12 | Kean Dan Kenzo Berteman

1031 Kata
Barra menutup pintu mobil kemudian menghampiri tempat di mana Keandra berada. Anak perempuan itu langsung membuang muka dengan judes saat melihat Barra berdiri tidak jauh darinya. Hal itu justru membuat Barra terhibur karena sikap gadis itu mengingatkannya pada Annisa, dulu, saat mereka masih tinggal bersama. Wanita itu kerap kali membuatnya jengkel dengan segala permintaan aneh dengan dalih ngidam. Tetapi saat sudah mendapatkan apa yang diinginkan, sikapnya menjadi judes dan ketus. Sungguh di luar dugaan. Ia kira Annisa gadis yang lemah dan mudah ditindas tetapi ternyata tidak. Justru ia sendiri yang merasa ditindas oleh sang istri. ''Pak Barra? Anda di sini?" tanya seorang pria yang datang untuk menjemput Keandra. "Om Wira kenal sama Om Nyebelin ini?" tanya Keandra. "Kenal, Sayang." Pria bernama Wira itu mengangguk. "Mana ibu kamu? Katanya mau jewer saya?" tantang Barra, sengaja menggoda gadis kecil itu. Masih belum tahu siapa ibu Keandra. "Gak usah nantangin deh, Om. Nanti kalau ketemu sama ibu aku, yang ada Om takut," sungut Keandra dengan kesal. "Kean ... gak boleh gitu, Sayang, sama Pak Barra," tegur Wira, "ayo minta maaf!" "Gak mau! Aku gak suka sama Om ini!" tunjuk Keandra pada Barra. "Kean ... gak boleh gitu. Kalau tau nanti ibu juga marah lho sama Kean." Wira berusaha membujuk anak itu. "Ayo, minta maaf sama Pak Barra!" "Gak mau!" Sembari membuang muka, Keandra menolak mentah-mentah permintaan sang om. Wira menatap dengan penuh rasa bersalah pada Barra. Pria yang sangat ia hormati dan segani itu merupakan donatur terbesar di panti asuhan yang diketuai oleh ibunya. "Maaf, Pak Barra, atas kelancangan Keandra," sesal Wira, rasa bersalah dan tidak enak hati terlihat jelas di wajahnya. "Bukan masalah," sahut Barra. Mendengar jawaban Barra yang di luar dugaan, Keandra mendelik sebal pada pria yang saat ini tengah menatapnya hingga untuk beberapa saat mereka sempat saling menatap sampai Keandra yang akhirnya lebih dulu menjulurkan lidah dengan tatapan mengejek. Awalnya keandra mengira Barra akan mengadu pada Wira tentang segala sikapnya selama ini. Tetapi ternyata tidak. "Ayo, Om! Kita pulang aja!" ajak Keandra sembari menarik tangan Wira agar menjauh dari Barra. "Tunggu sebentar, Kean. Om mau pamit dulu pada Pak Barra," sahut Wira sembari menahan tangan gadis kecil itu "Gak usah pamit dulu, Om. Udah, kita pulang aja," paksa Keandra. "Kean ...." Anak perempuan itu akhirnya melepaskan tangan sang om. Melipat kedua tangan di depan d**a sembari mengerucutkan bibir dengan sebal. Semua itu tidak lepas dari pandangan Barra. Ia kemudian membatin, 'Kalau diperhatikan dengan seksama, anak ini ada sedikit kemiripan dengan Annisa, tapi ....' "Pak Barra, Maaf. Saya duluan. Sekali lagi maaf atas sikap keponakan saya yang kurang baik." Wira meminta maaf dengan penuh penyesalan. "Iya, gak apa-apa." "Saya duluan! Mari, Pak." Barra hanya mengangguki ucapan pemuda yang akhirnya berlalu sembari menuntun tangan Keandra. "Kean! Dadah ... sampai ketemu besok." Barra membulatkan mata saat mendengar dan melihat putra semata wayangnya bicara pada Keandra. "Wah ... bahaya ini. Gak bisa! Gak bisa dibiarin. Ken gak boleh temenan sama anak perempuan itu. Nanti yang ada malah bikin masalah," gumamnya sembari menatap sang anak. "Dadah, Ken! Besok kita belajar sama-sama lagi." Keandra yang sudah duduk di dalam mobil, membuka kaca lalu membalas lambaian tangan Kenzo. "Wah ... Si Ulat Kecil juga pakai acara bales segala—lagi.'' Barra berkacak pinggang. Dengan jelas melihat Keandra menjulurkan lidah ke arahnya saat kendaraan yang dikemudian oleh Wira itu mulai melaju. "Ayah!" Kenzo yang sempat berdiri beberapa meter dari sang ayah saat menyapa Keandra, kini berlari kecil mendekati pria dewasa itu. "Ken kenal sama Ulat Kecil itu?" tanya Barra saat sang anak tiba di hadapan. "Ulat kecil?" "Maksud ayah anak perempuan tadi." "Oh ... itu ... namanya Keandra, Ayah. Tapi panggilan Kean," sahut Kenzo dengan santai. "Ken ... ingat gak ayah bilang apa? Ken jangan asal pilih teman." "Ingak, kok." "Terus? Kenapa bisa kenal sama anak perempuan itu?" "Kean baik, Yah. Pintar juga. Dia duduk satu meja juga sama aku. Makanya aku kenal sama dia." "Memangnya Ken gak bisa satu meja sama orang lain?" "Katanya bergilir, Ayah. Dan aku lagi gilirannya aku satu meja sama Kean." "Ken 'kan baru masuk? Kok bisa satu meja sama dia?" "Aku gak tau, Ayah!" Anak laki-laki itu sudah mulai gusar dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan sang ayah. "Mau sampai kapan kita ngobrol di sini, Yah? Apa kita gak akan pulang?" sindirnya. Barra meringis sembari menggaruk kepala. "Oh, iya. Ayah lupa. Maaf, Boy! Ayo! Kita pulang!" ajaknya sembari menuntun Kenzo menuju mobil yang terparkir. "Oma ke mana, Yah? Kok ayah yang jemput aku?" "Oma sama opa ada acara abis makan siang tadi. Jadi gak bisa jemput." "Belum pulang?" "Belum!" "Terus? Sekarang aku gimana? Aku pulang ke mana kalau di rumah gak ada oma dan opa? Aku gak mau cuma sama Bibi aja di rumah. Bosan lah. Bibi gak bisa nemenin aku. Selalu sibuk di dapur." "Kalau ikut ke kantor ayah, gimana?" tanya Barra sambil membuka pintu mobil untuk anaknya. "Aku gak mau, Ayah." Kenzo menolak mentah-mentah usul sang ayah seraya berdiri di samping pintu mobil yang terbuka. "Oke. Masuk dulu. Kita bicara sambil jalan," sahut Barra, menggerakkan pelan kepalanya sebagai isyarat untuk sang anak. Tanpa banyak bicara, Kenzo pun menurut, masuk ke dalam mobil sang ayah dan duduk di kursi depan. "Jangan lupa pakai sabuknya, Nak!" "Oke." Barra segera pergi ke pintu lain setelah memastikan sang anak duduk dengan nyaman. Melajukan kendaraan roda empat keluar dari area sekolah. "Kenapa gak mau ikut ayah ke kantor?" tanya sang pria. "Aku gak suka, Yah. Di sana cuma duduk sendiri. Apa bedanya sama di rumah?" "Ayah titipin kamu di panti, mau? Sore pulang ngantor ayah jemput." "Mau, Yah. Di sana banyak teman-teman aku 'kan?" "Mungkin. Ayah udah lama gak ke sana." "Ya udah. Gak apa-apa. Ke panti aja. Paling enggak aku gak akan kesepian kalau di sana," putus Kenzo, lebih memilih menunggu sambil bermain bersama anak-anak panti daripada harus ikut ke kantor ayah yang membuatnya bosan. Tak lama kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Barra pun tiba di tempat tujuan. Mereka turun dari kendaraan itu bersama-sama. "Ayo! Ayah harus harus minta izin dulu sama ibu pantinya." Barra merangkul bahu sang anak yang hanya mengangguki ucapannya. "Kenzo!" Saat pasangan ayah dan anak tersebut sedang berjalan bersisian, tiba-tiba saja terdengar suara merdu seorang wanita yang memanggil nama anak laki-laki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN