BAB 10 – Bertemu Lagi

1547 Kata
“Pagi, Mak ... Pak ....” Mentari baru saja keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Gadis itu sudah rapi dan bersiap pergi bekerja. “Pagi, Nak ... cantik kalinya anak mamak ini.” Artha menciumi pipi mulùs putri pertamanya. “Kak Tari ajanya yang cantik, aku?” Herty yang mengenakan seragam SMA, menghempáskan bŏkongnya dengan kasár di atas salah satu kursi makan. “Kalau kau itu bukan cantik, tapi gagah, hahaha ....” Artha tertawa renyah. “Betul kata mamakmu itu, Herty. Kau rubahlah penampilanmu agar sedikit manis. Biar kelihatan cantiknya kau itu, Nak.” Goklas menatap putri ke duanya seraya menyeruput kopi panas yang sudah dibuatkan istrinya. “Nanti, kalau aku berubah jadi manis, banyak pula lelaki yang naksir sama aku, macam mana? Bolehnya aku pacaran?” Herty mengerlingkan matanya ke arah ayahnya. “Siap-siapnya kau, dilibás nanti kepalamu sama bapakmu. Pacaran pula yang kau minta, sekolah kau saja belum kau tamatkan.” Artha memukul pelan bahu putri ke duanya. “Aku tanya sama bapaknya, kenapa pula mamak yang menjawab ....” Bibir gadis itu mencebik. “Melawan pulak kau sama mamak, iya Herty?” Netra Artha menatap tajam putrinya. Tatapan penuh amarah. “Herty ... tak baiknya kau berbicara begitu sama mamakmu. Minta maaf, Nak.” Goklas memang lebih tenang dari pada Artha. Tapi jika ada yang tidak ia suka, maka Goklas akan berubah menjadi pribadi yang sangat keras. “Mak ... maafkan Herty, Mak ... Herty durhaka sama mamak.” Herty menjulurkan tangannya ke arah ibunya. Artha membalas dan memeluk hangat gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu. “Iya ... janganlah kau bicara begitu lagi pada mamak. Mamak sayangnya sama kalian semua. Kalian ber tiga adalah nyawa dan harta berharga mamak dan bapak. Ingat itu, Nak.” “Iya, Mak ....” “Ah ... sudahlah, janganlah bersedih pagi-pagi begini. Jauh nanti rezeki kita. Artha, cepatlah kau hidangkan makanan. Terlambatnya nanti anak-anak ini.” Goklas segera menghentikan adegan haru yang terjadi di rumahnya. Keluarga hangat dan bersahaja itu, baru saja menyelesaikan kegiatan sarapan mereka. Goklas adalah seorang ayah yang tegas dan begitu mencintai anak-anaknya. Pria paruh baya itu, tidak akan membiarkan anggota keluarganya untuk sarapan sendiri-sendiri. setidaknya, dalam sehari, mereka harus berkumpul dan makan bersama-sama di meja makan persegi itu. “Pak, Tari pergi kerja dulu, ya.” Gadis bermanik abu-abu itu, menyalami ayahnya dengan hormat. “Hati-hati kau, Nak.” “Mak, Tari pergi.” Mentari beralih menyalami ibunya. “Iya ... sama siapanya kau. Naik bus atau sama abang kau.” “Naik bus sajalah aku, Mak. Biar si Herty saja yang diantar sama bang Sahat.” Mentari berlalu dari rumahnya, berjalan menuju persimpangan menuju tempatnya bekerja. Mentari adalah seorang sarjana ekonomi, lulusan terbaik dari salah satu Universitas Negeri di kota Medan. Namun, walau bergelar sarjana ekonomi, kemampuan komputer Mentari sangat mumpuni. Gadis itu juga ahli dalam Design Gráfis. Saat ini, gadis itu bekerja di salah satu perusahaan percetakan sebagai tenaga administrasi. “Pagi kak Tari ....” Rekan-rekan kerja Mentari, menyapa gadis itu, ramah. “Pagi ....” Mentari terus berjalan menuju mejanya, meletakkan tas slempang di atas meja seraya mendudukkan bŏkongnya dengan baik di atas kursi yang memiliki empat buah roda. Gadis itu mengibas pelan rambut panjangnya dan mulai menghidupkan perangkat komputer yang kini sudah ada di hadapannya. “Mentari, bisa ke ruangan saya sebentar.” Dion—manajer bagian pemasaran—menyuruh Mentari menemuinya. “Baik, Pak.” Mentari bangkit dan berjalan menuju ruang atasannya itu. “Silahkan duduk, Mentari.” Mentari mengangguk dan duduk dengan baik di depan bosnya. “Ada yang bisa Tari bantu, Pak?” “Begini, dua bulan lagi pemilihan umum wali kota Medan akan berlangsung. Pesanan spanduk semakin banyak. Saya ingin minta tolong, satu bulan ini, kamu tolong ikut membantu mengurus pesanan spanduk yang tidak ada hubungannya dengan pemilu. Apakah bisa?” “Tentu bisa, Pak.” Mentari menjawab dengan senyum merona. “Baguslah, jadi nanti tolong berkoordinási dengan bagian design, bukankah dirimu juga ahli dalam desain-mendesain seperti itu.” “Baik, Pak. Nanti Tari akan koordinásikan dengan bagian design.” “Kalau begitu, kembalilah bekerja. Terima kasih sudah bersedia membantu.” “Ya, Pak. Mentari permisi.” Gadis itu kembali ke ruangannya dan mulai bercìnta dengan mouse dan keyboard yang ada di hadapannya. Menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Mentari masih sibuk dengan pekerjaannya, sebelum ponselnya tiba-tiba berdering. Yogi Design Memanggil ... “Halo, Yogi ... ada apa?” “Maaf kak Tari, bisa ke bawah sebentar? Ada seseorang yang ingin memesan spanduk untuk acara Tabligh Akbar. Aku tengah sibuk mengerjakan banyak sekali pesanan spanduk untuk pilkada.” “Iya, baiklah ... bilang, tunggu sebentar. Kakak akan segera ke sana.” “Baik, Kak. Terima kasih ....” “Sama-sama, Yogi.” Mentari segera menutup sambungan telepon dan bergegas menuju lantai satu, menemui cálon pelánggan perusahaan percetakan itu. “Yogi, mana pelánggan yang akan memesan spanduk?” “Itu orangnya kak, abang yang tengah duduk di kursi tunggu.” Yogi menunjuk seseorang yang tengah duduk di salah satu kursi tunggu yang terdapat di ruangan itu. Entah takdir apa kini yang berlaku pada kehidupan Mentari dan Azzam. Baru tiga hari yang lalu mereka bertemu dan menunggu hujan di salah satu teras rumah warga, berdesak-desakan di dalam bus yang penuh sesak, kini mereka dipertemukan kembali di kantor tempat Mentari bekerja. Jantung Mentari tiba-tiba berdetak kencang. Ia mematung sesaat, menatap pemuda tampan dengan penampilan yang sederhana namun bersahaja. Pemuda yang aroma tubuhnya masih terngiang-ngiang di benak Mentari. Membuat seakan-akan hidungnya selalu mencium aroma wangi dari jaket yang sudah dipinjamkan pemuda itu. “Ma—maaf ... bang Azzam?” Mentari akhirnya mendekat dan menyapa calon pelanggánnya. “Mentari? He—eh, kok ketemu di sini?” Azzam segera bangkit dari duduknya dan tiba-tiba salah tingkah. “I—iya, kebetulan Tari bekerja di sini sebagai staf administrasi. Tapi karena bagian desain sedang banyak pesanan spanduk untuk pemilu, jadi pimpinan meminta Tari untuk membantu bagian desain untuk sementara waktu.” Mentari menjelaskan. Sesekali ia memberanikan diri menatap netra cokelat pekat yang ada di hadapannya, walau ia harus sedikit mendongakkan kepala karena Azzam terlalu tinggi. “Owh ... Iya ....” “Apa abang yang akan memesan spanduk untuk Tabligh Akbar itu?” “Iya ... kebetulan laptop saya sedang rusák, baru kemarin sore. Tiba-tiba heng ketika saya tengah mengetik tesis. Barusan saya antar ke bengkel. Oleh karena itu, saya ingin memesán desain ke sini, karena tidak bisa mendesain sendiri.” Azzam menjelaskan. “Abang masih kuliah?” “I—iya ... saya tengah menyusun tesis.” “Wah ... hebat. Oiya, ayo saya bantu buatkan desain untuk spanduk yang akan abang cetak. Saya sudah punya beberapa contoh spanduk Tabligh Akbar, mungkin cocok dengan selera abang. Atau apa abang punya gambaran desain sendiri? Bisa dijelaskan? Biar nanti Tari coba buatkan.” Mentari menuntun Azzam menuju sebuah meja yang sudah ada perangkat komputer di sana. “Silahkan duduk di sini, Bang.” “Iya, terima kasih.” “Jadi bagaimana desain yang abang inginkan?” Netra itu kembali bertemu. Kini, posisi netra itu sama tinggi karena Mentari dan Azzam sama-sama dalam posisi duduk. Azzam segera menundukkan pandangannya, begitu juga dengan Mentari. Semakin sering netra itu beradu, semakin tidak beraturan irama jantung ke duanya. “Ma—maaf ....” Azzam tiba-tiba jengah. “Hhmm ... jelaskanlah, seperti apa desain yang abang inginkan?” Suara Mentari sedikit bergetar. Gadis itu salah tingkah. Azzam berkali-kali menarik napas untuk mengendalikan perasaannya. Semakin ia berusaha, semakin kencang degup jantungnya. Azzam terus menjelaskan desain seperti apa yang ia inginkan, sementara Mentari dengan jemari lentiknya, berusaha membuat desain seperti yang Azzam inginkan. Setengah jam saling berdiskusi, akhirnya desain itu rampung juga. “Bagaimana, Bang?” “Bagus sekali, Tari. Abang tidak menyangka jika Tari bisa membuat desain sebagus dan semenarik ini. Terlebih, maaf, Mentari bukan Muslim. Tapi bisa membuat spanduk untuk Tabligh Akbar seindah ini? Masyaa Allah ....” Azzam menatap layar komputer dengan tatapan penuh kekaguman. “Bekerja di sini memang harus dituntut bisa segalanya, Bang. Apalagi masalah desain, karena pelánggan mempercayakan produknya kepada kami, tentu menginginkan produknya tampil baik dan menarik.” Mentari tersenyum seraya menatap wajah Azzam yang tengah memperhatikan layar komputer. “Mentari, terima kasih ....” “Untuk apa?” “Untuk Desain ini.” “Hahaha ... bang Azzam bergurau, bukankah ini memang pekerjaan Tari?” Mentari tersenyum renyah, membuat orgán dalam tubuh Azzam semakin merŏnta. “I—iya ....” Azzam jengah. “Mau langsung di cetak?” “I—iya ....” “Kenapa bang Azzam jadi gugup?” “Eh—eh ... tidak. Hhmm ... iya langsung cetak. Tolong cetak sepuluh buah.” Azzam menyugar kepalanya, berusaha mengendalikan hatinya. “Kapan akan dijemput?” “Apa bisa nanti sore?” “Iya, bisa ... jemput saja nanti sekitar jam empat sore.” “Baiklah, terima kasih  ....” Azzam mulai bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja kasir untuk membayar pesanannya. “Bang Azzam ....” Mentari menyapa sesaat setelah Azzam membayar pesanannya. “Terima kasih atas jaketnya, minggu sore akan Tari kembalikan.” Mentari tersenyum hangat seraya berlalu menuju lantai dua. “Ya ...,” gumam Azzam pelan seraya menatap Mentari yang perlahan mulai hilang dari atas tangga perusahaan percetakan itu.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN