Part 7 - Kado Terindah

1279 Kata
Shilla memasuki rumah dengan lesu. Jejak air mata tercetak jelas menghiasi pipi. Setelah menenangkan fikiran, di putuskannya kembali ke rumah. Dirinya mempunyai tanggungjawab. Sebagai ibu dan istri. Pukul 15.26 Rumah masih terlihat sepi. Tak berpenghuni. Kemana suami dan anak-anaknya? Apa pergi dengan wanita tadi? Memikirkan itu, membuat Shilla pusing dan mata kembali berkaca. Menggelengkan kepala pelan berusaha menepis fikiran negatifnya. Bisa saja mereka masih di kantor atau pergi ke rumah neneknya kan? Ya, meyakinkan diri seperti itu lebih baik. Melangkah pelan memasuki kamar dan bersiap mandi. Badannya terasa lengket, efek terlalu berkeringat. Selesai mandi, Shilla menuju dapur. Memasak, tentu saja. Menghidangkan makan malam untuk keluarga kecilnya. Berniat memperbaiki hubungan dengan Revan. Dan meminta penjelasan terlebih dahulu. Tangannya sibuk mengolah bahan makanan. Namun kepalanya terus berfikir. Siapa wanita itu. Dan, kenapa Revan menyematkan cincin di jarinya? Apa dia seorang yang spesial? Shilla merasa minder. Wanita tadi begitu cantik dan anggun. Serasi bila di sandingkan dengan Revan. Sedangkan dia? Ah, sudahlah. Menata makanan pada meja makan telah selesai. Tapi anak dan suaminya belum juga datang. Kemana sebenarnya, mereka? Tidak lupa arah jalan pulang kan? Ini juga sudah malam. Shilla menunggu sampai tak sadar tertidur di sofa ruang tamu. Telah di cobanya menelpon Revan beberapa kali, tapi tak ada satupun yang di jawab. Tok tok tok Dengan segera, Shilla terjaga. Membuka pintu. Tak ada orang. Lalu, siapa yang mengetuk pintu tadi? Ia yakin jelas mendengarnya. Ini bukan teror atau semacamnya kan? Dengan hati tak karuan memutuskan kembali dan mengunci pintu. Masuk kembali dan berniat melanjutkan tidur. Belum juga duduk, terdengar lagi suara ketukan. Shilla makin merinding. Ini seperti adegan di film-film bergendre horor yang pernah ia tonton. Dengan sedikit ragu, Shilla membuka pintu dan melongokkan kepalanya. Hanya ada bunga yang tertangkap mata. Bunga berukuran besar dan indah. Melupakan ketakutan yang sempat melanda, di ambilnya bunga itu dengan senang. Tunggu, dari siapa ini? Kepalanya memutar, mencari pelaku yang mungkin saja masih beraa di sini. Tapi kosong, sepi, dan tak terlihat satu orangpun. Apa ini semacam teror? Shilla takut, hanya dirinya sendiri di rumah. Malam hari, lagi. Dengan rasa takut yang tinggi, Shilla menutup pintu dengan kencang. Tok tok tok Ketukan ketiga. Walau ragu dan takut, di bukanya juga pintu itu. Dirinya mematung. Air mata mulai mengalir jelas. Di sana. Kebahagiaannya berada. "Sulplais!!" teriak tiga suara cadel menyambutnya. Dengan senyum lebar dan masing-masing memegang balon huruf. Berbaris. Jika di baca seperti ini 'HBD'. Triple J tanpa aba-aba memeluk Shilla yang entah sejak kapan berjongkok. Menyamakan tingginya dengan triple J. "Selamat ulang tahun, Mama," ucap mereka kompak. Shilla tak bisa menahan rasa harunya. Dirinya sendiri saja tak mengingat hari bersejarah ini. "Makasih Sayang." "Hm," suara deheman mengembalikan kesadaran ibu dan anak itu. Bahwa masih ada orang lain di sini. Shilla terpaku. Di hadapannya, berdiri suaminya yang membawa kue ulang tahun berangka 23 tahun. Bukan itu yang membuat Shilla terpaku. Sosok di samping suaminya lah penyebabnya. Wanita cantik yang tak melunturkan senyum sedikit pun. Apa Revan akan mengenakan wanita itu sebagai calon istri kedua nya? Tanpa sadar, Shilla menggelengkan kepalanya. "Gantian sama Papa dong," ucap Revan memecah keheningan. Revan tau, istri kecilnya itu tak henti menatap Zahra. Biarkan dulu untuk sementara. Ternyata menyenangkan juga menatap wajah cemburu Shilla. "Selamat ulang tahun, istrinya kakak," ujar Revan kala tepat di hadapan Shilla. Hanya berjarak beberapa cm saja. Tak ada kata manis yang terlontar. "Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekalang juga, sekalang juga, sekalang juga…." Triple J berteriak heboh, berusaha menggapai kue yang di pegang ayahnya. Demi anak-anaknya, Shilla tersenyum. Membuka mulut untuk meniup, belum sempat telaksana. Lilin di hadapannya padam. Siapa lagi jika bukan triple J pelakunya. "Kan yang ulang tahun mama, harusnya mama dong yang tiup," ucap Shilla pura-pura kesal. Triple J hanya menunjukan giginya. "Maaf mama." "Udah malem nih. Kalian udah makan belum?" tanya Shilla. "Udah Mama. Tadi mamam sama Ti Ra," hati Shilla mencelos. Jadi benar mereka tadi menghabiskan waktu bersama. "Yaudah. Tidur yuk," ajak Shilla. "Ma, Zahra mau nginep di sini," ucapan Revan menghentikan langkahnya. Shilla menatap Revan dan mengangkat alisnya. "Kamu belum kenal Zahra, yah?" "Kak Shilla belum kenal aku? Aduh kasihan banget deh aku. Kirain suami kakak itu udah ngenalin aku ke Kakak," cerocos Zahra. Penampilan anggunnya ternyata tak berpengaruh. "Yaudah deh, kenalin nama aku Zahra Amelia Richards. Panggil Zahra aja. Jangan Amelia, karena itu nama Mommy. Dan jangan Richards, selain itu nama cowok, itu juga nama Daddy aku. Aku itu adik sepupu Kak Revan yang paling cantik, pa-." "Hm." Revan berdehem untuk menghentikan suara Zahra yang kelewat panjang. Apa tadi Shilla salah dengar? Adik sepupu? Jadi? Dia cemburu pada orang yang salah? Haduhh, Shilla malu. Mau taruh dimana wajahnya? "Mama," rengek triple J. Sudah lelah dan mengantuk. "Eh, ayo silahkan masuk. Aku tinggal dulu yah," pamitnya. Tanpa sungkan kini. Seperginya Shilla dan triple J, Zahra berbisik pada Revan. "Kaya nya kak Shillanya cemburu deh kak." Revan menahan rasa bahagia yang membuncah mendengar perkataan Zahra. Cemburu? Sedalam itukah Shilla mencintainya? "Eh, nih orang. Main tinggal aja," gerutu Zahra selepas Revan berjalan meninggalkan. Padahal ingin sekali saja Zahra melihat kakak sepupu batunya itu salah tingkah atau sejenisnya. Tapi yang namaya batu, ya tetep batu. Revan membaringkan dirinya. Setelah sebelumnya menunjukan kamar Zahra dan membersihkan diri. Masih setia menunggu kedatangan Shilla. Ingin mengungkapkan sesuatu. Sesuatu yang begitu penting. Dilain sisi, Shilla memilih berlama-lama dalam kamar triple J. Sudah sedari tadi triple J terbang ke alam mimpi. Rasa malunya mengalahkan segala. Apalagi tadi siang ia pergi begitu saja. Dengan berat hati, akhirnya ia langkahkan kakinya menuju kamar utama di rumah ini. Melangkah perlahan. Ceklek Revan menoleh pada pintu yang baru saa di buka. Jantungnya berdisko ria. Disana. Berdiri istri kecilnya. Yang menunduk memainkan kedua kakinya. Shilla gugup. Jelas sekali terlihat. Revan mendekati tubuh Shilla yang berdiri kaku di tengah pintu. Menggapai jemarinya dan mengecupnya lembut. Cukup lama. "Kakak tau, kakak gak romantis. Malah terkesan kaku. Kakak emang gak punya mulut manis dengan sejuta janji. Tapi kakak akan langsung membuktikan. Kalau kamu ragu akan rasa cinta kakak karena jarang terucap, kakak minta maaf. Karena menurut kakak, cinta itu bukan pada ucapan. Tapi perbuatan. Soal kemarin kakak sering pulang telat, itu karena untuk nyelesain pekerjaan lebih cepet. Biar nanti akhir bulan bisa ambil cuti dan kita jalan-jalan. Ke Korea. Tempat yang paling pengin kamu datengin." Shilla terisak hebat. Jadi sepert inilah sebenarnya. Dirinya terlalu berfikir negatif. Dan terlalu takut kehilangan. Wajarkan? "Hiks… soal yang waktu malem itu, Kakak telfon sama siapa? Kok pake sayang segala?" tanya Shilla. Bukannya menjawab, Revan mala mengulum senyum. "Jadi, kamu cemburu yah," ucapnya jahil. "Ih, Kakak mah." "Iya, iya. Itu Zahra tau. Kakak kan minta bantuan dia buat piihin cincin buat kamu ups." "Cincin?" "Tunggu, apa jangan-jangan cincin yang tadi siang di sematin ke jari kak Zahra itu ternyata buat aku?" "Hehe, sebenernya iya. Kakak lagi latihan tau. Eh, kamu keburu masuk. Main kabur gitu aja lagi." "Kirain Kakak selingkuh." "Ya gak mungkinlah. Kebahagiaan kakak kan cuma kamu." "Ih, sekarang makin jago gombal," cibir Shilla. Wajahnya bersemu merah. Raut bahagia teraman kentara tanpa bisa disembunyikan. Revan meraih tangan kiri Shilla. Menyematkan cincin indah itu pada jari manisnya. "Selamat 23 tahun, my wife. Maaf udah merusak masa depan kamu," ucapnya tulus. "Gak ada yang merusak dan dirusak di sini. Ini udah takdir. Dan aku bahagia dengan takdir aku sekarang. Jadi, stop bilang maaf untuk masa lalu kita." "Makasih. I always love you," ucapnya dan menarik Shilla dalam pelukan. Menyalurkan rasa cinta yang teramat. "I always love you too," walau lirih dan teredam d**a bidang Revan, suara itu masih terdengar jelas di tengah keheningan malam. Keheningan yang menjadi saksi atas segala. Malam yang indah untuk saling mengungkap dan memulai semua dengan lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN