Pukul sebelas malam, Azzam baru saja menyelesaikan rakaat terakhir dari shalat witirnya. Pria itu selalu melakukan itu setiap hari, sebagai penutup dari segala ibadah pada hari itu.
Azzam mulai membaringkan tubuhnya di atas kasur kecil tak berdipan. Sederhana, memang itulah kesan pertama ketika masuk ke dalam kamar pria dua puluh lima tahun itu. Baru saja matanya hendak terpejam, azzam teringat dengan Alkitab yang ia temukan tadi siang.
Pria itu kembali bangkit dan mengambil Alkitab yang ia letakkan di atas meja kecil, di dalam kamarnya. Ia tatap Alkitab itu, lekat. Alkitab itu sedikit lusuh, tapi masih terawat.
“Bismillah ....” Azzam bergumam pelan.
Pria itu mulai membuka lembar demi lembar buku suci milik seorang gadis bermata abu-abu. Azzam melihat Alkitab itu terbitan lama, warna lembarannya sudah memudar.
Alkitab ini sudah sangat lama, tapi masih sangat rapi dan terawat. Gadis itu pasti sangat menjaganya, batin Azzam.
Pria itu kemudian kembali membuka lembar demi lembar Alkitab itu. Azzam mencari petunjuk tentang pemilik buku suci yang berada dalam genggamannya kini. Hingga pada lembaran terakhir, Azzam menemukan sebuah petunjuk.
Mentari Ginting
Cinta Anak-Anak GBI
“GBI? ya, aku akan pergi ke sana, minggu depan. Semoga pemilik kitab ini berada di sana minggu depan.” Gumam Azzam pelan kepada dirinya sendiri.
Azzam meletakkan kembali Alkitab itu di atas meja. Pemuda itu pun kemudian memejamkan mata, terlelap.
-
-
-
Sudah semingu Mentari kehilangan buku suci miliknya. Setiap sore, gadis itu selalu singgah di gereja tempat ia biasa mengajar anak-anak. Ia berharap ada orang yang menitipkan Alkitab miliknya ke satpam yang menjaga gereja.
Namun harapannya sia-sia. Mentari masih mendapatkan jawaban yang sama di setiap harinya.
“Tari, kenapa melamun saja? Dari tadi kakak lihat, Mentari tidak bersemangat.” Roslina—teman sesama aktifis gereja—menyapa gadis itu dengan lembut.
“Alkitab Tari masih belum ditemukan, Kak,” jawab Mentari, lesu.
“Sabarlah, mungkin memang belum rezeki.” Roslina berusaha menghibur temannya.
“Iya, Kak.”
“Kak Tari ... kak Tari ... ada seseorang yang ingin menemui kak Tari di luar pagar gereja.” Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun menghampiri Mentari.
“Oiya, siapa?”
“Entahlah, kak Tari lihat saja di luar. Dia laki-laki”
Mentari menatap sejenak ke luar, namun ia tidak menemukan siapa-siapa selain orang-orang yang memang sudah ia kenal.
“Kak, aku keluar dulu ya. Mau melihat, siapakah yang mencariku.” Mentari undur diri, Roslina mengangguk tanda setuju.
Mentari bergegas keluar gereja. Gadis itu tidak melihat ada satpam di post jaga. Ia lalu berjalan keluar pagar, dan melihat seorang pria tengah berdiri di bawah sebuah pohon seraya memeluk sesuatu.
Apa itu pria yang di maksud Budi tadi? Mentari membatin.
Dengan ragu, gadis itu menghampiri pria yang sedari tadi juga memperhatikannya. Sekilas, wajah pria itu tidak asing bagi Mentari. Tapi gadis itu tidak mengenali pria berwajah teduh yang ada di hadapannya sekarang.
“Maaf, apakah anda sedang menunggu seseorang?” Mentari memberanikan diri untuk bertanya. Wajahnya tertekuk, ia bahkan tidak berani menatap lawan jenisnya.
“Iya, saya sedang mencari seseorang bernama Mentari Ginting, apa anda mengenalnya?” tanya Azzam. Pria itu juga tak kalah jengah, ia pun tak berani menatap langsung wajah gadis yang ada di hadapannya.
“Iya itu saya, apa anda mengenali saya?” Mentari mengangkat wajahnya. Tanpa sengaja netra abu-abu itu beradu dengan netra cokelat pekat.
Mata mereka saling tatap, ada getaran hebat di dalam hati masing-masing tatkala netra itu beradu pandang. Biasanya baik Mentari maupun Azzam akan langsung menundukkan pandangan mereka ketika beradu pandang dengan lawan jenis, tapi kali ini berbeda.
Mata mereka seakan berbicara. Hingga semenit kemudian, teriakan seseorang menyentak lamun mereka berdua.
“KAK TARI ... CEPAT, ACARA AKAN SEGERA DIMULAI.” Mentari seketika menundukkan kembali pandangannya, begitupun Azzam.
Astaghfirullahu ... batin Azzam.
“Ma–maaf bang, saya harus segera masuk ke dalam.”
“Ta—tapi—.” Mentari berlalu, masuk kembali ke area gereja. Sementara Azzam masih terpaku, berusaha menetralkan degup jantungnya. Belum pernah pria itu merasakan getaran seperti itu sebelumnya.
Mentari terus berjalan masuk ke dalam gereja. Muka kuning langsat itu tersemu merona. Hatinya bergetar hebat, degup jantungnya tidak beraturan.
“Tari, ada apa dengan kau? Kenapa gugup begitu?” Roslina melihat ada yang berbeda dengan sahabatnya.
“Heh ... tak ada lah kak. Aku baik-baik.”
“Jangan bohong, muka kau tu memerah. Jangan-jangan kau baru ketemu pacar ya di luar sana. Ah ... mantaplah itu, menikah juganya teman aku ini.” Roslina malah semakin menggoda sahabatnya.
“Kakak ini, tak ada lah kak. Aku tak punya pacar, tak ada yang mau sama aku.”
“Tak ada yang mau, atau kau yang terlalu pemilih.”
“Sudahlah kak, anak-anak sudah menunggu. Kita selesaikan dulu tugas kita.”
Mentari dan Roslina mengakhiri obrolan mereka. Mereka berdua mulai mengerjakan kewajiban mereka sebagai guru sekolah minggu di gereja itu. Di saat orang tua anak-anak itu dengan khitmad menjalankan ibadah, Roslina dan Mentari juga beberapa rekan lain, sibuk mengajar lagu-lagu rohani, menggambar dan bermain dengan anak-anak. Mentari sangat mencintai anak-anak
“Kak Tari, yang di luar tadi itu siapa? Pacar kak Tari ya?” seorang gadis kecil berusia lima tahun membuat wajah Tari kembali merona. Roslina seketika menghentikan aktifitasnya dan menatap Mentari, tajam.
“Gisel apaan sih? Bukan, yang tadi itu bukan siapa-siapanya kak Tari, itu teman kak Tari.” Mentari berusaha menjawab dengan tenang.
“Tapi mengapa tidak masuk, Kak? Harusnya orang dewasakan masuk ke gereja dan ikut beribadah? Berarti teman kak Tari bukan orang baik, sebab dia tidak mau menemui Tuhan-nya.” Gadis lima tahun yang bernama Gisel itu tampak sangat cerdas.
“Hhmm ... bukan orang jahat sayang, tapi dia itu berbeda dengan kita. Dia bukan orang kristen seperti kita. Dia juga menemui Tuhan-nya, tapi bukan di sini, melainkan di tempat lain.”
“Di tempat lain? Apa sama kayak teman Gisel, Kak? Yang setiap sore selalu pergi ke rumah Tuhan-nya.”
“Iya, seperti itu. Gisel pinter banget ya. Baru lima tahun bicaranya sudah lancar, pola pikirnya juga baik.” Mentari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil itu.
Tanpa di sadari Mentari, Roslina mencuri dengar apa yang ia bicarakan dengan anak didiknya. Wanita yang usianya satu tahun di atas Mentari itu, jadi penasaran dengan apa yang didengarnya barusan.
-
-
Mentari baru selesai menjalankan tugasnya. Gadis itu teringat sesosok pria bermata cokelat pekat yang cukup memesona hatinya.
Gadis itu buru-buru mengemas barang-barangnya kemudian berlalu meninggalkan gereja. Roslina memperhatikan perubahan sikap Mentari, tidak biasanya sahabatnya itu bersikap demikian.
Langkah Mentari terhenti tepat di depan gerbang pagar gereja. Pria yang di temuinya dua jam yang lalu, ternyata masih ada di sana, duduk di atas sebuah batu besar di bawah pohon rindang.
Dengan langkah pelan dan hati-hati, gadis itu berjalan mendekati pria yang sudah menunggunya. Roslina, menguntit dari balik pagar gereja.