Andrew menatap botol infus yang ada di lantai itu menggelinding sampai ke meja informasi dan berhenti di sana. Ia butuh botol infus itu dengan segera dan sialnya malah seseorang menabraknya.
Sementara Andrew fokus pada botol infus yang ada di lantai itu, Rosa bergegas pergi tanpa bilang maaf terlebih dahulu.
"Hei!" Andrew hanya bisa berteriak satu kata itu saja. Ingin rasanya ia mengejar perempuan yang telah menabraknya yang pergi begitu saja jika ia tak ingat kalau sang istri sedang sangat membutuhkannya saat ini.
Andrew memungut botol infus itu dan bergegas ke kamar Marina. Istrinya itu telah dipindahkan ke ruang pemulihan. Andrew harus membawa botol infus itu sendiri karena perawat yang menangani Marina tiba-tiba pingsan.
Rosa sendiri langsung menuju kamar rawat bibinya. Dilihatnya baik-baik wajah bibinya yang terlihat sangat teduh saat tertidur seperti itu. Rosa menghela napas cukup berat. Bayangan masa lalu kembali melambai di benaknya.
"Aaa...nak... sial! Aaa ... nak sial!" Rosa dikelingi teman-teman sekolah dasarnya yang sedang bernyanyi mengejeknya. Ia tak tahu kenapa teman-temannya itu mengejeknya seperti itu. Tapi yang jelas d**a Rosa terasa sangat sakit. Ia sedih dan ingin menangis.
"Pergi! Pergi!" Rosa mengusir teman-temannya yang menertawakannya itu. Ia pun dengan segera berlari ketika ada celah untuknya pergi dari lingkarang teman-temannya.
Sepanjang perjalanan pulang, air mata Rosa tak mau berhenti mengalir. Ia kesal dan terluka. Umurnya baru sepuluh tahun saat itu.
"Ibu ..." panggil lirih Rosa sembari memandang ke arah langit saat ia beristirahat di bawah pohon.
Rosa kecil merindukan ibunya. Ia tak tahu bagaimana rasanya dekapan sang ibu karena sejak ia lahir ibunya telah meninggal dunia. Rosa diasuh sang ayah tapi itupun hanya sampai usia Rosa lima tahun. Ayah Rosa mati kecelakaan pesawat. Lalu nenek Rosa merawat Rosa. Sejak neneknya merawatnya, sang nenek sering sakit-sakitan dan paman serta om Rosa bilang itu karena nenek Rosa memilih merawat Rosa dan tak mau menyerahkannya ke panti asuhan saja.
Dan bulan lalu nenek Rosa meninggal. Keluarga besar Rosa kecuali bibinya mencap Rosa sebsgai anak sial. Karena siapapun yang tinggal dan merawat dirinya akan tertimpa sial. Dan sial yang paling sial itu adalah kematian.
Tak ada yang mau merawat Rosa. Hasil rapat keluarga memutuskan kalau Rosa akan dikirim ke panti asuhan saja, tapi hal itu tak jadi karena sang bibi mengatakan kalau Rosa akan ia rawat.
"Bibi gak takut kalau Rosa akan menjadi sial untuk bibi?" tanya Rosa polos saat Anda dan Rosa memutuskan ke kota Jakarta, meninggalkan kampung halaman nenek Rosa.
"Semua yang terjadi itu sudah takdir, Rosa. Berhenti menganggap bahwa kamu anak sial," kata bibi Anda. Untuk pertama kalinya Rosa lega karena selain neneknya yang tak pernah menganggapnya sial, bibinya juga.
"Rosa sangat sayang ke bibi," kata Rosa seraya memeluk Anda yang balas memeluknya.
Rosa kecil bahagia tinggal dengan keluarga bibinya. Tapi baru satu bulan Rosa tinggal di sana, bibi dan suaminya terus bertengkar dan Rosa tak tahu kenapa.
Rosa keluar kamar dan berusaha melakukan perleraian setiap kali mereka berdua bertengkar. Tapi, hal itu akan terus terjadi dan terjadi lagi. Belakangan Rosa tahu kalau mereka bertengkar karena perkara anak. Anda yang meminta suaminya menikah lagi karena merasa ia tak mampu memberikan seorang putra. Dan Yanto yang tak mau menghadirkan perempuan lain di rumah tangga mereka berdua.
"Berhenti memintaku menikah lagi, Anda!" bentak Yanto pada sang suami. Wajahnya terlihat merah padam dan ia tak mengerti bagaimana ia harus bicara kepada Anda kalau ia tak ingin mendua.
"Kamu butuh anak. Aku tak bisa menemanimu sampai tua. Lihatlah aku, sakit-sakitan!" kata Anda dengan mata merah dan suara yang getir. Melihat begitu besar cinta diantara paman dan bibinya, Rosa berdoa dalam-dalam bahwa semoga setidaknya Tuhan memberikan satu orang pria yang seperti paman dan ayahnya. Mereka hanya mencintai satu orang perempuan dan itu istri mereka.
"Aku tidak butuh anak jika aku tidak bahagia, Anda!" kata Yanto pada Anda.
"Aku tidak bisa bersamamu lagi,"
"Bibi!" panggil Rosa tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh bibinya itu kepada suaminya tersebut. Buru-buru Rosa mendatangi Bibinya, menyentuh lengan sang bibi yang biasanya ia pegang untuk melerai pertengkaran antara bibi dan pamannya. Tapi hari itu, Anda melepaskan tangan Rosa dengan pelan.
Masih dengan keterkejutan di wajah Yanto, Anda kembali bersuara, "ceraikan aku," katanya.
Rosa memandang pamannya dan memerhatikan wajah sang paman baik-baik. Ia bisa melihat kalau sorot mata pamannya terluka dengan apa yang diucapkan oleh istrinya tersebut.
"Apa yang kau katakan, Anda?" tanya Yanto dengan suara getir.
"Aku bukan wanita yang baik untukmu, Mas. Benar kata ibumu, denganku, kau tak akan bisa punya anak,"
"Hentikan!" bentak Yanto. Baru kali ini Rosa melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau pamannya sangatlah marah dengan apa yang baru saja terjadi. Yanto menunjuk ke arah Rosa, "dia anakku! Anakmu! Anak kita! Aku tidak butuh anak yang lain!" kata Yanto.
Rosa tertegun. Hatinya dipenuhi rasa haru luar biasa dengan apa yang dikatakan oleh pamannya. Tapi bibinya bersikukuh maju ke arah suaminya tersebut.
"Jika kamu tak mau menceraikanku, baiklah. Aku yang akan menceraikanmu!" kata Anda.
"Bibi!" pekik Rosa.
"Sudah! Kamu diam saja, Rosa!"
Rosa diam. Ia tak tahu harus berkata apa lagi.
"Kau ingin bercerai dariku?" tanya Yanto pada Anda. Rosa mendongak kaget. Bisa dilihat dengan sangat jelas, ada sorot mata kekecewaan dan pasrah di kedua mata pamannya tersebut. "Baiklah. Anda Mutiara Hasan, malam ini aku jatuhkan talak untukmu," kata paman Rosa.
"Paman ...." panggil Rosa lirih.
Pamannya tak menjawab sama sekali. Malam itu Rosa melihat dua orang yang berjasa di hidupnya hancur. Malam itu adalah malam terakhir ia melihat pamannya. Pamannya tak pernah pulang ke rumah mereka lagi. Kabar perpisahan dan perceraian antara bibinya dan pamannya sampai ke telinga dua saudara yang lain bibinya yang juga masih paman om Rosa.
"Apakah ada surat dari pengadilan agama untukmu?" tanya om Ardi pada bibi Anda kala ia berkunjung dari dinas. Bibi Anda menggeleng. "Itu berarti dia belum menceraikanmu," lanjut om Ardi lagi.
"Ia ingin membuatku terpukul, Di. Aku sangat tahu sifat Yanto. Dia memang sudah menceraikanku tapi tak sepenuhnya melepaskanku," kata bibi Anda. "Biarlah. Aku akan menunggu dengan sabar. Yang aku harapkan ia segera bertemu wanita lain dan menikah,"
"Kau sungguh gila, Anda!"
"Kau hanya tak tahu cinta itu apa Ardi. Kau menikahi istrimu yang dokter dan sangat kaya itu pasti hanya karena harkat dan martabat kalian yang sama, kan?" sindir Anda.
Selanjutnya Rosa tak mau menguping dengar pembicaraan antara bibi dan omnya. Ia menutup kamarnya rapat-rapat.
Berita bahwa bibi dan pamannya resmi bercerai sudah beredar. Anda sering mendapatkan telepon dari para pria yang mengagumi kecantikannya. Karena merasa risih, Anda pun mengatakan bahwa ia masih bersuami karena surat dari pengadilan belum turun.
Keesokan harinya, seseorang menelepon dan kebetulan Anda mengangkatnya. Entah apa yang dikatakan oleh penelepon di seberang sana hingga Rosa merasa ia harus mendekat ketika diamatinya dengan baik-baik kalau bibinya gemetaran.
"Bibi ..." Anda hampir jatuh, tapi dengan sigap Rosa menangkap tubuhnya. Lalu setelah itu Rosa menggantikan Anda mengangkat teleponnya.
[Bagaimana, bu? Bisa ibu datang ke sini untuk mengenali jenazah?]
Suara di seberang sangat membuat Rosa kaget.
[Je-Jenazah?] tanya ulang Rosa dengan gugup.
[Iya, bu. Identitas di tubuh beliau yang kami temukan bernama bapak Muhammad Yanto,]
Rosa hampir jatuh juga jika ia tak mengingat dengan baik kalau ada Anda yang harus ia pegang dengan seksama.
Sore hari itu Rosa dan Anda memastikan ke pihak rumah sakit soal kematian Yanto yang katanya kecelakaan luka bakar yang didapat dari kebakaran gedung. Mereka datang untuk mengenali jenazah dan Anda pingsan saat mengenali wajah suaminya tersebut.
"Seharusnya aku tak minta cerai dengannya, kalau sudah cerai mati begini, bagaimana aku bisa hidup dengan baik?" isak Anda pada Rosa saat mereka mengurus berkas-berkas kematian Yanto dan dana pensiun yang diterima oleh Anda sebagai istri pengabdi negara.
Rosa menangis saat mengingat dengan seksama kejadian dia masa lalu itu. Tak ingin membangunkan bibinya dengan suara tangisannya itu, Rosa bangkit dari duduknya dan keluar kamar rawat sang bibi. Di luar, Rosa menangis kembali dan tanpa sadar seseorang mendatagi dirinya.
"Rosa?" panggil seorang wanita. Rosa mengangkat wajahnya dan seketika itu pula ia kaget melihat wajah Andrew dan juga Marina di dekatnya. Seuntai senyum tercetak jelas di wajah Marina. Kelihatan sekali kalau ia senang bertemu dengan sahabatnya .... Rosa.