BAB 1 – Kehilangan Kitab
Medan, Maret 2010.
Seorang gadis tengah asyik membaca kitabnya dengan khidmat di atas sebuah bus. Ia baru saja kembali dari gereja, menjalani rutinitas sebagai guru sekolah minggu untuk anak-anak. Wajahnya yang manis tampak tenang dan bersahaja.
Bus yang sesak masih melaju dengan kecepatan tinggi. Namun sang gadis bermata abu-abu seperti tidak terusik dengan kebisingan dan sesaknya bus. Ia masih santai dengan kitabnya yang sudah lusuh karena begitu sering ia baca.
Di sebuah persimpangan, sebagian besar penumpang sudah turun, membuat suasana bus yang awalnya sesak menjadi sedikit longgar. Sang gadis menarik nafas panjang, ia merasa lega terbebas dari kebisingan yang terjadi sedari tadi.
Di tengah kenyamanan yang ia rasakan, seorang pemuda yang baru saja melangkahkan kaki ke atas bus, tanpa sengaja menabrak lengan gadis itu. Ia begitu tergesa-gesa sehingga tak memperhatikan lengan seorang gadis yang terjulur di atas paha sembari memegang alkitab. Akibat ulah si lelaki, alkitab yang suci itu terlepas dari lengan sang gadis dan terjatuh ke lantai bus.
Dengan cepat, sang pemuda mengambil alkitab tersebut kemudian memberikan kembali kepada sang gadis bermata indah.
“Maafkan saya, saya tidak sengaja sudah menjatuhkan kitab suci milikmu. Saya terburu-buru sehingga kurang berhati-hati.” Gadis bermata abu-abu mengangguk.
Sang pemuda memohon maaf atas kesalahannya. Ia memberikan kitab dengan baik kepada sang gadis. Sang gadis menerima kitab tersebut tanpa menoleh kepada pemuda itu. Begitu pun sang pemuda, ia tidak berani menatap gadis manis yang ada di depannya.
“Sekali lagi saya minta maaf,” kata sang pemuda. Ia mengangkat sedikit wajahnya untuk menatap sang gadis. Siapa sangka, sang gadis juga melakukan hal yang sama. Mata mereka beradu sesaat kemudian masing-masing dari mereka kembali menunduk.
“Tidak masalah, terima kasih sudah mengambilkan alkitab saya.” Sang gadis kembali duduk dan mengalihkan pandangan ke sisi lain. Sementara sang pemuda duduk di sebelah sang gadis yang di batasi oleh sebuah bangku kosong.
Bus masih melaju dengan kecepatan tinggi. Sang gadis masih sibuk dengan alkitabnya, sementara sang pemuda sibuk dengan bukunya. Buku yang bercerita tentang perjuangan nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ponsel sang gadis tiba-tiba berdering. Ia mengambil ponselnya yang ia letakkan di dalam tas kecil berwarna ungu—warna kesukaannya. Kemudian sang gadis menjawab panggilan suara tersebut dan bercengkrama dengan wanita yang ada di seberang sana. Tak lama, kenek bus meneriakkan lokasi pemberhentian bus berikutnya. Lokasi tempat sang gadis harus turun dan melanjutkan perjalanan ke rumahnya dengan berjalan kaki.
Treng teng ... treng teng ...
Sang gadis memukul pegangan bus yang terbuat dari stainless dengan koin yang sudah ia persiapkan. Gadis itu pun turun dari bus dan langsung meninggalkan halte menuju rumahnya. Rumah yang bisa di tempuh dengan berjalan kaki saja dari halte bus.
Pemuda yang tengah asyik dengan bukunya tiba-tiba menoleh ke sebelah. Ia tidak melihat lagi gadis yang sekilas ia lihat bermata sangat indah. Ia cukup terpesona dengan manik abu-abu itu. Pemuda itu menarik nafas panjang, sebab pemilik manik itu sudah pergi.
Namun ia melihat sesuatu di atas bangku tepat di sebelah ia duduk. Alkitab milik gadis bermanik abu-abu tertinggal di sana. Pemuda tersebut mengambil alkitab itu, ia berniat mengembalikan tapi ia tidak tau gadis berambut lurus itu berhenti di halte yang mana. Lalu ia memutuskan untuk membawa alkitab itu pulang. Ia akan mengembalikannya nanti. Sang pemuda berpikir akan mencari petunjuk dari alkitab itu nanti di rumahnya.
Sang gadis yang baru setengah perjalanan tersadar bahwa ia tidak memegang alkitab miliknya. Ia mencari di dalam tas, namun nihil. Buku suci yang begitu berharga, tidak ia temukan. Ia berbalik arah, mungkin saja kitab itu terjatuh, pikirnya.
Namun usahanya sia-sia. Ia terus mencari hingga halte tempat ia berhenti, namun buku suci itu tak jua ia temukan.
“Ya tuhan, kemana alkitab milikku. Pasti tertinggal di dalam bus. Ah, bagaimana ini?” Gadis itu mulai gelisah. Alkitab tersebut sangat berharga baginya. Mungkin dia bisa membeli alkitab yang baru, tapi tidak akan sama dengan alkitab miliknya yang hilang.
Alkitab lusuh itu memiliki nilai sejarah yang sangat berharga bagi sang gadis. Itu adalah hadiah dari mendiang kakeknya ketika ia berusia lima tahun. Ya, sudah sembilan belas tahun alkitab itu menemaninya. Ia sangat mencintai dan menjaga buku suci itu.
Dengan langkah gontai, sang gadis kemudian berlalu menuju rumahnya. Wajahnya penuh duka. Jiwanya nelangsa. Kehilangan alkitab bagaikan kehilangan separuh jiwanya. Pada akhirnya sang gadis menangis. Ia mempercepat langkahnya agar tangisannya tidak dilihat oleh tetangga atau orang yang mengenalinya.
“Selamat siang.” Sang gadis menyapa orang yang ada di dalam rumah.
“Mentari, ada apa dengan kau, nak. Mengapa wajah kau bersedih. Menangis pula, siapa yang sudah mengganggu kau.” Artha—ibu gadis itu khawatir melihat anak gadisnya.
“Tak mengapa mak, alkitabku tertinggal di dalam bus.” Mentari Ginting—nama gadis yang kehilangan Alkitab—menatap lembut netra ibunya.
“Ah, sudahlah ... tak payah lah kau menangis segala. Nanti bisa di belinya itu alkitab.” Artha mencoba menghibur putrinya.
“Tapi mak ... alkitab itu pemberian oppung. Alkitab itu sangat berharga buat Tari.” Mentari terduduk di atas kursi tamu. Wajahnya teramat sedih, begitu berharganya buku suci itu bagi Mentari.
“Ya sudah, kau makanlah dulu. Kalau masih rezeki, alkitab itu pasti kembali. Sementara pakai saja dulu alkitab kita yang lainnya.” Artha kembali menghibur putrinya.
Mentari bangkit dan berjalan dengan gontai menuju meja makan. Perutnya memang sudah lapar. Tapi n@fsu makannya tiba-tiba hilang. Kakek yang begitu ia cintai dan juga sangat mencintainya, memberikan Alkitab itu untuk di jaga dan diamalkan sebaik mungkin. Namun Mentari mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga amanah kakeknya.
Artha memperhatikan Mentari yang terus melamun di meja makan. Wanita empat puluh tujuh tahun itu juga merasakan apa yang putrinya rasakan. Kehilangan benda yang begitu kita sayangi dan sudah jaga bertahun-tahun, pasti rasanya sangat sakit.
Pada suapan ketiga, Mentari menghentikan kegiatan makannya. Ia berniat ingin mengistirahatkan diri di dalam kamar.
“Mak, aku ke kamar dulu ya. Mau beristirahat.” Mentari bangkit dari duduknya.
“Ya, pergilah kau tidur dulu.”
Mentari meninggalkan Artha di meja makan. Ia berjalan dengan lesu menuju kamarnya. Merebahkan badan ke atas ranjang dan terus memikirkan Alkitab yang telah hilang.
-
-
-
Dengan langkah tegap, Azzam masuk ke sebuah masjid tempat ia mengajar mengaji. Nama pemuda yang sudah menemukan Alkitab milik Mentari adalah Azzam Al Malik—pemuda berdarah minang—yang sedang menempuh pendidikan S2 di tanah melayu deli.
Setiap hari Azzam mengajar mengaji dan tahfidz di masjid yang berada tidak jauh dari rumah kontrakannya. Hari Senin hingga Sabtu, Azzam mengajar mengaji selepas maghrib, karena ia harus kuliah serta bekerja. Sementara hari Minggu, Azzam mengajar di siang hingga sore hari.
“Allahummaftahlii abwaabarahmatika.” Azzam melangkah masuk ke dalam masjid dengan kaki kanan terlebih dahulu. Pemuda itu kemudian meletakkan buku dan alkitab yang sedari tadi ia pegang, di atas meja dekat mimbar.
“Assalamu’alaikum ustadz ....” Sapa anak-anak didik Azzam yang sudah menunggu pemuda itu.
“wa’alaikumussalam, bagaimana kabar anak-anak semuanya, sehat?” Azzam menyapa hangat anak-anak didiknya.
“Alhamdulillah, sehat ustadz ...,” jawab mereka serentak.
“Ustadz, ini buku apa? Kok ada gambar salipnya ustadz?” Bayu—salah seorang anak didik Azzam—memperhatikan alkitab yang terletak di atas meja.
“Owh, ini buku milik teman ustadz, tertinggal tadi di atas bus. Jadi ustadz bawa, nanti akan ustadz kembalikan setelah mengajar kalian semua.” Azzam tersenyum hangat kepada anak-anak itu, “Ayo, semua duduk di depan ustadz, kita akan mulai pelajaran hari ini.”
Azzam membaca basmallah dan mulai mengajar anak-anak itu dengan sabar dan baik. Beberapa anak-anak mulai usil dan mengganggu teman-temannya, tapi Azzam dengan penuh kasih sayang berhasil menenangkan mereka.