Part 12 - Si Kembar Sakit
Sepulang dari apotek. Raisa langsung pulang ke rumah. Setelah itu ia langsung memberikan obat pada si kembar. Raisa tertengun di ruang kerja rumahnya.
"Semalem kenapa Riyaj beda ya, sama aku. Aku cuma takut dia sakit lagi. Gavyn sama Davyn, kalau sakit kompak banget. Enggak ke rasa usia mereka sekarang lima tahun. Rasanya baru kemarin aku nikah sama Riyan. Tinggal di Paris. Hamil si kembar. Terus lahiran, ya alAllah waktu begitu cepat," oceh Raisa ngomong sendiri.
"Raisa!" Seseorang memanggilnya. Raisa langsung berjalan menuju arah suara. Ternyata orang yang memanggilnya ada di ruang tamu.
"Mama Diandra. Sama siapa ke sini?" tanya Raisa.
"Sendirian. Kamu libur hari ini?" Raisa balik nanya.
"Iya mah," jawab Raisa singkat.
"Pantes aja Gavyn sama Davyn ga ke rumah. Katanya mereka sakit, ya? Mama sengaja ke sini buat nengok mereka," ujar Diandra.
"Udah enggak apa-apa kok, mah. Demam biasa. Mereka masih masa pertumbuhan soalnya," jelas Raisa.
"Mama lupa berhadapan sama dokter hhehe," ceplos Diandra.
"Mama bisa aja."
Diandra celingukan kanan kiri. Seperti mencari seseorang. "Riyan mana?"
"Riyan hri ini lembur," sahut Raisa sedikit malas.
"Lembur? Ini kan weekend." kening Diandra berkerut aneh.
"Ga tahu mah. Riyan semalam bilangnya gitu."
"Kalian kenapa?" selidik Diandra.
"Enggak apa-apa kok, mah. Memangnya kenapa?" Raisa balik nanya.
Diandra menarik nafas berat. "Mama lihat kalian kayak hidup masing-masing. Mungkin, kalau dilihat hampir setahun kalian enggak kelihatan bersama. Ya, mungkin di rumah kelihatan bersama, tapi kemesraan itu ga ada. Mama enggak lihat Riyanbdan Raisa yang dulu. Mama justru merasa asing sama kalian," komentar Diandra panjang lebar.
"Masa sih mah?"
"Sayang. Dalam satu keluarga itu keharmonisan itu diperlukan. Coba deh bangun lagi kemesraan kalian berdua. Coba besok kamu ambil libur lagi. Riyan libur, kan? Kalian refresing aja. Biar si kembar mama yang jaga," saran Diandra.
Ada betulnya saran dari Diandra ini. Raisa memang perlu berdua sama Riyan. Pasalnya, memang sudah hampir setahun. Raisa tidak bermanja pada Riyan. Begitupun sebaliknya. Raisa juga kepikiran dengan kondisi Riyan. Soalnya kata dokter Remon Riyan sudah lama tidak periksa pada dokter Remon. Malah kondisi terakhirnya Riyan tidak baik-baik saja.
Pikiran Raisa malah melambung tinggi pada saat pertama Riyan kambuh. Saat itu Aliya dan supirnya yang membawa Riyan ke klinik Medical Sehat.
Klinik Apotek Medical Sehat.
"Kak! Kak Raisa! Tolong bantu Aliya. Kak! Kak Raisa! Di mobil kak Riyan lagi kesakitan," rengek Aliya meminta bantuan. Aliya langsung masuk apotek, saat tiba di depan apotek. Untungnya apotek belum di kunci. Karena Raisa masih ada didalam. Sebetulnya waktu telah menunjukan pukul sebelas malam. Apotek dan klinik sudah tutup. Dokter jaga UGD juga sudah pulang, tapi Raisa juga tidak mungkin membiarkan Riyan terlantar begitu saja. Riyan butuh pertolongan. Kondisinya sangat gawat darurat sekarang ini.
"Oke. Oke bawa Riyan ke dalam. Bawa Riyan ke UGD," perintah Raisa.
Riyan digontong Aliya, pak Maman dan Raisa menuju UGD. Raisa sangat terkejut melihat Riyan yang begitu mengkhawatirkan. Pikir Raisa, mungkin kondisi Riyan memburuk. Pasti ia bandel lagi tidak minum obat. Atau stress lagi.
UGD Apotek Klinik Medical Sehat.
Raisa panik. Ia bingung harus berbuat apa? Pasalnya, ia hanya sendirian sekarang di UGD. Raisa tadinya mau mengerjakan skripsi sebentar di apote, tapi malah kebablasan sampai jam sebelas malam. Pas mau pulang. Saat Raisa sedang beres-beres. Aliya datang dengan panik. Aliya meminta tolong pada Raisa. Karena kondisi Riyan yang sangat mengkhawatirkan. Raisa juga tidak mungkin membiarkan Riyan tanpa pertolongan. Raisa minta Aliya dan pak Maman untuk tetap berada di luar UGD. Raisa ingin konsentrasi saja memeriksa Riyan. Namun, Raisa justru malah bingung dan gemeteran. Apa yang harus ia lakukan?
"Ya ampun, Ian. Kenapa kamu ga ke rumah sakit aja sih? Ini pasti serangan jantung, Ian! Ini engga mungkin kambuh biasa," ucap Raisa sangat panik. Dugaan sementara Raisa dari gejala yang Raisa lihat dari Riyan adalah.. Riyan itu kena serangan jantung.
"Hhhhh .. Aku.. aku.. hhhhhh.." Riyan sudah tidak sanggup berbicara lagi. Sesaknya sudah semakin parah. Riyan melemas. Kegelapan mulai menjemputnya. Dan Riyan pun pingsan. Hal itu membuat Raisa sangat panik. Ini adalah terapi shock pertama Raisa. Nanti saat Raisa jadi dokter. Ia akan menghadapi hal ini lebih banyak. Bahkan lebih parah dari ini.
"Riyan! Riyan! Sadar Riyan! Riyan!" Raisa mengguncang-guncangkan tubuh Riyan yang sudah pingsan. Raisa memeriksa memeriksa Riyan dengan stetoskopnya. Detak jantung Riyan tidak karuan. Kadang cepat, kadang juga melemah. Raisa langsung memberikan Riyan oksigen. Raisa tidak berpikir panjang lagi. Ia langsung telepon dokter Rina. Siapa tahu dokter Rina bisa membantunya.
"Hallo mah.. mama di mana? Ada pasien nih mah," ujar Raisa saat dokter Rina menerima telepon darinya.
"Mama lagi di jalan sih. Mau pulang. Oke mama puter balik dulu ke apotek. Paling sepuluh menit lagi, mama sampai. Apotek sama klinik sudah tutup bukan? Memangnya pasiennya sakit apa? Kok kamu belum pulang dari apotek jam segini?" berondong pertanyaan dari dokter Rina, ia lontarkan.
"Ini loh mah. Riyan. Yang sakit jantung itu. Denyut jantungnya kenceng banget. Kadang melemah juga, Raisa harus gimana nih?" tanya Raisa. Ternyata kepanikan membuyarkan semua teori kedokteran yang selama ini Raisa pelajari, jadi buyar. Raisa sangat buntu sekali. Padahal ia adalah mahasiswa kedokteran paling pintar. Karena teori dan praktek adalah dua hal yang berbeda. Pinter teori. Belum tentu pintar praktek juga.
"Tenang, Rai. Tenang! Udah kamu kasih oksigen?" tanya dokter Rina. Ia tahu, kalau saat ini Raisa pasti sangat tegang dan panik. Hal itu memang tidak akan membuat Raisa berkonsentrasi. Kuncinya sekarang adalah tenang. Agar pikiran lebih jernih. Dan bisa berkonsentrasi.
"Udah mah, tapi masih belum ada perkembangan. Aku harus gimana?" tanya Raisa. Mendadak ia benar-benar sangat buntu karena panik. Ini pertama kalinya Raisa menangani pasien serangan jantung sendiri. Sebelumnya Raisa selalu ditemani dokter ahlinya. Jadi tidak begitu panik. Kalau ini kan beda. Semua terjadi begitu cepat. Dan hanya Raisa sendiri yang menangani Riyan.
"Oke. Gini aja. Kamu harus memperhatikan setiap perkembangannya. Siapa tahu Riyan bukan kambuh biasa. Takutnya ini serangan jantung. Kalo setelah dikasih penguat jantung. Jantungnya makin lemah atau bahkan berhenti. Lakukan CPR atau RJP ya, sayang. Kamu pasti bisa," dokter Rina memberikan instruksi pada Raisa.
"Iya mah, dugaan Raisa juga gitu. Riyan pasti kena serangan jantung, tapi mah, sekarang Riyan pingsan," terang Raisa.
"Kamu jangan panik. Kasih Riyan Digoxinum aja, ya. Inget suntiknya subkutan, ya. Dibawah diagfragma Riyan," perintah dokter Rina kemudian.
"Dibawah d**a itu ya mah?" tanya Raisa mencoba konsentrasi pada setiap instruksi yang dokter Rina berikan. Padahal dulu juga Raisa pernah diajarkan di kampusnya. Tentang skenario pertolongan pertama pada serangan jantung. Namun, Raisa malah lupa semua. Panik memang selalu membuat orangnya sulit untuk berkonsentrasi.
"Iya sayang. Kalo sampai ga ada perkembangan. Detak jantungnya pasti akan berhenti. Segera hubungi ambulance dan kamu lakukan CPR atau RJP. Ingat tekanannya ga boleh terlalu keras. Kalau terlalu keras, bisa-bisa tulang rusuk Riyan patah," dokter Rina terus memberikan instruksi pada Raisa, yang perlahan mulai konsentrasi.
"Iya ma siap. Udah dulu, ya. Raisa mau lakukan apa yang mama suruh tadi. Mama harus cepet ke apotek, Raisa tunggu!" Raisa menutup teleponnya. Buru-buru ia melakukan langkah demi langkah yang telah di intruksikan dokter Rina tadi.
"Riyan, Riyan, kamu harus bertahan," teriak Raisa di telinga Riyan. Yang sudah pasti Riyan tidak akan mendengarkan ucapan Raisa.
Raisa kembali mengecek detak jantung Riyan dengan stetoskop.
Ya ampun. Denyut jantungnya berhenti. Aku harus melakukan CPR atau RJP, tapi itu artinya. Aku harus cium Riyan dong. Aduh Raisa! Masih sempet-sempetnya kamu mikir kayak gitu! Masa bodo yang penting Riyan selamat, gerutu Raisa dalam hati. Otak dan hati Raisa saling bertengkar.
Raisa langsung melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru) atau CPR (Resusitasi Kardiopukoner).
Hal pertama melakukan RJP. Yaitu buka jalan nafas. Raisa ingat, kalo pasien tidak sadar, otot-otot lemas, maka lidah/epiglotis akan menyumbat saluran napas. Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka mengangkat rahang bawah akan mangangkat lidah menjauhi kerongkongan, sehingga akan membuka jalan napas. Manuver tengadah kepala/topang dagu di gunakan untuk membuka jalan napas. Kemudian mulut dibuka dengan jari (Cross finger), kemudian jika ada benda asing, cairan muntah dikeluarkan dengan jari telunjuk yang dibengkokan.
Kedua, bantuan pernapasan mulut kemulut. Raisa rada canggung bagian ini. Tapi ini harus ia lakukan. Dengan tetap membuka jalan nafas, Raisa memijit hidung Riyan dengan ibu jari dan jari telunjuk sampai tertutup, tarik napas dalam, tutup sekitar mulut Riyan dengan bibir. Kemudian hembuskan dua kali napas Raisa secara penuh sehingga d**a Riyan mengembang dengan waktu masing-masing 1,5-2 detik. Setiap hembusan Raisa harus menghebuskan napas.
Ketiga, kompresi d**a luar. Tentukan lokasi untuk posisi tangan dengan jari telunjuk dan tengah susuri mulai dari iga paling bwah ke tengah/tulang d**a (Pertemuan iga bawah dengan tulang d**a dengan jari tengah, sebelahnya jari telunjuk, tangan lainnya di lsamping jari telunjuk ini) kemudian tangan yang pertama diangkat dan diletakan di atas tangan yang berada pada tulang d**a sehingga kedua tangan dalam posisi sejajar. Lalu Raisa melakukan kompresi d**a luar. Lakukan kompresi lima belas kali dengan kecepatan 800-100 kali/menit, buka jalan napas dan berikan dua kali napas buatan. Posisi tangan yang tepat. Kemudian mulai lima belas kompresi. Lakukan seperti ini empat kali sikus (Lima belas kompresi dan dua kali napas buatan).
Raisa kembali memeriksa jantung Riyan dengan menggunakan stetoskopnya. "Alhamdulillah detak jantungnya kembali," ucap Raisa lega.
"Gimana, Rai?" tanya dokter Rina saat masuk UGD.
"Tadi denyut jantungnya sempet berhenti, mah. Untungnya Raisa, uduh melakukan CPR atau RJP. Sesuai instruksi dari mama," jelas Raisa.
"Ya udah sekarang bawa dia ke rumah sakit secepatnya. Bilang ke walinya. Kamu tenang nanti kita bareng kesananya pake mobil mama," perintah dokter Rina.
Raisa langsung keluar untuk menemui Aliya. Dan menjelesakan semua. Agar Riyan harus segera di bawa ke rumah sakit.
"Kita harus segera bawa Riyan ke rumah sakit," ucapnya pada Aliya. Sedari tadi Aliya harap-harap cemas menunggu kabar dari Raisa. Mengenai kondisi kakaknya.
"Tapi kakak engga apa-apa kan kak Raisa?" tanya Aliya panik.
"Kita akan lakukan yang terbaik buat kakak kamu. Tadi jantung kakak kamu sempat berhenti sebentar. Jadi kita harus bawa Riyan ke rumah sakit. Untuk pemeriksaan lebih lanjut sama dokter ahlinya. Kamu ikut sama kita aja ke rumah sakit," jelas Raisa dan mengajak Aliya agar cepat membawa Riyan segera ke rumah sakit.
Riyan di gotong pak Maman, Aliya dan Raisa masuk ke mobil dokter Rina. Pak Maman di suruh Aliya untuk pulang ke rumah. Sementara dokter Rina menyetir, Aliya depan disamping dokter Rina. Riyan berbaring di belakang bersama Raisa. Kepala Riyan di letakan pangkuan Raisa. Raisa segera membuat posisi Riyan senyaman mungkin. Tadi sebelum di masukan ke dalam mobil. Dokter Rina sempat memberikan Riyan infusan. Sekarang di punggung tangan Riyan sudah tertancap sebuah jarum infusan. Yang Mengubungkannya dengan ringer lactat dari labu infusannya.
"Kamu cek setiap perkembangannya. Jangan suntikan Digoxinum lagi. Takutnya dia ke racunan Digoxinum," perintah dokter Rina.
"Denyutnya lemah banget mah," lapor Raisa saat mengecek detak jantung Riyan.
"Naikan tekanan oksigennya, Rai!" instruksi dari dokter Rina. Ia juga harus konsentrasi pada jalan, karena dokter Rina sedang menyetir.
Tiba-tiba Riyan membuka matanya. Aliya melihat Riyan membuka matanya. "Kak! Kak Raisa liat kak Riyan siuman. Kak, harus kuat ya. Kak Riyan pasti kuat!" Aliya memberikan semangat pada Riyan yang masih sangat lemah.
Riyan seperti berbisik. Raisa mendekatkan daun telinganya ke mulut Riyan. Agar suara Riyan dapat ia dengarkan. Di balik oksigen yang menempel di hidungnya. Riyan berusaha berbicara.
"Ra.. Rai.. hhhh.. Ra.. Raisa.. " desis Riyan sangat lemah.
"Iya, Ian. Kamu mau bicara apa? Lebih baik kamu sekarang harua tenang, ya. Kamu pasti akan baik-baik aja," Raisa menggenggam tangan Riyan yang mendingin. Tangan Riyan dingin seperti es.
"Ra... Rai.. hhhhh.. Rai.. to.. tolong selametin aku.. hhhh tolong aku... hhhh.. Aku... aku.. ga mau.. hhh.. ga mau matin sekarang... hhhh.. tolong aku, Raisa..." bisiknya dalam sesaknya. Tapi Raisa berhasil mendengar permintaan Riyan.
"Iya, Ia . Aku akan berusaha semaksimal mungkin buat nyelametin kamu," ucap Raisa berusaha untui tetap tenang di hadapan Riyan yang lemah. Riyan tersenyum, lalu pingsan.
"Riyan! Riyan!" teriak Raisa sambil mengguncang-guncangkan tubuh Riyan. "Mah, Riyan pingsan lagi," lapor Raisa pada dokter Rina yang sedang konsen menyetir.
"Tenang Rai! Kamu harus tenang, kamu jangan panik, Rai. Perhatikan saja detak jantungnya. Jangan sampai kecolongan. Bentar lagi kita sampai di rumah sakit," perintah dokter Riyan.
Akses dari apotek klinik Medical Sehat. Ke rumah sakit memang sedikit jauh. Butuh waktu tiga puluh menit sampai empat puluh menit, untuk sampai di rumah sakit. Pantas saja apotek klinik Medical Sehat sangat di banjiri pasien. Ya, karena akses ke rumah sakit saja sulit untuk di jangkau. Jadi pertolongan pertama mereka. Pasti langsung ke apotek klinik Medical Sehat.
Riyan, kamu bertahan. Kamu pasti kuat, Ian. Perjuangan kamu engga boleh berhenti sampai di sini. Aku janji akan membantu kamu buat sembuh dari penyakit kamu, Ian. Kamu harus liat adik kamu Aliya, dia masih membutuhkan kamu. Aku yakin kamu kuat. Kamu harus bertahan Riyan. Kamu pasti bisa melawati ini semua. Kamu pasti kuat Riyan. Ayo, Ian! Kamu engga boleh nyerah, gumam Raisa dalam hati.
Raisa terus megenggan tangan Riyan dengan erat. Sambil sesekali ia memeriksa Riyan. Raisa tidak boleh lengah. Raisa harus terus memantau kondisi Riyan. Jantung Riyan harus tetap berdetak. Jika berhenti lagi. Maka Raisa harus melakukan CPR atau RJP lagi pada Riyan. Sebetunya apa yang terjadi? Seningga membuat Riyan sampai kena serangan jantung seperti ini. Pasti ada pemicunya. Raisa terus memikirkan hal itu dalam benaknya.