Menjaga Melia

1562 Kata
"Thank you, Om!" Begitu menjejak tanah Kevin langsung melesat masuk ke rumah. Matteo tersenyum miring. Setidaknya anak kecil itu sudah mau mengucapkan sesuatu yang baik. Sekarang tinggal mamanya ... "Terima kasih traktirannya, Pak. Selamat ma—" "Temani aku mengobrol sebentar," potong Matteo sebelum diusir pulang. Tampaknya dia harus sedikit menuntut. Mulai putus asa, Melia mendongak menatap langit. Kedua tangannya tersilang di depan d**a. Bagaimana lagi cara mementahkan keinginan Matteo untuk mendekatinya? Kevin saja tidak mempan membuat lelaki itu menyerah. "Tidak boleh duduk di dalam?" Matteo menahan senyum karena Melia berdiri di antaranya dan pintu rumah. "Sebaiknya tidak, Pak. Ini sudah malam dan saya tidak suka jadi bahan gosip tetangga." Matteo melihat ke kanan kiri rumah tetangga. Memang sih ada satu dua orang yang curi-curi pandang ke arah mereka. Lelaki itu tidak mengerti kenapa hal tersebut menjadi masalah. Bukankah mereka tidak melakukan sesuatu yang salah? "Siapa yang menggosip?" tanya Matteo. "Tetangga lah, Pak," kata Melia pelan. "Apa yang digosipkan? Aku hanya bertamu di rumahmu, bukan berduaan di pojok gelap?" Melia menghela nafas. Bosnya ini memang belum pernah mengalami hal buruk yah? Dia tidak tahu betapa menakutkannya mulut-mulut para penggosip! Demi melihat ekspresi sekretarisnya yang minta dikasihani Matteo pun mengalah, "Okelah, kalau begitu sampai besok." "Sampai besok, Pak." Melia terdengar sangat lega. "Oh ya, aku sudah janji pada Kevin besok siang kita berdua akan menjemputnya pulang sekolah." "Hah?" "Setelah itu makan siang bersama, mengantarnya ke rumah, lalu kita kembali ke kantor." Matteo mengulum senyum. "Astaga ... tidak sekalian sampai makan malam lagi?" keluh Melia. "Kalau kamu mau bisa kuatur." Mendadak Melia sakit kepala, "Pak, saya keberatan. Bagaimana dengan pekerjaan? Bukannya Anda punya perusahaan yang harus dipikirkan? Ini bukan dunia dalam dongeng di mana semuanya happy ending. Saya bukan Cinderella. Saya punya anak yang harus diperhatikan." "Aku tahu, Mel. Bukankah aku sudah berkata akan menjagamu? Bukan hanya kamu, tapi juga Kevin." Wanita berambut coklat itu menekan pelipis, "Ah, sudah ya, Pak? Sepertinya saya butuh istirahat lebih cepat." "Sudah jam tidurmu?" "Malam ini, ya." Sejenak keduanya berdiam diri. Sesungguhnya Matteo tidak rela percakapan mereka berakhir begitu saja. Dia ingin sekali bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Melia. "Besok saya harus bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan keperluan Kevin, mengantar ke sekolah, lalu sarapan sebelum jalan ke kantor. Waktu adalah kemewahan bagi saya." Matteo pun mengalah, "Baiklah." Terlihat sekali kelegaan di wajah Melia. "Kamu antar Kevin jam berapa?" Bulu kuduk Melia meremang. Ini bukan sembarang pertanyaan! Masa si bos mau datang pagi-pagi sekali?? "Jam enam," lirihnya dengan harapan Matteo tidak mendengar jelas. "Oke." Lelaki itu berbalik ke mobil dan melaju pergi. Tinggallah Melia terbengong di depan rumah, "What the ...? Apa maksudnya? Aduh, jangan sampai dia muncul mendadak besok pagi." Malam kelam menyelimuti bumi, memberi ketenangan bagi manusia yang tidur nyenyak. Semua, kecuali satu. Melia berguling-guling di tempat tidur sampai terbungkus oleh selimut. Dia khawatir memikirkan Matteo begitu niatnya pagi-pagi sekali datang ke rumah. Untung dia masih bisa bekerja dalam keadaan galau. Matahari memanjat naik di kaki langit, perlahan menerangi bumi dengan cahayanya ... Terdengar suara kelontang nyaring dari dapur. Melia yang masih mengantuk menggerutu. Dia baru saja menjatuhkan sebuah sendok. "Mama, kok matanya hitam kayak panda?" celetuk Kevin yang sedang makan roti oles selai jeruk. "Masa sih? Kelihatan ya?" Melia meringis. "He eh." Kevin mengangguk. "Mama nggak bisa tidur, Sayang." Melia melihat jam tangan. Sepuluh menit menuju jam enam pagi. Mereka harus bergerak cepat, "Habiskan rotinya, habis itu pakai sepatu." "Hmm." Setelah potongan roti terakhir habis Kevin duduk di kursi kecilnya untuk memakai sepatu, sementara Melia membereskan meja makan. "Sini, Opa bantu." Yudha—ayah Melia—membantu cucunya memakai sepatu. "Mel, nanti siang Mama yang jemput Kevin atau ...?" tanya Marta. "Hah? Atau apa?" Melia melongo. Otaknya mendadak macet. "Semalam Mama dengar obrolan kalian. Temanmu Matteo mau antar kamu jemput Kevin?" Marta tersenyum samar. Sontak Melia memaki-maki Matteo dalam hati. Seharusnya dia curiga kenapa semalam lelaki itu berbicara dengan nada suara agak keras. Rupanya supaya didengar oleh orang di dalam rumah! "Kalau begitu Mama pergi sama Papa, ya? Sudah lama kami nggak kumpul bersama teman-teman seangkatan dulu. Kebetulan ada yang ajak makan bersama sekaligus nyanyi lagu nostalgia," ucap Marta lagi. "Iya, betul. Kesempatan langka," timpal Yudha. "Kalau jadi katanya mereka undang guru dansa juga, 'kan?" Marta tersenyum lebar. Tidak sampai hati membuat ayah ibunya membatalkan acara, Melia pun mengiyakan. Lebih baik dia yang mendongkol daripada membuat orangtua kecewa. Baru selesai satu masalah muncul lagi yang lain. Semua orang di dalam rumah mendengar suara klakson dari depan. Tanpa melihat pun Melia bisa menebak siapa yang datang. Dua tahun bekerja sebagai sekretaris Matteo membuatnya hafal suara klakson mobil lelaki itu. "Mama! Om datang!" seru Kevin. "Om siapa? Kamu nggak tahu namanya?" cetus Melia. Kevin meringis, "Namanya siapa, Ma?" "Tanya sendiri lah. Sana, ambil tas kamu. Ma, Pa, kami berangkat." Matteo mengklakson lagi. Bahu Melia merosot. Klakson mobil itu pasti terdengar oleh tetangga se-RT. "Iya. Hati-hati di jalan," kata Marta. "Jangan galak-galak, Mel. Nanti dia kabur loh," goda Yudha. "Ih, Papa," gerutu Melia. Sebelum melangkah keluar dari pintu Melia masih sempat mendengar ucapan orangtuanya mengenai anak muda jaman sekarang dan semacamnya. Memang sih, kedua orangtua Melia menginginkan putri mereka bahagia. Tentu saja mereka senang melihat ada lelaki di ruang lingkup sang putri yang masih bertahan sendiri ... Ah, tidak semua orang paham bahwa sendiri belum tentu tidak bahagia, berpasangan pun belum tentu bahagia. Melihat Melia muncul, Matteo melambaikan tangan keluar jendela mobil. Kalau bukan mengingat Kevin tidak boleh terlambat masuk sekolah, ingin rasanya dia berlari kencang melewati mobil Matteo agar mereka tidak usah berangkat bersama. Namun, karena putranya sudah duduk di kursi samping pengemudi Melia pun masuk ke belakang. Matteo menoleh dengan senyum manis di wajah, "Good morning. Hari ini aku jadi supir kalian." "Uhm ... saya gantikan menyetir?" tawar Melia. "Tidak perlu. Pasang seatbelt. Kita berangkat." Melia kagum melihat Kevin mematuhi perkataan Matteo. Apakah anak ini mulai bisa menerima lelaki lain selain ayahnya? Dia terhenyak oleh pikiran tersebut dan cepat-cepat mengusirnya sebelum melebar kemana-mana. "Kenapa, Mel? Kepalamu pusing?" Matteo melihat gerak-gerik tidak biasa dari kaca spion. "Tidak. Sudah, jalan sih, Pak. Nanti Kevin terlambat loh." "Siap, Nyonya," goda Matteo. Melia menekan pelipis. Akhirnya urusan mengantar anak sekolah beres. Sekarang beralih ke urusan pekerjaan. Melia berpindah tempat ke sebelah sopir agar tidak diprotes bosnya karena dianggap sopir benaran. Dia pura-pura asyik memandangi jalan untuk menghindari obrolan. "Mel." Dalam hati Melia mengeluh kenapa si bos tidak ikut hening saja. Demi sopan santun dia menyahut, "Ya, Pak?" "Saya perhatikan kamu lebih banyak diam hari ini? Ada masalah?" tanya Matteo. Lagi-lagi Melia mengeluh dalam hati, kemudian menjawab, "Tidak ada apa-apa kok. Biasa kalau masih pagi saya malas bicara, apalagi belum sampai kantor. Secretary mode switch on at eight o'clock." "Okay. Make sense. Hari ini ada meeting?" "Kebetulan kosong, Pak. Cuma sejak kemarin Pak Usman minta bertemu." "Mau apa dia?" "Entahlah." Hampir saja Melia menambahkan 'hanya dia dan perut buncitnya yang tahu'. "Oh ya, mulai hari ini kosongkan jadwal siang untuk menjemput Kevin." Melia melotot, "Tidak usah, Pak. Dia bukan anak Anda." "Ya, aku tahu. Tapi dia anakmu dan aku sudah berjanji." Matteo tersenyum. Melia mengerucutkan bibir karena bosnya merubah 'saya' menjadi 'aku', "Loh, apa hubungannya?" Lelaki itu hanya melirik sekilas tanpa memberi jawaban. "Sebagai ibunya saya menolak." "Mel—" "Pak, dengan segala hormat, saya sendiri masih bisa mengurus Kevin. Anda tidak usah berusaha terlalu keras untuk mengambil hatinya." Kedua tangan Melia saling remas di pangkuan. "Sebagai atasan memberi perhatian terhadap bawahan pun tidak boleh?" "Sebaiknya tidak." Melia bersikeras. "Kamu takut dibicarakan orang?" Melia melirik, "Sebenarnya apa tujuan Anda? Hanya memperhatikan bawahan? Bawahan Anda banyak, Pak. Ada ribuan. Bagaimana kalau mulai memperhatikan mereka semua, jangan saya saja?" "Ide bagus. Tapi yang setiap hari berada dekat denganku hanya kamu. Dan tidak seperti karyawan lain, hanya kamu yang bersikap jujur, kalau iya bilang iya, kalau tidak bilang tidak. Kurasa tidak ada lagi yang benar-benar bisa kupercaya di kantor." Akhirnya Matteo menggunakan alasan relasi antara bos dan karyawan agar Melia melunak. Alasan tersebut terasa dipaksakan, tapi Melia tidak menentangnya. Seperti ini lebih baik. Dia pun bisa menggunakan alasan Matteo tersebut sebagai senjata jika bosnya kembali melakukan pendekatan. "Lagipula bagaimana lagi caraku menjagamu kalau bukan berada dekat denganmu?" imbuh Matteo. "Hanya sebagai bos dan karyawan!" "Ya." Melia mengatur nafas untuk meredakan kegemasan hatinya. Seantero manusia di lobby gedung kantor curi-curi pandang pada Matteo dan Melia yang terlihat turun bersama dari mobil. Sambil berjalan dengan kepala tertunduk wanita itu memaki-maki dalam hati karena lupa untuk turun duluan sebelum mencapai kantor. Inilah akibatnya! Dalam hitungan menit gosip tentangnya pasti sudah melebar kemana-mana! "Tegakkan kepalamu, Mel. Anggap saja tidak ada orang di sekitar kita" ucap Matteo. "Masalahnya indra penglihatan saya belum kabur, Pak." "Kamu harus belajar ...." Entah bagaimana ceritanya kaki Melia seperti punya pikiran sendiri. Kaki kiri berusaha menjegal kaki kanan. Si pemilik kaki pun terhuyung ke samping, refleks meraih apa pun untuk menjaga keseimbangan. Sialnya yang diraih adalah lengan Matteo. Lelaki itu juga refleks—atau mungkin sengaja—meraih tubuh si sekretaris. Sedetik. Dua detik. Semua orang terpaku melihat adegan receh ala drama korea tersebut. "Oh, s**t ... sorry, Pak," desis Melia. "It's okay." Matteo terlihat tenang padahal dalam hati bersorak senang. Ini kedua kalinya dia berhasil memeluk Melia. Pintu lift eksklusif terbuka. Melia berlari masuk disusul Matteo yang melangkah santai. "Seperti kubilang tadi, kamu harus belajar memfilter keadaan sekitar," ucap Matteo. Wanita itu mengerang putus asa, "Mungkin lebih baik operasi plastik dan ganti identitas."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN