2 | Perempuan yang Sama

1865 Kata
"Namanya Sabiya Kirana, Pak. Dari Fakultas Ekonomi, univ DS." Romeo mengangguk paham. Sepasang matanya masih menatap lembaran kertas berisi berkas-berkas Sabiya, lengkap dengan proposal yang diajukan sebelum magang. "Sudah berapa lama dia masuk?" "Sekitar dua minggu, Pak." Kembali diam. Menatap lamat-lamat pada foto formal berukuran 4 x 6 itu. Menampilkan perempuan cantik dengan rambut sedikit panjang melebihi bahu. Sedikit bergelombang namun terlihat begitu rapi dan pas dengan bingkai wajah si perempuan. Poni tipis yang menutupi dahi juga menjadi nilai tambah untuk kecantikan Sabiya. Wajah mungil dengan pipi gembul itu semakin membuat kening Romeo berkerut. Jangan lupakan bibir berwarna merah muda yang beberapa saat lalu sempat menempel tanpa sengaja. Menimbulkan debaran jantung Romeo yang tidak terkendali. Mendesis kesal karena bayangan kejadian itu tiba-tiba memenuhi kepalanya. Bahkan saat ini Romeo sampai menggigit bibirnya sendiri. Mencoba menghilangkan rasa manis yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Atau lebih tepatnya, Romeo ingin merasakannya lagi. Memikirkannya saja sudah membuat wajah Romeo memerah dengan debaran jantung yang menggedor di rongga dadanya. Romeo tidak pernah seperti ini. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, baru kali ini ada seorang perempuan yang mampu membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Romeo tidak pernah jatuh cinta. Ya, itu benar adanya. Lelaki yang sudah dianggap mapan dari segala sisi oleh kebanyakan orang ini nyatanya sangat-sangat miskin dalam percintaan. Ada banyak perempuan yang pernah mendekatinya memang. Tapi tidak satu pun membuat perubahan di diri Romeo. Tidak terkecuali anak-anak teman bisnis Ayah. Mereka semua tidak buruk. Memiliki paras cantik di atas rata-rata malah. Berasal dari kalangan atas yang sudah terlampau biasa berpenampilan glamor dan elegan. Sayangnya Romeo tidak pernah tertarik dengan perempuan-perempuan itu. Justru jantungnya berdebar tidak sopan saat berhadapan dengan perempuan aneh yang ditemuinya di tepi jalan. Sedang menjinjing high heelsnya dengan kondisi setengah mabuk. "Ini perempuan yang sama?" tanyanya, melirik ke arah sekretarisnya yang masih setia duduk di hadapannya. "Benar, Pak. Perempuan yang dua hari kemarin memukul kepala Bapak dengan sepatu, dan juga muntah di kemeja Bapak." Romeo memejamkan matanya, menahan kesal. Kalimat itu memang benar adanya. Perempuan bernama Sabiya itu dengan tidak tahu diri sempat memukul kepalanya dengan sepatu hak tinggi yang dijinjingnya. Lebih parahnya lagi, setelah racauan tidak jelas itu, Sabiya menambah kekesalan Romeo dengan muntah sembarangan di kemeja mahalnya. "Kenapa tidak ada yang memberitahu saya soal anak magang ini?" "Maaf, Pak. Tapi Sabiya diterima langsung oleh Bu Sita atas rekomendasi dari Pak Alvaro. IP sementaranya lumayan tinggi dan proposalnya sangat baik." Mengembuskan napas lelah. Jelas bukan itu maksud Romeo. Tidak peduli dengan berapa IP Sabiya atau proposal, atau apapun itu. Romeo hanya kesal karena tidak mengetahui keberadaan Sabiya lebih awal. Membiarkan perempuan itu keluyuran selama dua minggu di kantornya, tanpa pernah bertemu dengannya. Malah keduanya dipertemukan secara tidak sengaja dua hari lalu. Dengan kesan pertama yang jauh dari kata baik. Sangat-sangat buruk malah. Romeo jadi penasaran, bagaimana ekspresi Sabiya saat mengetahui lelaki yang dua hari lalu tidur bersamanya ternyata bosnya di kantor tempatnya magang? Mungkin wajah cantik itu akan terkejut dengan bibir mungil membulat. Sangat-sangat lucu dalam khayalannya. Sampai membuat Romeo tertawa pelan. "Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?" Romeo menghentikan aksi konyolnya itu. Benar-benar tidak menyangka Sabiya bisa membuatnya hampir gila seperti ini. "Tolong panggilkan Sabiya ke ruangan saya!" "Baik, Pak. Saya permisi." Romeo hanya mengangguk sebagai respon. Kembali melanjutkan khayalannya tentang sosok perempuan bertubuh pendek itu. Memikirkannya saja mampu membuat senyuman Romeo terbit di sana. Apalagi saat berhadapan nanti. *** "Permisi, Pak. Saya Sabiya Kirana, mahasiswi universitas DS yang dua minggu lalu ...." Ucapan Sabiya terhenti saat ia mengangkat wajahnya. Menatap tidak percaya pada seorang laki-laki yang saat ini sedang duduk tenang di kursinya. Sembari melipat tangan dan menatapnya datar. Sabiya mengingat jelas sosok di hadapannya. Lelaki yang sama seperti yang memeluknya pagi itu. Dengan kondisi yang berhasil membuat pipi Sabiya memerah. Entah bagaimana berhadapan dengan si lelaki justru membuat ingatan menyebalkan itu hadir. Parahnya lagi, Sabiya hanya mengingat bagian terbangun di pagi hari dan disandingkan d**a bidang itu. Tatapan tajam tapi tenang itu semakin membuat Sabiya salah tingkah. Astaga! Ini jauh lebih memalukan dari yang dibayangkan. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Sepertinya saat ini Sabiya bukan hanya akan mendapat omelan panjang karena kemalasannya dua minggu kemarin. Tapi lebih dari itu. Apalagi mata elang itu tidak juga beralih. Terus memandangi Sabiya dengan sorot tajam. Membuat si perempuan kesulitan bernapas. Jika tahu akan jadi seperti ini, sudah sejak kemarin Sabiya menghilang dari kantor dan enggan kembali lagi. "Sabiya Kirana, kamu tahu apa kesalahan kamu sampai saya repot-repot memanggil kamu ke ruangan saya?" Hah! Mati sudah. Sabiya tidak bisa berlari lagi. Memang harus tetap diam dan hadapi masalah. Jangan berpikir bisa melarikan diri jika yang menjadi lawan adalah manusia tidak tertebak seperti lelaki di hadapannya. Menggigit bibir bawahnya. Sabiya benar-benar gugup saat ini. Hanya mampu menunjukkan ekspresi takut dengan sepasang tangan saling bertautan. Mencoba menghilangkan rasa gugup dan takutnya. Serta getaran ringan yang membuat suasana semakin tidak menyenangkan. Romeo yang terus memperhatikan perempuan itu mendesis kesal dalam hati. Wajah cantik dengan ekspresi takut yang membuat pikiran Romeo melayang jauh. Jangan lupakan bibir merah muda yang tengah di gigit itu. Romeo sampai menahan diri agar tidak beranjak dan kembali merasakan rasa manis itu. Oh ya, satu lagi yang turut andil dalam membuat pikiran Romeo semakin semrawut. Setelan kerja yang dikenakan Sabiya. Kemeja putih yang tertutup blazer berwarna krem dan rok span berwarna senada sebatas paha bawah. Ingin rasanya segera beranjak. Melingkarkan sepasang tangannya di pinggang mungil itu, dan menarik si perempuan ke pelukannya. Kenapa Romeo merindukan aroma manis yang menguar dari si perempuan? Sepertinya setelah ini Romeo harus mandi air dingin untuk mengembalikan akal sehatnya. Romeo berdehem sedikit keras. Mencoba menguasai dirinya sendiri. Menghilangkan pikiran-pikiran tidak benar yang muncul begitu saja di kepalanya. Deheman itu cukup membuat Sabiya tersentak. Perempuan itu mengira Romeo berdehem untuk menggertaknya, agar segera mengakui kesalahan. Sabiya tidak tahu saja jika saat ini Romeo sedang kesulitan mengendalikan dirinya sendiri. "Maaf, Pak. Selama dua minggu magang saya selalu datang terlambat. Kemarin juga saya tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Maaf sekali lagi, Pak. Tapi saya sadar penuh dengan kesalahan saya. Saya akan menerima segala konsekuensi yang Bapak beri sebagai hukuman atas kesalahan saya." Sabiya semakin menunduk dalam. Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tatapan Romeo yang tajam membuat Sabiya seolah menjadi tersangka pembunuhan yang saat ini harus dieksekusi mati, untuk penebusan kesalahannya. Belum lagi wajah tegas yang datar itu, sangat minim ekspresi membuat suasana semakin menakutkan. Sabiya merasa berada di latar tempat film horor. Menjadi satu-satunya orang yang harus mendapat adegan menakutkan paling banyak. Suasana yang tenang tapi mencekam. Dengan tatapan tajam yang menusuk, tapi entah berasal dari mana. Yang jelas tatapan tajam itu berhasil membuat nyali Sabiya mengecil dan terus mengecil. Belum lagi embusan angin yang menyapa lembut tapi mampu membuat bulu kuduknya meremang. Persis seperti di film horor, 'kan? Eh tapi tunggu dulu. Kenapa ada embusan angin yang menerpa wajah Sabiya? Padahal saat ini Sabiya berada di ruangan tertutup dengan kaca yang menggantikan posisi jendela. Tidak ada satu pun celah yang mengizinkan angin memasuki ruangan, sampai berembus lembut di wajahnya. Karena terlalu penasaran Sabiya mengangkat wajahnya. Terkejut bukan main saat mendapati Romeo sudah berada di hadapannya. Sedang menunduk menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Jarak yang terlampau dekat membuat embusan napas si lelaki sampai di wajahnya. Menyapa lembut membuat debaran jantung itu semakin terasa. Baru saja Sabiya akan melangkah mundur, menghindari lelaki itu. Tapi pergerakannya kalah cepat oleh si lelaki yang saat itu sudah menarik pinggangnya mendekat. Membuat posisi keduanya lebih dekat dari sebelumnya. Dengan berani Romeo mengusap pipi Sabiya lembut. Pandangannya menyapu ekspresi ketakutan Sabiya yang semakin nampak jelas di wajah cantik itu. Menelisik seluruh fitur wajah si perempuan. Sembari berkali-kali menggumamkan kalimat memuja dalam hati. "Pak!" Sabiya berniat menyuarakan dengan lantang. Saat tangan si lelaki semakin berani mengusap bibirnya. Tapi hanya mampu mengeluarkan suara tercekat. "Kita tidak ada waktu," ucap Romeo pelan, nyaris berbisik. Sabiya dibuat melongo tidak mengerti dengan kalimat itu. Belum sempat menyuarakan protesnya, Romeo sudah terlebih dahulu mengangkat tubuhnya. Sabiya yang terkejut secara refleks melingkarkan sepasang tangannya di leher Romeo. Menghasilkan pose yang menimbulkan banyak persepsi. Sabiya yang duduk di atas meja kerja, dengan Romeo yang berdiri di hadapannya. Sepasang tangan Sabiya melingkar erat di leher Romeo, dan sepasang tangan Romeo memeluk pinggang Sabiya. Itu berhasil membuat dua jantung di tempat berbeda berdebar tidak karuan. Seolah ingin melompat dari tempatnya. "Pak, saya ...." "Sebentar saja." Romeo tidak membiarkan Sabiya melanjutkan kalimatnya. Romeo melakukan pergerakan yang terlampau cepat sampai Sabiya tidak bisa mencerna itu dengan baik. Yang jelas saat ini, Sabiya bisa merasakan kedua bilah bibir mereka bertemu. Dengan Romeo yang terus bergerak kasar seraya menutup matanya. Seolah menikmati kegiatan yang tidak seharusnya dilakukan, di kali kedua pertemuan mereka. Sabiya refleks meletakkan sepasang tangannya di d**a bidang itu. Menolak saat Romeo membawanya semakin dalam. Tapi pergerakan Romeo yang menuntut membuat Sabiya tidak bisa menolak lagi. Tidak ada pilihan selain menutup matanya erat dan mencoba menikmati kegiatan yang tidak pernah disangkanya itu. Romeo sempat menghentikan pergerakannya saat seseorang membuka pintu ruangan. Lelaki itu tersenyum singkat, kembali menempelkan bilah bibir itu. Kali ini lebih diterima oleh Sabiya. Menikmati rasa manis alami yang tercampur rasa buah dari bibir si perempuan. Membiarkan seseorang mematung di ambang pintu. Menatap tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Hanya mampu berdiri dengan tangan gemetar dan wajah memerah padam. Setelahnya memilih undur diri karena dua orang itu tidak juga menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Romeo baru saja melepaskan Sabiya setelah pintu ruangannya kembali tertutup. Tersenyum puas menatap bibir Sabiya yang sudah memerah dan sedikit bengkak. Mengusapnya lembut membuat si perempuan membuka matanya dengan napas tersengal. Menatap Romeo dengan mata sayunya dan wajah memerah. Romeo malah tersenyum semakin lebar dengan kondisi wajah itu. "Pak," panggil Sabiya lemas. Masih berusaha menetralkan napasnya yang tersengal. Kegiatannya dengan Romeo ternyata berhasil mengikis kadar oksigen di sekitarnya. "Hm?" "Bapak mengambil first kiss saya." Romeo sontak tersenyum dengan kalimat lemas itu. Mengusap pipi Sabiya lembut. Setelahnya menarik Sabiya ke pelukannya. Memberikan waktu lebih untuk Sabiya menetralkan pernapasannya. Romeo cukup paham, Sabiya terlampau gugup saat bertatap muka dengannya. "Itu bukan first kiss kamu," bisiknya lembut. "Maksud, Bapak?" Romeo menggeleng dengan senyuman yang semakin lebar. "Tidak. Tidak ada maksud apa-apa." Keduanya terdiam untuk beberapa saat, masih dengan posisi yang sama. Romeo menunggu si perempuan dengan sabar. Sampai Sabiya kembali tenang. Otaknya memutar ulang kejadian beberapa menit lalu. Sedikit tidak mengerti sebenarnya. Ini jelas bukan Romeo yang biasanya. Romeo tidak pernah tertarik dengan perempuan mana pun. Tapi entahlah, setelah bertemu Sabiya semuanya berubah. Perempuan itu seperti mempunyai pesona tersendiri yang membuat Romeo ingin mengenal lebih dekat. Pesona yang selama ini dicarinya. "Kamu harus menerima hukuman atas kesalahan kamu," ucap Romeo lirih. Sabiya tidak merespon. Masih diam dengan posisi yang sama. "Datang ke apartemen saya pulang nanti, ya?" Sabiya refleks mendorong d**a bidang itu. Memberikan tatapan tajam dengan mata bulatnya. Untuk beberapa saat Romeo hanyut dalam tatapan Sabiya. Matanya begitu indah. Seperti galaxy dengan segala benda langit yang mengisinya. Tapi sedetik kemudian Romeo kembali menyadarkan dirinya. Mengerti maksud tatapan tajam itu. Romeo menghela napas panjang. Mendekatkan wajahnya ke arah si perempuan. Berbisik lembut tepat di telinga Sabiya. "Kamu harus mencuci kemeja saya yang kamu kotori kemarin." Wajah Sabiya memerah padam. Memejamkan matanya erat, mencoba menghilangkan rasa malu yang tiba-tiba muncul. Bodoh! Sabiya benar-benar bodoh! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN