Prolog
Entah sudah ke berapa kali gadis berambut hitam gelap dengan dikuncir kuda itu menguap. Apalagi kini dirinya duduk di bagian paling belakang, di pojok dekat AC dimana anginnya semriwing seolah menyuruhnya untuk segera memejamkan mata. Bola matanya sudah berair, berulang kali ia ‘mengucek’nya. Gadis bernama Rayya itu melihat ke sekelilingnya, pada teman-temannya yang kebanyakan justru terlihat segar. Kecuali para cowok yang kebanyakan tampak ogah-ogahan belajar.
Hanya di kelas inilah para cowok nggak bersemangat belajar, apalagi jika ada satu pusat perhatian yang membuat para perempuan di dalam kelas tak berkutik. Siapa lagi kalau bukan dosen muda nan tampan yaitu Pak Bima.
Dosen yang mengajar mata kuliah Teknologi Farmasi itu masih berumur dua puluh tujuh tahun. Wajahnya tampan, usianya masih muda, dosen pula. Wanita mana yang tidak klepek-klepek? Kecuali Rayya tentunya. Karena hanya Rayya yang tahu siapa Pak Bima sebenarnya.
“ Padahal kak Naysa cemburuan, sehari jadi gue pasti dia nggak kuat deh,” gumam Rayya pada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian Pak Bima mengakhiri pertemuan hari itu. Pria itu sempat melirik ke arah Rayya tapi gadis itu tak menyadarinya.
Rayya sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas. Di dalam pikirannya saat ini hanyalah ia ingin segera makan ayam penyet pedas di kantin kampusnya. Jam segini pasti udah pada antri, sial memang jika selesai mata kuliah tepat di jam makan siang.
“ Makan sekarang?” tanya Gisel—salah satu teman Rayya sejak semester satu. Tidak. Sejak Ospek malah karena mereka ternyata satu kelompok dan sampai saat ini selalu menyamakan jadwal mata kuliah. Biasanya tepat sehari sebelum pengisian KRS alias kartu rencana study, Gisel akan menginap di rumah Rayya dan mengisi jadwal bersama. Tentu mereka harus rebutan dengan sekian ratus mahasiswa lainnya.
“ Iyalah. Lo nggak inget jam satu kita ada praktek resep?”
Gisel menepuk jidatnya dengan frustasi. “ Kenapa sih praktek resep tuh lama banget? Bisa tiga jam sendiri praktek doang.”
“ Dan sayangnya kita kebagian jam siang, jadilah pulangnya sore. Gara-gara lo!” Rasanya Rayya masih ingin terus menyalahkan Gisel yang telat mengisi praktikum di jam pagi. Dan menyebalkan karena dirinya terlalu setia kawan dan tak tega meninggalkan Gisel jika mereka pisah kelas. Karena Gisel paling ‘oon’ soal mata kuliah berbau resep dan obat, padahal mereka kuliah jurusan Farmasi tapi bisa-bisanya dia paling tidak menguasai mata kuliah dasar itu.
Gisel malah tersenyum senang. “ Lo nggak boleh gitu. ini hari pertama praktek, pasti nggak akan lama kok. Janji ntar gue traktir boba.”
“ Diabetes gue minum boba terus. Gue mau cheesepokki di Lawson pokoknya,” ancam Rayya.
“ Iya deh iya. Kita nongkrong sepuasnya di Lawson. Lo makan apa aja gue traktir,” balas Gisel yang memang uangnya tak berseri itu. Tepatnya uang orang tuanya yang memiliki beberapa cabang apotek di Jakarta. Ya, jadi karena itulah dia merasa ‘kecemplung’ di dunia Farmasi ini. Kelak ia yang akan meneruskan usaha kedua orang tuanya. Kalau ia tidak mengerti dengan bisnisnya, yang ada orang tuanya nggak akan mempercayainya. Padahal ternyata seberat ini kuliah di jurusan yang tak ia minati. Tapi lihat, ia bisa bertahan hingga semester tiga ini. Hebat, kan?
“ Oke, deal! Gue bisa pesen sepuas gue.”
Sayangnya hari itu tak berjalan semulus yang Rayya dan Gisel inginkan. Karena praktikum resep yang meskipun awal pertemuan sudah membuat begitu banyak rencana. Termasuk pembagian kelompok yang diurutkan sesuai absen dan kuis! Yang benar saja, hari pertama praktikum sudah dikasih kuis. Meskipun soal-soalnya termasuk mudah karena menyangkut teori dari praktikum itu sendiri, tetap saja... ini bukan first impression yang bagus. Ditambah asisten dosennya yang pada songong abis.
“ Pokoknya gue mau odengnya double,” ucap Rayya ketika ia dan Gisel akhirnya keluar dari kampus dan hanya perlu berjalan kaki menuju salah satu minimarket kebanggaan kampus mereka itu. Selain menunya banyak, harganya pun kantong mahasiswa banget. Tentu saja makanannya juga enak-enak.
“ Triple juga boleh,” ucap Gisel yang tak bersemangat. “ Eh eh... itu kakak lo, kan?” Ia sampai harus menarik tangan Rayya ketika mereka akan masuk ke Lawson dan melihat seorang wanita yang begitu ia kenal. Tentu karena beberapa kali ia mampir ke rumah Rayya, jadi jelas ia kenal dengan keluarganya. “ Dia nggak sama pak Bima, kan? Males banget gue kalo nongkrong ketemu dosen, ya walaupun dosennya ganteng.”
Rayya sampai memicingkan matanya, memastikan jika penglihatannya benar. Gadis itu mengangguk. Ia juga kenal pria di samping kakaknya karena beberapa kali pernah melihatnya di layar ponsel sang kakak. Tentu tanpa sepengetahuan kakaknya.
“ Dia selingkuh lagi?” tebak Rayya saat melihat Naysa—kakaknya Rayya menyender begitu lengket ke pria di sebelahnya. Ia juga tahu riwayat hubungan Naysa dan Pak Bima. Tapi seperti halnya Rayya, ia hanya menutup mulut. Tak mau ikut campur meskipun menurut mereka hal ini sangat salah.
“ Masih pria yang sama kok.”
“ Lo nggak mau kasih tau pak Bima aja gitu? Kasian ih! Kakak lo nggak bersyukur banget sih.”
Rayya mengedikkan bahunya. “ Gue nggak mau ikut campur. Lo tahu hubungan gue dan kakak gue juga nggak baik. Udah ah! Gue nggak mood.” Ia langsung berbalik.
“ Serius, Ray. Kasian pak Bima ya? Udah ganteng. Pinter, dosen, eh malah diselingkuhin.” Gisel langsung menyusul Rayya. “ Kalo gue pacaran sama cowok kayak pak Bima mah, gue sujud syukur deh di depan kampus kalau perlu.”
Tanpa Rayya dan Naysa ketahui, seseorang tengah memperhatikan wanita yang tengah mereka bicarakan. Pria itu hanya diam, menatap ke si wanita yang terlihat sedang tertawa sembari menggandeng pria lain. Ia bahkan harus memejamkan matanya, menahan emosi ketika pria di sebelah wanita itu mencium pipi si wanita sekilas. “ Aku ikutin permainanmu, Nay.”