Keesokan harinya, Rabu subuh. Apartemen Jena. Jena Rahardian membuka mata perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah dinding apartemennya yang putih pucat. Mungkin seperti itulah sekarang perasaannya. Putih pucat bagai hantu, tidak ada kehidupan. Hatinya sakit memilu. Tiba-tiba, rasa rindunya terhadap Zaflan Matsuyama, pria yang diyakininya sekarang dengan sangat kuat tidak akan bisa menjadi miliknya bagaimanapun dia berusaha, akhirnya menikam jantungnya begitu kuat. Usai melakukan ‘latihan’ itu bersama Tuan Kontraknya, Shou, semalam, separuh jiwanya seperti sudah hilang entah ke mana. Bulu mata Jena merendah lembut, air mata mengalir pelan dalam diam membasahi kedua pipinya. Bahkan seandainya Zaflan ada keajaiban membalas perasaannya meski hanya secuil, dia sudah tidak punya