Chapter 6 : TERSIKSA

1652 Kata
Pukul tujuh pagi Elvano merasakan tekanan di bagian perut, guncangan-guncangan kecil sedikit membuatnya terusik. "Daddy bangun, emang nggak kerja? Om jay udah dateng loh." Arumi berbaring di atas sang Daddy menopang dagu dengan dua tangan. "Daddy ih bangun, Umi mau di mandiin sama daddy tau." gadis itu manyun menoel-noel hidung mancung daddynya. Elvano terkekeh pelan mengerjapkan mata, bisa ia lihat putrinya tengah berbaring memeluknya. "Daddy udah bangun princess." Arumi segera turun dari tubuh Elvano menarik tangan sang daddy. "Ayo mandi, Umi mau sekolah. Ah, hari ini kelas Umi bakal jalan-jalan ke taman. Boleh gak," "Boleh princess asal jangan nakal, kalau ada apa-apa lapor ke gurunya. Oyah daddy mau nanya boleh," Arumi mengangguk semangat memandang sang daddy dengan mata berbinar jernih. Elvano turun dari ranjang menggendong Arumi dan membawanya ke luar kamar ingin memandikan sang anak. "Kok Umi jadi diam ketemu gurunya semalam?" pertanyaan darinya membuat Arumi tiba-tiba memeluk lehernya erat. "Kenapa, hem?" tanyanya menggeleng ketika pelayan hendak menghampiri mereka. "Biar saya." katanya. "Baik tuan." "Dia sama kayak mommy." ucap Arumi sontak Elvano menghentikan langkahnya tak percaya mendengar hal itu dari mulut putrinya. "Princess, liat daddy." pinta Elvano lembut. Arumi tidak mengindahkan malah semakin memeluknya. Ia menghela nafas panjang, "Ya udah Umi mandi habis itu dandan, daddy bakal ke pangin rambutnya. Mau," Arumi mengangguk dalam pelukan dan ia pun melanjutkan langkahnya mengabaikan keingintahuannya terhadap ucapan putrinya. "Loh mbak, Arumi belum bangun?" tanya Amira melihat Sinta pelayan yang bertugas mengurus keperluan Arumi. "Katanya tuan yang mandiin nyonya." Amira pun mengangguk mendengarnya. "Oke, kamu ke belakang gih." suruhnya berjalan ke dapur untuk menyiapkan bekal sang cucu. "Baik nyonya." "Bibi Sum, gimana udah di siapin semuanya?" tanya Amira ketika sampai di dapur, di mana kepala pelayan berada. "Sudah nyonya." "Oke." senyum Amira mengembang mengingat ia akan bertemu Sintia lagi, mungkin dia bakal lebih berusaha buat meluluhkan hati Elvano. Dia jadi tidak sabar untuk segera menjadikan Sintia menantu. "Jay sini sarapan." ajaknya melihat Jayden hendak menaiki tangga. Pria itu berhenti dan berkata, "Jay udah sarapan bu, bang Vano udah bangun belum? Soalnya kita harus rapat jam 8 nanti." "Udah tenang aja, dia lagi bantu Arumi. Kamu tunggu di kamar dia aja kalau gitu." "Iya bu." Jayden pun melenggang melanjutkan langkahnya ke kamar Elvano. Tak ada kecanggungan memang tetapi dia tetap bersikap sopan bagaimanapun ia hanya orang luar, meski Elvano sudah menganggapnya adik sendiri. Berselang beberapa menit Elvano turun membawa Arumi, mendudukkan putrinya ke kursi untuk sarapan. "Nah princess daddy sarapan di sini, baru berangkat sama nenek." katanya. "Siap daddy." Elvano tersenyum mengecup kepala Arumi, meraih salad sayur yang Amira siapkan kemudian kembali ke kamar. "El, kamu mau… " "Gak." Elvano langsung menyela sebelum semakin jauh dan menghilang dari pandangan Amira. Wanita paruh baya itu menghela nafas, "Mama cuma mau kamu berubah dan gak main-main lagi nak." bisiknya menggeleng pelan. Ia tau putranya hanya memendam perasaannya dengan bermain dengan para jalang di luar sana. Tangan Amira tiba-tiba mengepal mengingat kembali betapa hancurnya hati Elvano ketika istrinya pergi meninggalkan mereka dalam keadaan terpuruk. Ia sudah berjanji dengan nyawanya sendiri tidak akan pernah memaafkan wanita itu, karena yakin jika dia akan kembali suatu saat nanti setelah melihat kesuksesan putranya dan jika itu terjadi maka dunia akan melihat kemarahan seorang ibu. "Nenek," Amira tersadar. "Iya sayang. Udah selesai?" Arumi mengangguk. "Ya udah yuk berangkat sekarang, bekalnya udah nenek siapin sama bekal ibu Sintia. Kenapa kok diam?" tanyanya melihat Arumi menunjuk. "Nenek pisah kok bekalnya nggak digabung. Yuk berangkat sekarang." ajak Amira dan Arumi hanya mengangguk kembali jadi pendiam. * * "Hari ini jam delapan ada meeting di kantor dengan tim redaksi majalah male untuk kolaborasi antara brand baru DHE Star. Habis itu jam sepuluh ada pertemuan dengan kepala rumah sakit untuk menjadikan DHE Star sebagai kontributor utama pemegang saham. Setelah itu bakal ada makan siang dengan pengurus BPOM untuk produk lokal kita." Jayden tengah membacakan jadwal Elvano hari ini, sementara pria itu sedang memilih pakaian untuk digunakan hari ini. Dia harus terlihat sempurna di hadapan orang lain agar mereka merasa terintimidasi seperti dirinya dulu. "Hubungi tim seoul, untuk sedikit mempercepat sampel produk lokal yang kita kirim untuk memastikan bahwa bahan tidak berubah." kata Elvano merapikan rambut yang berada di jidat lebar membahana miliknya. "Baik." Elvano berbalik setelah dirasa perfek untuk memulai hari-harinya. "Oke." dan Jayden pun mengangguk membiarkan Elvano mendahuluinya. Dalam perjalanan menuju kantor Elvano tampak memejamkan mata. Ssshh… niatnya menenangkan pikiran malah terjebak saat bayangan gadis bergaun merah berjalan ke arahnya. Semua yang mereka lakukan di hotel kembali berputar dan lagi-lagi miliknya keras seperti kayu. "Sial. Kenapa jadi pusing begini." umpatnya memijat pangkal hidung berharap pusing itu hilang. Sayangnya jeritan dan desahan nikmat gadis itu semakin membuatnya tak bisa bernafas. Apa yang terjadi padanya? Pikirannya benar-benar kusut hanya karna gadis bergaun merah bernama Abrina itu. Jayden diam-diam memperhatikan gerak-gerik Elvano pun bertanya, "Bang, you okay?" Elvano mengeleng membuka mata menghembuskan nafas kasar sebab dia pun bingung dengan dirinya sendiri. "Sakit bang? Kok pucet banget." tanya Jayden lagi, kali ini ia menoleh khawatir. "Hhh… bukan gue yang sakit tapi dia." menunjuk miliknya yang sedari tadi mengeras. Mengerti ucapan Jayden, dia kembali menatap ke depan. "Terus gimana? Mau nyalurin dulu gak? Aku minta Selvi nanti ke ruangan." Kebetulan Selvi Kiel sekertaris Elvano salah satu wanita malam dari Canada yang dia sewa untuk menjadi cadangan ketika miliknya tiba-tiba bangun seperti sekarang. "Cepat. Saya benar-benar gak bisa tahan lagi. Semuanya gara-gara gadis itu! Sial." "Gadis? Siapa?" "Abrina." "What? Kok bisa!?" "Entah. Gak tau kenapa hanya menyebut nama dia, saya sudah kelimpungan seperti sekarang." "Se-sehebat itu permainan dia?" Jayden meneguk ludah sendiri memikirkan hal yang tidak-tidak tentang permainan gadis itu. "Sangat bahkan sensasinya sampai sekarang pun masih sangat… aagghh… bisa gila saya kalau begini." Elvano dari rumah sudah rapi tetapi kini malah jadi kusut ditambah dengan miliknya semakin membengkak. Jayden hanya meringis berpikir kalau Elvano benar-benar tersiksa sekarang. * * * Di sisi lain gadis yang membuat seorang Elvano tersiksa sedang menyiapkan perlengkapan sang adik selama berada di rumah sakit. "Dek, jangan bandel jangan keras kepala kalau dokter minta minum obat jangan di sembunyikan. Aku cuma dampingi kamu sampai sore, habis itu bakal pulang." tatarnya melirik Lintang yang sibuk dengan sarapannya. "Eng..." "Pas kamu keluar nanti, kita nonton orkestra." "Serius?" Abi berjalan keluar membawa tas ransel milik Lintang. Ia mengangguk, "Hadiah dari temen. Jadi tunggu di sana sampai dijemput, jangan berani keluar." "Oke, janji." Lintang meraih air minum dan meneguknya hingga tandas. "Udah?" Ia mengangguk berdiri membawa bekas makan nya ke pantry, setelah itu berjalan mencari sepatunya. "Dalam laci." kata Abi diacungi jempol oleh Lintang. Gadis itu menoleh melempar tatapan tak enak mengingat jika ia harus berada di rumah sakit lagi selama seminggu dan juga, kakaknya ini pasti bakal berlarian lagi mencari kerja. "Kenapa lagi, buruan bentar lagi taksinya datang." sahut Abi membuang muka menghirup udara sebanyak-banyaknya ketika sesak itu kembali. Ia berdehem, lalu tersenyum meraih hpnya dan juga milik Lintang. "Ayo." ajaknya menghampiri Lintang dan gadis itu hanya bisa mengangguk kecil berdiri meraih hpnya lebih dulu keluar dari apartemen di susul Abi. "Eh siapa nih, tetangga baru ya?" Lintang sontak menoleh kakinya terseret sedikit mundur melihat lelaki berdandan layaknya wanita modis tapi terlihat seperti kelebihan otak. "Si-siapa ya?" tanya Lintang terbata-bata keliatan takut mungkin. Sebelum orang itu menjawab, Abi lebih dulu keluar tak lama tetangga sebelah pun ikut keluar. "Siapa ya?" tanya Abi, karena takut Lintang memeluk lengannya. Tetangga yang tadinya ikut keluar mendekati mereka ternyata Rian. "Ih masa takut sih, aku gak ngapa-ngapain kok. Beb, mereka takut sama Rika." orang yang menyebut namanya Rika memeluk lengan Rian manja sampai-sampai Lintang bergidik geli. Rian tertawa berkata, "Makanya beb keluar tuh yang normal dong, gimana gak takut mereka nya." "Ish, jahat banget." "Hehe, tenang aja mbak dia… " "Riki kalau malam Rika." mengedipkan sebelah matanya membuat Abi dan Lintang terkikik geli begitu juga Rian. "Abi mbak, eh mas, eh? Manggilnya apa nih." Abi kebingungan sendiri tak tahu harus memanggil apa orang tersebut. "Kalau nanti ketemunya pake ginian manggilnya Rika gitu juga sebaliknya." kata Rian. "Betul." timpal Rika Riki ini. "Ah hahaha, saya Abi dan ini adik saya Lintang. Salam kenal mbak Rika, tapi kayaknya kita gak bisa lama-lama nih soalnya taksi udah nunggu di bawah." kata Abi berharap kedua orang di depan mereka mengerti. "Ah iya gapapa mbak, silahkan." ujar Rian menggeser posisi. "Lain kali boleh kali main di atap." lontar Riki Rika. "Siap. Ayo Lin. Kita duluan ya, permisi." Abi menarik Lintang pergi meninggalkan keduanya yang melambaikan tangan. "Hati-hati mbak." lontar mereka dan Abi hanya berbalik tersenyum kecil. Riki Rika menyenggol lengan Rian menunjuk kepergian Abi dan Lintang berkata, "Tuh cewek kayaknya gak asing ya?" jarinya mengetuk-ngetuk dagu berpikir di mana ia pernah melihat Abi. "Yaelah Rik, namanya juga orang cantik mah di mana aja bakal keliatan. Udah ah, mau mandi dulu ada kelas entar siang." "Mau dimandiin gak beb?" Riki Rika menggoda Rian. "Mau aku jebolin tuh bol sampe gak bisa nerima tamu? Yakin semalam kamu gak pulang." ucap Rian frontal membuka pintu segera masuk meninggalkan Rika Riki meringis mendengar kalimatnya yang sedikit senonoh. "Tau aja sih, semalam sampe merangkak gara-gara bule sialan itu." * * * "Geli banget liatnya." lontar Lintang tertawa mengingat komuk Riki Rika tadi. Abi juga ketawa di buatnya. "Udah ah, gak baik ngomongin orang. Nih uang jajannya, ingat boleh jajan kalau dokter atau perawatnya ngasih ijin. Jangan kayak kemarin-kemarin sampai mbak Dona kelimpungan nyari kamu, tau-taunya lagi nangkring di kantin." "Hehe… iya kak, bawel deh." "Bawel juga gara-gara kamu." "Iya kakakku sayang." "Geli." "Auh ah gelap." "Hehe." Lintang kembali memeluk lengan Abi, menaruh kepala di pundak sang kakak. Abi menepuk-nepuk punggung tangan Lintang, "Bertahanlah sebentar lagi, kakak bakal berusaha ngumpulin semuanya setelah itu kamu bisa operasi lagi dan penyakit itu benar-benar hilang setelahnya." ucapnya. "Aamiin kak. Kali ini Lintang yang ngomong jangan terlalu memforsir diri sendiri sampai sakit, kalau itu terjadi Lintang gimana, siapa yang ngurus nanti." "Iya, gak akan." balasnya dengan jari telunjuk dan jari tengah saling bertautan, mengartikan bahwa dia bisa mengingkari janjinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN