi Yahya pergi pun hanya tentang Nayla saja yang dipikirkan olehnya. “Semoga pernikahan Nayla dengan Ridho ini adalah pilihan terbaik dari mendiang Abi. Dan semoga, dengan terjadinya pernikahan mereka besok, Nayla bisa menjadi seperti yang Abi dan kita semua inginkan,” ungkap Firman dan kemudian menghela napasnya dengan berat. “Aamiin Allahuma Aamiin.” Mereka semua serempak mengaminkan doa dan harapan Firman barusan. Akhirnya, dua pasang suami istri itu kembali menuju rumah yang sudah menjadi tempat tinggal orang tua Firman, Ali, dan Nayla selama ini. Tempat mereka menghabiskan hari bersama sampai satu persatu pergi dan kemudian hanya tersisa Nayla bersama umi mereka saja di sana. “Assalamu’alaikum, Umi …,” ucap mereka serempak dan tidak mendapatkan jawaban dari yang dipanggil, meski sudah tiga kali mereka mengucapkan salam. Hal itu tentu saja mengundang rasa cemas dan kekhawatiran di hati serta pikiran mereka berempat saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN