Bab 4. Cuma Ngontrak Di Bumi

1032 Kata
“Umur 32 tahun, akhirnya dapat status halal,” ujar Bastian masih bisa tertawa. Namun, begitu mobil milik Bastian berhenti. Beberapa pengendara yang menunggu kereta melintas langsung menghampiri Bastian, mengetuk kaca mobil dengan raut tidak senang. “Kalau mau mati jangan ngajak-ngajak!” “b******k!” Belum sempat warga di sekitar memarahi tindakan Bastian yang menyimpang. Mulut mereka membisu begitu mendengar makian dan pukulan yang dilayangkan oleh Luna. Bastian sendiri melirik dengan mata setengah tertutup, Luna benar-benar melampiaskan amarah bak di ring tinju. “Siapa juga yang mau mati? Orang aku inginnya bikin anak sama kamu.” Ocehan tak berguna menurut Luna itu, langsung direspon dengan pukulan yang jauh lebih keras darinya. Siang itu, harusnya Luna sudah tiba di rumah orang tuanya. Luna justru berakhir dengan menunggu Bastian yang sedang mengganti rugi pembatas kereta yang dirusak, serta Bastian mendapat arahan dari penjaga rel kereta setempat. *** “Memangnya tidak ada wanita lain, Bastian?” Jemari Bastian mengambil gelas, lantas menunggu dengan sabar air memenuhi permukaan gelasnya. “Di mataku, hanya Luna seorang. Mahkluk lainnya hanya ngontrak di bumi ini.” Wanita berambut putih yang tengah duduk di kursi tak jauh dari ruang makan itu menghela napas dengan kasar. Sudah puluhan wanita dari bibit unggulan, tapi semuanya berakhir dengan penolakan oleh Bastian. “Dia hanya anak haram.” Status Luna yang sesungguhnya telah diungkap lagi. Keluarga Maheswari sangat menutupi fakta kehadiran Luna yang lahir dari Rahim pembantu, namun informasi yang berharga itu tetap saja merajalela di kalangan kaum atas. “Nenek mau aku mati tanpa mewariskan keturunan di keluarga ini?” Tubuh Bastian berbalik sembari membawa gelas terisi penuh dengan air. Sejenak tenggorokkan dibiarkan dibasahi oleh air mineral. “Omong kosong! Kamu harus menikah di usia yang tepat, seperti sekarang.” “Karena hal itu, jangan biarkan cucu Nenek ini jadi bujang lapuk.” Wanita Bernama Anisa itu mendengkus kesal. Keluarga mereka yang selalu murni, akan ternoda oleh status haram yang dibawa oleh Luna dan anak-anaknya nanti. “Mau keluarkan aku dari kartu keluarga juga boleh,” tawar Bastian dengan senang hati. “Kamu cucu satu-satunya! Kamu penerus keluarga ini!” Bastian meneguk habis minuman di tangan. “Karena hal itu, dari pada Nenek memikirkan status Luna. Lebih baik pikirkan berapa banyak cicit yang akan Nenek dapatkan.” Anisa menghela napas dengan panjang, tangan memijit pelipis dengan sering setelah mendengar Keputusan dari Bastian. “Luna saja belum bercerai dengan suaminya, kamu sudah main mau menikahi saja,” sindir sang nenek. “Dari pada direbut orang lagi,” sahut Bastian enteng. Melihat Bastian yang mengambil kunci mobil di atas meja bar, membuat sang nenek menatap lekat. “Kamu baru saja kembali, kamu mau ke mana lagi?” Bastian meninggalkan senyum pada neneknya. “Apel ke calon istri.” Sementara itu, di rumah yang megah dengan interior tak kalah hotel bintang lima. Terlihat Luna sedang menyandar pada dinding pembatas anak tangga dalam diam. Matanya menatap kaki yang memakai sandal mewah. “Sudah bagus ada yang mau menikahi. Sekarang dia balik lagi ke rumah ini, hanya karena bercerai dari suaminya!” “Dia hanya bawa kesialan saja di rumah ini!” Luna memejamkan mata, mendengar suara seorang pria yang tak lain ayah kandungnya sendiri. Sosok yang menyentuh pembantu dalam keadaan mabuk, namun selalu menyalahkan dirinya jika terjadi sesuatu. “Masalah invetasi bodong ini kan salah kamu sendiri, Mas. Kenapa malah membawa nama Luna segala?” Mata Luna melirik, ia melihat istri pertama dari ayahnya yang Bernama Diana. “Buktinya aku gagal ujian karena dia datang ke rumah, Ma! Biasanya aku lancer-lancar saja.” Itu adik tirinya Bernama Hana, anak yang lahir dari istri kedua. Namun, tidak ada satu pun wanita yang berhasil bertahan menghadapi sikap ayahnya, Rendra Maheswari. “Pak, ada tamu.” Tiba-tiba pembantu datang sembari membawa tamu yang dimaksud memasuki rumah. Luna yang Lelah mendengar keributan di rumah ini, memutuskan untuk kembali menaiki anak tangga dengan langkah pelan. “Bastian, apa yang membawamu ke rumah paman?” Mendadak tubuh Luna langsung diam, begitu mendengar nama mantan kekasihnya yang hari ini melamar di jalur kereta. Awalnya Luna menganggap Bastian lain yang datang, namun saat mata mengintip Luna berakhir dengan menghela napas. “Luna di mana, Paman?” Ya, Bastian yang dirinya kenal telah berkunjung. “Luna di kamarnya. Hana, cepat panggilkan kakakmu.” Perintah yang terdengar dari mulut Rendra membuat Luna tersenyum sinis. Padahal sebelum datangnya penerus keluarga Tirtayasa itu, Luna begitu tidak diharapkan keberadaannya. Hana nampak tidak senang disuruh oleh sang ayah, namun terpaksa menaiki anak tangga untuk memanggil dirinya. Sebelum Hana benar-benar ke atas, Luna langsung turun dan sempat berpapasan dengan Hana. “Hama ternyata ada yang cari juga,” gumam Hana menyindir dirinya. “Oh parasit satu ini ternyata tidak ada yang mencari,” Luna ikut menyindir. Hana hendak melayangkan tangan kea rah wajahnya. Namun, menyadari kelakuan itu akan terlihat oleh semua orang, membuat Hana hanya bisa menahan diri. Mata Luna dan Bastian saling bertemu. Dua manusia yang ditakdirkan untuk tidak bersama, pada akhirnya mulai mendekati satu sama lain. “Kita sudah janjian mau makan bersama, tapi sepertinya kamu belum siap,” singgung Bastian. Luna menatap dirinya yang masih memakai stelan baju biasa. Namun, Luna malas untuk ganti baju, toh hanya menemui Bastian saja. “Aku belum lapar,” sahutnya menolak. Begitu mendengar penolakan darinya, ayahnya langsung ikut campur. “Belum lapar apanya? Bukankah kamu belum makan tadi?” Luna tatap ayahnya yang terlihat menyayangi dirinya di hadapan Bastian, padahal biasanya sangat tidak peduli sama sekali. Kepala ibu tirinya ini menganggukkan kepala, meminta Luna untuk tidak menolak. Meski bukan ibu sendiri, namun Luna telah menganggap wanita ini sebagai ibunya sendiri. Terlebih semenjak bayi, Luna tidak melihat adanya ibu lain di matanya. “Baiklah.” Pada akhirnya Luna menuruti membuat Bastian tersenyum senang, kemudian mengulurkan tangan berharap dijabat olehnya. Namun, Luna berjalan melewati Bastian begitu saja, membuat ayahnya nampak kesal. “Aku mau hutang.” Itulah yang Luna katakan begitu Bastian dan dirinya telah keluar dari rumah. “Berapa?” Bukan untuk apa yang Bastian tanyakan padanya. Mata Luna memandang pria ini dengan lekat, ada banyak perubahan yang Luna sadari dari sosok Bastian. Biasanya Bastian selalu cuek dengan dirinya. “100 juta.” Kepala Bastian mengangguk. “Aku berikan 200 juta, bagaimana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN