9. Tugas Pertama

2015 Kata
Sebuah tugas yang Paula sendiri tidak tahu bagaimana itu bisa akan terjadi, sedangkan Jarvis telah menolaknya saat dia benar-benar memohon untuk bekerja di Prazer. Namun, meski tidak tahu Paula tetap menuruti perkataan Dee untuk mengenakan dress sebatas lutut di mana bagian punggung terlihat. Warna merah menyala itu kini telah membuat tubuh kurus Paula terpampang jelas, Dee yang sedari tadi memperhatikan kini membetulkan hiasan bunga mawar di pundak Paula. "Anda cantik, memang Tuan selalu tidak salah pilih." "Salah pilih?" tanya Paula enggan diberi kata-kata yang selalu membuatnya penasaran. Dee hanya tersenyum simpul, dia melihat lagi tatanan rambut yang membuatnya kini benar-benar tampak anggun. Padahal, Paula sendiri enggan mengenakan gaun atau bahkan pakaian menunjukkan lekuk tubuh. Paula yang selalu mengenakan pakaian oversize mulai tertarik pada bagian seksi tubuhnya untuk terlihat. "Dee, kau belum menjawab pertanyaanku!" pekik Paula melihat tangan Dee sangat lihai membetulkan bunga di pundaknya. "Apa saya perlu menjawabnya, Nona? Yang perlu Anda lakukan saat ini hanya… Membuat Tuan tetap mempertahankan Anda." lagi, Dee mengatakan sesuatu yang membuat kepala Paula dipenuhi tanda tanya. Mempertahankan apa? Tidak ada lagi tanya dalam benak Paula karena Dee telah membimbingnya keluar, dia melihat ada seorang pria dengan gaya casual sedang berdiri tepat di depan ruangan. Paula pun tersenyum, hanya sebagai syarat dia menyambut orang lain karena dia termasuk orang baru di Prazer. "Hai, kau sudah siap?" tanya pria yang kini melepas kaca mata hitamnya. Paula termenung, sampai akhirnya tangan Dee sedikit mendorongnya ke arah pria itu. Kemudian pergi begitu saja, kini tinggal Paula yang masih belum bisa memahami pertanyaan pria tersebut. "Maaf, um… Apa yang akan kita lakukan?" "Bersenang-senang, Nona. Mari, ikut denganku." ucap pria itu memberikan lengannya agar Paula melingkarkan tangannya di sana. Walau masih bingung, Paula tetap melakukan apa yang pria itu katakan. Dia melingkarkan tangannya di lengan besar pria mempunyai senyum manis, mereka pun berjalan keluar meninggalkan lantai 3 gedung Prazer. [...] Selamat 30 menit perjalanan, Paula barulah memahami jika pria dengan baju krem tersebut mengajaknya untuk ke acara formal seperti pesta dansa. Kini dia mengikuti ke mana pun pria itu membawanya, termasuk menyambut beberapa tamu yang datang. Hal itu berlangsung selama beberapa menit, tanpa Paula tahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan. Sampai pada akhirnya acara berada di ujung, Paula segera menuju ke meja menyediakan minuman. Dia menenggak bir hingga 2 gelas, sambil mengawasi sekitar jika pria itu mencarinya. "Sebenarnya aku ngapain sih? Dandan cantik begini, gaun mahal, pakai perhiasan juga, buat apa? Nemenin bule itu ke pesta doang? Atau… Apa?" kebiasaan buruk Paula adalah dia selalu mengambil kesimpulan dengan mudah. Setelah 1 jam lamanya berada di pesta, Paula merasakan lelah karena sudah seharian ini dia hanya tidur di halaman kantor polisi, itu saja karena tidak disengaja. Rasa kantuk pun datang, Paula mencari tempat duduk dan bersantai di sana sambil melambaikan tangan ke arah pria yang mengajak ke pesta. Beberapa menit berlalu, Paula masih bisa menahan kantuk hingga pria tersebut datang menemuinya. Paula segera bangkit, dan tiba-tiba saja pria tersebut memeluk pinggang dan mencium pipinya. "Apa yang… Anda lakukan?" Pria itu mengerutkan kening. "Aku? Melakukan apa yang aku mau, dan apa yang seharusnya dilakukan untuk pasangan 'kan?" "Pasangan?" Paula semakin tidak mengerti. "Nona, Anda sudah aku sewa selama 24 jam. Jadi selama itu Anda harus menuruti apa yang aku mau, dan… Tidak ada kata penolakan!" cetus pria yang tetap tersenyum manis kepada Paula. Sejenak memikirkan ucapan pria itu, Paula mengerti apa sebenarnya tugas yang dimaksud oleh Dee. Dia pun kembali mengikuti ke mana pria itu membawanya, dan kali ini ke panggung dansa. Paula tidak mempermasalahkan itu, dan menari termasuk bagian yang harus dikembangkan pada diri Paula. "Kau baru ya di Prazer?" Paula tiba-tiba salah fokus. "Iya, aku… Baru di Prazer." "Pantas, kau… Kurang lihai." ucap pria yang dengan sengaja mengecup pipi Paula lagi. Jujur saja hal itu telah membuat Paula kurang nyaman. "Tolong, Anda harus menjaga kesopanan!" "Hei, Nona. Dee itu sudah menyewakan kau selama 24 jam untukku, dan harganya sangat mahal!" Tidak dapat disangka, Paula berada di lingkaran orang-orang dengan gaya hidup liar. "Iya, aku tau. Tidak masalah jika aku harus menemani Anda selama sehari, tapi… Tolong Anda juga harus bisa menjaga keputusan seseorang." "Keputusan apa yang dimaksud, Nona?" tanya pria itu terlihat santai. "Keputusan untuk Anda tidak berbuat kurang ajar!" ucap Paula menahan diri agar tidak menuangkan perasaan marah. Pria itu menanggapi perkataan Paula dengan senyum penuh maksud. Apa yang terlihat tidak seperti yang seharusnya Paula rasakan, perlahan tubuhnya menjauh. Tetapi, Paula justru mendapat pelukan dari belakang. "Jika kau menghindar, maka aku pastikan kau akan kehilangan pekerjaan di Prazer!" Sejenak mata Paula terpejam, sampai akhirnya dia kembali berdansa. Setiap mata tertuju padanya, dan itu sama sekali tidak membuka perasaan menerima setiap sentuhan itu melayang di punggung. Juga Paula dapat merasakan napas menuju leher, bukan demikian saja yang dirasakan karena pria itu tetap mencium pipi Paula, berulang kali. [...] Tugas dalam keadaan menanggung perasaan khawatir tidaklah mudah, Paula berhasil meminta izin keluar sebentar untuk menemui Efran. Dengan menggunakan jaket agar bisa menyembunyikan pakaian yang sedang melekat, Paula berhasil membawa Efran keluar dari penjaga sekadar menikmati sarapan. "Kamu kok cantik banget sih?" tanya Efran sedari tadi mengamati wajah anaknya. "Ah Papi, baru tau ya kalau anaknya cantik?" goda Paula menyembunyikan kesedihan. Efran tertawa, apa yang dilakukan juga sedang bersembunyi pada keadaan. "Iya, Papi tau kamu cantik. Cuma… Kok tumben masih pagi gini kamu pakai make up?" "Oh, ini. Iya, aku baru beli make up baru Pi. Kalau nunggu harus ke kampus dulu baru pakai kok rasanya lama banget." jawab Paula tetap berusaha tenang. "Keburu penasaran, iya 'kan?" kali ini Efran benar-benar merasa putrinya sangat lucu. "Cuma Papi yang tau isi hatiku." balas Paula sambil membentuk ibu jari dan telunjuk menjadi hati. "Ya udah, makan! Kalau kamu enggak mau makan, Papi habisin sini!" kesekian kali Efran dapat tertawa. Dengan sukarela dan penuh semangat, Paula memberikan porsi sarapan kepada Efran. Saat Ayahnya sedang mengunyah makanan, barulah Paula menangis. Namun, dia segera menghapus air matanya. Betapa kehidupan sedang lain, selayaknya roda tengah menggilas semua kekuatan. Dulu kehebatan Ayahnya benar-benar tidak ada yang menandingi, Efran merupakan orang kepercayaan perusahaan besar. Tetapi, kini hanya menjadi mantan seseorang yang berguna bagi orang lain. Paula pun segera mengikis semua masa lalu tersebut, dan baginya itu sangat mengganggu serta melemahkan. Melihat Efran begitu lahap menyantap hidangan sarapan, Paula rasanya tidak ingin pergi dari sana. Namun, dia menyadari jika seharian ini sedang menjadi milik orang lain. "Pi, besok aku ke sini lagi ya." Efran pun mendongakkan wajah, dia fokus pada wajah cantik putrinya. "Mau ke mana?" "Aku kan harus kuliah sama kerja," Paula terpaksa berbohong. "Besok ada waktu senggang aku ke sini lagi." Seolah tidak rela, Efran bergeming ketika Paula sedang mengenakan tas punggung. "Oh, iya. Hati-hati ya, biar nanti Papi di antar sama petugas." "Besok Papi mau dibawain apa?" tanya Paula sebelum dia pergi. "Apa aja, yang penting kamu ke sini." jawab Efran pasrah, makanan yang semula enak kini menjadi hambar. "Ya udah, nanti aku bawa makanan kesukaan Papi. Aku masak sendiri ya." lalu Paula mengecup pipi kanan dan kiri Efran, meski tidak rela dia harus melakukan ini demi mendapatkan uang. Perasaan Ayah dan anak itu belum bisa merelakan, Efran menahan diri agar tidak terlihat lemah meski sesungguhnya rasa sakit di kepala semakin sering datang. Ini adalah waktunya dia pergi ke dokter. Namun, yang Efran lakukan hanya meminum obat sakit kepala biasa yang selalu dia minta ke petugas kepolisian. [...] Terbawa lagi pada arus yang masih belum dipahami, Paula datang ke rumah besar yang merupakan hunian elit di kawasan Lisbon. Hanya orang-orang tertentu yang bisa membeli rumah tersebut, dan kini Paula harus berada di sana selama sisa jam penyewaan. Saat sudah berada di ruang tamu, Paula dibimbing menuju kamar pribadi Tuan nya. "Maaf, apa aku bisa minta air mineral?" Pelayan mengangguk. "Baik, saya ambil dulu Nona." "Terima kasih." ucap Paula tersenyum miring. Hanya beberapa menit saja, Paula menerima gelas dengan kaki panjang berisi air mineral. Begitu berada di pintu, pelayan wanita itu meninggalkan Paula. Dengan sigap dan cepat Paula menuang obat tidur ke dalam gelasnya. Pintu pun terbuka lebar secara otomatis, Paula berjalan masuk dan mendapati pria itu sedang duduk sambil menyilangkan satu kaki kanannya. "Maaf, apa aku terlambat?" "Tidak, ayo kemari!" ucap pria itu dengan memberi kode agar Paula duduk di sisinya. Paula dengan santai meletakkan gelas di meja. Dia duduk menyerong menghadap ke laki-laki itu, kemudian mengamati tangan yang berada di pahanya. "2 jam lagi waktuku habis." "Ya, aku rasa 2 jam waktu yang pas untuk semuanya 'kan? Diakhiri dengan… Melakukan hal-hal asyik." ucap lelaki itu terasa menjijikkan di telinga Paula. Hal asyik? Paula sendiri tidak paham, dia hanya melihat pria tersebut bangun kemudian berjalan ke arah nakas. Lama, pria itu berdiri di sisi ranjang. Dia menatap sekilas wajah Paula. "Yang kalah harus apa?" tanya pria itu tiba-tiba. Paula bingung, kalah dalam permainan apa? "Terserah Anda." "Baiklah," pria itu membungkuk kemudian membuka laci nakas. "Mari kita mainkan!" Kotak berwarna hitam putih membentuk garis-garis tertentu, Paula mengerutkan kening ketika pria itu meletakkan papan catur di atas meja. "Catur?" "Ya, jika kau kalah… Maka besok kau harus kembali lagi ke sini, dan aku hanya membayar setengah. Bagaimana?" tanya pria itu tampak semangat. Jujur saja Paula merasa aneh. Bukankah sudah sepantasnya pria itu mengajak wanita sewaan untuk tidur? Mengapa justru bermain catur? Benarkah? "Kenapa… Kau bertanya padaku, seharusnya kau bicarakan ini bersama Finn." ucap Paula cepat. "Hei," pria itu menghentikan tangannya menata buah catur. "Jangan sebut namanya sembarangan di luar Prazer apalagi menyangkut perusahaan raksasa mereka!" Paula mengernyitkan kening. "Aku salah?" "Tidak, hanya saja hati-hati. Kau bisa kena dampaknya, dan itu tidak main-main jika kau berbuat salah!" Kata terakhir itu memang sangat kejam, Paula pun diam hanya karena tidak ingin kehilangan pekerjaan di Prazer. Walau menjadi wanita simpanan selama beberapa jam, Paula tidak akan menjadikan ini suatu permasalahan jika memang hanya diajak bermain permainan otak seperti hari ini. "Berapa umurmu?" tanya pria yang kini duduk berhadapan dengan Paula. "25 Tahun." jawab Paula singkat, dia enggan ada percakapan lain. "Wow, masih sangat muda." ucap pria itu mengamati buah catur Paula lebih dulu maju. "Ya." Pria itu sekilas menatap Paula. "Kenapa kau lebih memilih kerja di Prazer? Pasti kau… Mengeluarkan banyak uang." "Aku ke Prazer untuk mencari uang, bukan membuang uang!" tegas Paula sesungguhnya tidak memahami apa yang dikatakan pria tersebut. "Mana mungkin, sangat sulit berada di Prazer. Apalagi wanita muda yang… Belum mempunyai banyak pengalaman sepertimu." Ucapan itu seketika membuka pengaruh besar pada diri Paula, dia menahan tangan pria itu untuk menghentikan permainan sejenak. "Memangnya… Prazer sering menolak orang di sana?" "Bukan menolak, justru mereka dicari banyak orang. Hanya saja… Prazer itu khusus dan… Benar-benar jeli memilih perhiasan." Perhiasan. Persis dengan apa yang dikatakan Dee jika dirinya merupakan perhiasan di Prazer. "Perhiasan. Aku… Tidak mengerti dari penyebutan itu." "Ngomong-ngomong, aku Fallen. Panggil saja aku, Fall." ucap pria bernama Fallen berpindah topik. Paula hanya diam, dia mengamati Fallen hingga menjalankan pion. Kemudian Paula sedikit berpikir, dia mengambil buah catur milik Fallen dengan mudah. "Skak!" Fallen menarik napas sukar. "Sejak Prazer dibuka, di sana hanya pernah mempunyai 2 perhiasan sebelum kau masuk. Dan sudah 3 Tahun tidak ada lagi perhiasan, maka dari itu saat aku dengar Prazer mempunyai perhiasan baru aku langsung mencobanya." "Lalu… Ke mana 2 perhiasan sebelumnya?" tanya Paula penasaran. "Pertama Prazer hanya mempunyai 1 perhiasan, dan itu laki-laki. Lalu seorang gadis," Fallen tampak serius melihat buah catur tersebut. "Mereka berpacaran, dan itu sangat dilarang di Prazer. Seminggu kemudian, entah mereka mati dibunuh. Dan hingga saat ini tidak ada yang tahu siapa pelakunya." "Apa?" bola mata Paula seolah akan mencuat keluar. "Kenapa, kau takut?" Fallen bertanya demikian seolah pembunuhan bukan hal mengerikan. "Mereka dibunuh oleh orang Prazer? Atau… Finn sendiri?" Tiba saja tangan Fallen membungkam mulut Paula. "Kau, bisa membunuhku jika berkata seperti ini lagi! Sialan sekali." Paula panik, setelah Fallen membebaskan barulah dia menatap sekitar kamar. Paula hanya takut jika ada yang sedang mengintai. "Rumah ini sepi 'kan?" "Kau benar-benar takut ya?" Fallen tertawa. "Kenapa… Kau… Tenang begitu?" perasaan Paula kurang nyaman. Tanpa kata lain, Paula pun mempunyai firasat buruk jika Fallen pelaku pembunuhan 2 perhiasan Prazer. Dia pun langsung mengambil tas jinjing juga sepatu hak tinggi, tanpa mengenakan alas Paula lari dari kamar Fallen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN