Siang ini, Shilla berencana mengunjungi Revan di kantor. Lagi. Semoga kejadiannya lebih baik dari pengalaman pertama saat itu. Mengantarkan makan siang. Sebenarnya ini keinginan triple J. Sebagai mama yang baik, Shilla menurutinya dengan senang hati.
Shilla seakan melupakan semua yang sebelumnya terjadi. Perubahan Revan, dan beberapa pertanyaan yang masih menjadi misteri. Ia bertekat tak akan memperpanjangnya. Biarlah nanti waktu yang menjawab.
Matahari bersinar cerah. Seolah ikut tersenyum. Mengiringi kemanapun langkah pergi.
Satu masalah terselesaikan. Bukan tak mungkin akan ada masalah-masalah lain yang menanti. Tapi, bukankah ada banyak cara untuk menyelesaikan? Tentu saja. Masalah ada untuk dilalui bukan untuk di hindari. Apalagi di tinggal pergi.
Kata cinta. Kata yang di agung-agungkan hampir semua orang dalam berhubungan. Tapi, tidak pernah Shilla mendengarnya dari Revan. Hanya perkataan manis dan perbuatan romantis saja. Dan sebenarnya Shilla tak mempermasalahkan itu. Namun, kejadian kemarin menyentil hatinya. Berbagai pertanyaan bermunculan dalam benaknya.
Apa Revan mencintaiku?
Atau menikah hanya untuk tanggungjawab?
Dan kembali lagi. Untuk saat ini, Shilla mengenyahkan semua pemikiran itu. Dirinya memilih menjalani hari seperti air sungai. Terus mengalir sesuai takdir.
Kata identik dengan kota Jakarta. Macet. Tiada hari tanpa macet. Huft. Entah kendaraan yang terlalu banyak atau jalan yang kurang mencukupi. Tidak akan selesai jika membahas ini. Perihal macet, biar saja orang-orang yang memang dalam bidangnya menyelesaikan.
Shilla sudah merasa bosan duduk di kursi penumpang. Terobati sedikit oleh obrolan triple J dalam bahasa mereka sendiri. Kenapa mereka tak merasa bosan? Apa semua anak kecil memang seperti ini?
Izinkan dia untuk meneliti 'tingkat kebosanan balita dalam menghadapi macet' 0% kah?
Lupakan.
"Kemalin, abang ketemu sama Lyn loh," ucap Si sulung berbangga diri.
"Lyn capa?" Jayden menanggapi.
"Lyn ituloh. Yang lambutnya coklat," cerita Jevin.
"Oh, yang seling ke taman komplek?" Tanya Jevin setelah mencoba mengingat-ingat.
"Iya," jawab Justin semangat.
"Kalo udah besal, abang mau nikah sama Lyn," celetuk Justin.
Shilla tersedak air liur nya sendiri mendengar perkataan Justin. Menikah? Anak sekecil itu tau apa itu menikah? Siapa yang mengajarinya? Ia dan Revan selalu menjaga perkataan dan perbuatan ketika berada dekat dengan triple J. Sudah jelas, tersangka utama pasti uncle mereka. Cello. Pria itu kan ngebet nikah banget. Ingatkan Shilla untuk memberi pelajaran pada Cello saat bertemu.
"Emang nikah itu apa bang?" Tanya Shilla iseng.
"Nikah itu kaya Mama sama Papa," Justin menjawab lancar.
"Abang tahu nikah dari siapa?"
"Dali Uncle Cello, Mama," tepat sekali dugaan Shilla.
"Abang kan masih kecil, gak boleh ngomong nikah dulu," nasihat Shilla.
"Kenapa mama?"
"Karena nikah itu buat orang dewasa," Shilla menjawab bijak.
Padahal dalam hati mengutuk jawaban yang terlontar itu.
Nikah untuk orang dewasa? Kau sendiri apa Shilla.
"Ya udah. Nanti kalo udah besal, abang mau nikah sama Lyn ya mama."
"Terserah kamu lah," gumam Shilla pelan.
Gedung tinggi yang beberapa bulan lalu di kunjungi mulai tampak. Terpampang megah di antara gedung pencakar langit lain. Shilla selalu saja merasa kagum melihatnya. Padahal Anggara company hampir dua kali lebih besar dari ini.
Menuruni mobil dengan menenteng rantang makan di tangan kanan, dan tangan yang bebas di gunakan menggandeng Jevin. Double J berjalan terlebih dahulu.
"Silahkan masuk, Ibu," kalimat sopan yang kini menyerta. Bukan cacian atau hinaan.
Fake. Karena sudah tahu saja Shilla adalah istri dari bos mereka. Zaman sekarang ya begitu, yang di hormati hanya orang-orang tertentu. Orang kaya terutama.
Ting
Lift berdenting. Mengantarkan ibu dan anak-anak itu pada lantai yang dituju.
"Kalian jangan lari dong. Buka pintunya barengan," pinta Shilla yang di angguki langsung.
"Satu, dua, tiga…," Shilla berkata pelan memberi aba-aba.
"Papa," teriak triple J semangat.
"Pap-," ucap Shilla bersamaan dengan triple J. Tapi tak lengkap. Matanya menatap di hadapannya lurus.
"Eh, hai. Ayo masuk sini," ucap Revan gugup.
Shilla bergeming tak bergerak se inchi pun dari tempatnya.
"Kalian sama Papa yah. Mama pulang dulu," pamit Shilla bergegas pergi.
"Shil, aduh, ini gak seperti yang kamu pikirin." Revan berusaha menghalau langkah Shilla.
"Emang yang aku pikirin gimana?" Tantang Shilla. Walau suaranya sedikit bergetar. Menahan tangis.
"Yang jelas gak gitu Shill a-," ucapan Revan terpotong.
"Kak, dia siapa?" Suara lembut wanita mengalun menambah rasa sesak di d**a.
"Dia i-."
"Udah lah Kak. Aku mau pulang," kali ini Shilla yang memotong perkataan Revan.
Akhirnya Shilla dapat melepaskan diri dan melarikan diri. Terus menunduk menyembunyikan tangis. Istri mana yang tak menangis dan merasakan sakit hati saat melihat suaminya menggenggam dan memasangkan cincin di jari wanita lain? Istri yang tak mencintai suaminya mungkin. Tapi Shilla mencintai Revan. Bisa di bayangkan kan, sakitnya?
Berjalan dan terus berjalan. Tanpa arah, tanpa tujuan. Meratapi nasib yang belakangan ini tak berpihak padanya. Menyalahkan takdir yang menghianatinya. Bukankah takdir itu sudah mutlak? Atau bisa berubah jika kita berusaha merubahnya? Yang pertama memang pasti. Untuk yang kedua, Shilla mencoba memperbaiki semua keadaan yang ada. Lalu apa balasan yang Ia terima? Bukan sebuah penghargaan atau pun piagam. Tapi penghianatan.
Orang-orang menatap Shilla iba. Kebanyakan dari mereka pasti berpikir Shilla mengalami putus cinta. Tidak, ini lebih menyakitkan.
Taman. Tempat pemberhentian kini. Kakinya tak kuat lagi untuk melangkah. Di tambah sedari tadi rasa mual selalu datang. Kelamaan berjalan mungkin menjadi faktor utama. Atau panasnya hari dan angin yang berhembus lumayan kencang.
Di hadapannya duduk sepasang makhluk Tuhan berbeda gender tengah memadu kasih. Kebahagian terpancar. Shilla tersenyum miris. Ia iri. Tak pernah sekalipun merasakan seperti itu. Jalan berdua? Mau taruh dimana triple J? Pasti mereka tidak mau di tinggal.
Di tempat lain, seorang pria mengerang frustasi.
"Emang dia siapa sih Kak?" Tanya wanita yang menjadi titik permasalahan disini.
"Dia itu istri kakak," suaranya menggeram.
“aduh, gimana dong?” khawatir Zahra.
"Papa, Mama mana?" Suara kecil itu menyadarkan Revan bahwa masih ada tiga jagoan kecilnya.
"Mama lagi pergi," ucap Revan. Mendekat triple J yang terduduk di sofa. Sedari tadi, Revan masih di tempat yang sama. Tempat Ia menghalangi Shilla agar tak pergi. Di pintu ruangannya.
Triple J hanya mengangguk-anggukan kepalanya dan mulut bergumam 'o'.
Revan menatap cincin yang belum sempat ia sematkan pada jari manis Zahra - wanita tadi-
"Kak, aku mau pulang aja lah. Takut ganggu waktu antara ayah dan anak. Untuk istri Kakak, aku minta maaf," ucapnya penuh penyesalan.
Seperginya Zahra. Revan seolah di paksa melupakan kepergian Shilla yang terburu. Terus menanggapi celotehan triple J dan menyuapi mereka makan. Makanan yang tadi di bawa Shilla dari rumah tertinggal di meja sekretarisnya. Sekretaris yang saat kejadian itu terjadi entah berada dimana.