Siang yang cerah, seorang pemuda melangkah dengan gagah menuju sebuah masjid tempat ia biasa mengajar mengaji dan tahfiz. Pemuda berkulit bersih berperawakan lembut itu, tampak bersahaja ketika kakinya mulai melangkah masuk ke area masjid Istiqomah. Dari bibirnya yang tidak pernah tersentuh tembakau, terucap sebuah do’a terbaik sebelum dirinya masuk ke dalam rumah Tuhan tersebut.
اَللّٰهُمَّ افْتَحْ لِيْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
Allahummaf tahlii abwaaba rohmatik
Artinya: "Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu"
Pemuda itu melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu dan berjalan menuju mimbar. Satu jam lagi, waktu zuhur akan masuk. Sementara masjid itu masih sepi, belum ada satu pun anak didiknya yang datang. Biasanya anak didik Azzam akan datang sepuluh menit hingga pas waktu azan berkumandang.
Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu mulai mengambil sebuah kitab suci miliknya. Ia mulai membaca huruf demi huruf, kata demi kata dan ayat demi ayat yang merupakan petunjuk dari Tuhan untuk setiap hamba yang beriman dan bertakwa kepada-Nya.
Azzam begitu menikmati kebersamaanya dengan kitab suci terbitan asli Madinah. Kitab suci yang merupakan hadiah dan bekal dari ayahanda tercintanya ketika Azzam pertama kali melangkahkan kaki meningalkan tanah Andalas menuju tanah Melayu Deli untuk menimba ilmu di negeri yang terkenal dengan kesultanan Delinya itu.
Sudah enam tahun lebih kitab suci berukuran A5 itu menemani Azzam. Sudah puluhan kali Azzam menamatkannya dan sudah lebih dari sepuluh juz yang sudah di hafal oleh pemuda itu. Azzam begitu mencintai buku suci itu. Sama halnya seperti Mentari, Azzam juga begitu menjaga kitab suci itu dengan segenap jiwanya.
Tanpa di sadari Azzam, seorang pria paruh baya sudah menatapnya lama dengan perasaan kagum yang tidak terhingga. Suara Azzam yang begitu merdu serta irama yang mendayu, mampu menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya, termasuk ustaz Sofyan.
“Shadaqallahul-'adzim ....” Azzam menyelesaikan bacaannya dan menutup kitab suci itu dengan baik, sebab Azzam mendengar beberapa anak didiknya sudah ada yang datang.
“Masyaa Allah ... nak Azzam, semakin hari bacaan Qur’anmu semakin baik dan semakin merdu saja.” Ustaz Sofyan menghampiri Azzam dan memukul lembut bahu pemuda itu.
“Alhamdulillah, Ustaz ... semua juga berkat bimbingan ustaz Sofyan.” Azzam menyalami pria paruh baya itu dengan takzim.
“Oiya, sudah berapa hafalan surahmu?”
“Alhamdulillah ... juz 20 hingga juz 30 sudah Azzam lancarkan. Insyaa Allah dalam dua minggu lagi, juz 19 akan Azzam lancarkan juga. Sekarang sudah hafal, hanya masih ada beberapa surah yang belum lancar.”
“Masyaa Allah ... hebat, Nak ... Oiya, nanti sore selepas mengajar anak-anak, bapak ingin berbicara dengan nak Azzam, apakah bisa?” Sofyan menatap Azzam dengan tatapan lembut penuh kekaguman.
“Tentu saja, Ustaz ... tapi maaf, tentang apa ya?” Azzam penasaran.
“Nanti saja, lima menit lagi masuk waktu zuhur. Anak-anak juga sudah mulai berdatangan, lebih baik nak Azzam segera berwudu dan melantunkan azan.”
“Thoyyib (baik), Ustaz.”
Azzam bangkit dan segera berlalu menuju tempat berwudu khusus pria. Sementara Sofyan terus menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman. Pria paruh baya itu sudah merencanakan sesuatu untuk Azzam.
Sang pemuda berwajah lembut dan begitu tampan, melangkahkan kaki putih dan bersihnya masuk ke dalam area kamar mandi masjid. Ia melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu seraya mengucap do’a kepada Rabb-nya.
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك من الْخُبْثِ وَالْخَبَائِثِ
Bismillâhi Allâhumma innî a'ûdzu bika minal khubutsi wal khabâitsi
Artinya: "Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari godaan ibl*s jantan dan betina."
Sungguh, Azzam adalah pribadi yang bersahaja. Ia adalah seorang pemuda yang tidak akan pernah lupa mengucap doa setiap melakukan kegiatan apa pun dan juga memasuki wilayah apa pun.
Di usianya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun, tidak sekali pun pemuda itu dekat dengan seorang wanita. Dekat dalam arti kata, menjalin kasih dan cinta.
Tidak, Azzam tidak mengenal yang namanya pacaran. Azzam tidak pernah berbagi cinta dan rangkaian kata-kata dengan wanita mana pun. Sedari kecil, pemuda itu selalu di tanamkan ilmu agama yang kuat oleh ke dua orang tuanya.
Tidak hanya hatinya, tapi juga fisiknya tidak pernah tersentuh benda yang di haramkan oleh Tuhannya. Termasuk tembakau, yang jelas-jelas banyak m*rusak dari pada manfaatnya. Bibirnya, tidak sekali pun tersentuh tembakau dan asap rokok, sehingga bibir itu terlihat bersemu merah dan merona.
Azzam terlihat segar. Wajah tampannya sudah basah oleh air wudu yang mensucikan dirinya dari segala hadas kecil. Kaki kanan pemuda itu melangkah terlebih dahulu ke luar dari kamar mandi. Tak lupa, mulut dan hatinya mengucap do’a setiap keluar dari tempat yang menjadi lokasi ternyaman bagi set*n dan ibl*s yang di laknat Tuhan.
غُفْرَانَكَ الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ اَذْهَبَ عَنّى اْلاَذَى وَعَافَانِىْ
"Ghufranaka. Alhamdulillahilladzi azhaba ‘annil adzaa wa’aafaanii."
"Dengan mengharap ampunan-Mu, segala puji milik Allah yang telah menghilangkan kotor*n dari badanku dan yang telah menyejahterakan."
“Ustaz ... ustaz sudah selesai berwudu?”
Salah seorang anak didik Azzam menghampiri pemuda itu dan menyalaminya dengan takzim.
“Alhamdulillah, sudah. Fadli?”
“Ini baru mau berwudu, ustaz ....”
“Ya sudah, silahkan. Ustaz akan mengumandangkan azan terlebih dahulu. Assalamu’alaikum ....”
“Thoyyib, ustadz. Wa’alaikumussalam ....”
Azzam melangkah masuk ke dalam masjid dan mulai mengumandangkan panggilan cinta untuk setiap hati yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan-nya. Suara yang sangat indah, mendayu dan menggetarkan jiwa. Suara indah itu menggema di sekitar area Masjid.
Begitu banyak para gadis yang terpesona dengan alunan suara indah Azzam. Namun sayang, mereka hanya terpesona dengan suara sang pelantun azan, bukan terpesona dengan panggilan cinta itu.
Beberapa ibu-ibu muda juga tidak henti-hentinya membicarakan ketampanan dan kemerduan suara Azzam. Sekali lagi, semua sangat disayangkan. Kekaguman mereka malah membawa mereka ke dalam catatan amal buruk malaikat yang bertugas mencatat itu. Mereka hanya mengagumi sosok sang pelantun azan, namun tidak terketuk pintu hatinya untuk meninggalkan aktifitas menggosip demi menemui Rabb mereka dan mengadu kepada Rabb sang maha pemilik segalanya.
Anak-anak didik Azzam sudah mulai ramai. Sebagian besar dari mereka sudah datang. Puluhan lelaki yang mayoritas adalah paruh baya, juga sudah berdatangan ke masjid itu untuk menunaikan shalat berjamaah.
Beberapa orang ibu-ibu yang di d******i oleh paruh baya dan sepuh, juga sudah berada di saf bagian perempuan.
“Apa nak Azzam mau mengimami kali ini?” Sofyan menawarkan Azzam untuk menjadi imam.
“Jangan, ustaz. karena ustaz Sofyan sudah ada, lebih baik ustaz saja yang mengimami.” Azzam menolak dengan halus.
“Baiklah ... suruh salah seorang anak didikmu untuk ikamah. Kita akan segera menunaikan shalat zuhur berjamaah.”
Azzam mengangguk hormat.
-
-
-
Hari sudah beranjak sore, semua anak didik Azzam sudah pergi meninggalkan masjid dan kembali ke rumah mereka masing-masing. Di masjid itu hanya ada Azzam, Sofyan dan juga Nuddin—marbut masjid.
“Nak Azzam, bisa kita berbicara sebentar?” Sofyan menghampiri Azzam yang tengah berkemas dan memasukkan semua perkakasnya ke dalam tas ransel miliknya.
“Iya, ada apa ustaz?” Azzam mengikuti pria itu dan duduk di atas karpet di depan mimbar.
“Begini nak Azzam, sebelumnya bapak minta maaf sebab bapak ada pertanyaan yang agak pribadi. Apa nak Azzam sudah memiliki calon istri?”
Deg ...
Tiba-tiba jantung Azzam bergetar hebat mendengarkan pertanyaan Sofyan.
“Ma—maaf, maksud ustadz?”
“Bapak rasa pertanyaan bapak sudah jelas.”
“Belum ustaz, Azzam belum memiliki calon istri. Azzam juga tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Lagi pula, Azzam belum menyelesaikan pendidikan Azzam. Jadi, rasanya belum pantas untuk memikirkan calon istri.” Azzam jengah, pemuda itu menunduk.
“Alhamdulillah ... Begini, nak Azzam. Kebetulan, putri bapak baru pulang dari Kairo. Ia baru menyelesaikan S1-nya di sana. Baru empat hari kembali ke kota ini. Kalau nak Azzam tidak keberatan, bapak ingin mengenalkan beliau kepada nak Azzam.”
Deg ...
Lagi, jantung yang tersebunyi di balik tulang, daging dan otot itu berdebar kencang. Azzam tidak menyangka jika Sofyan akan membicaran hal itu.
“Ma—maaf, ustaz ... Azzam rasa, Azzam tidak pantas. Putri ustaz adalah gadis yang sangat cerdas dan berpendidikan agama yang tinggi. Beliau bahkan lulusan Kairo. Sementara Azzam?” Azzam semakin jengah.
“Jangan begitu nak Azzam, justru bapak bangga dan kagum dengan sederhanaan yang nak Azzam miliki. Otak yang cerdas, pendidikan agama yang baik dan khususnya nak Azzam memiliki bacaan qur’an yang sangat baik. Bapak yakin, nak Azzam bisa menjadi suami yang baik serta bertanggung jawab untuk putri bapak.” Sofyan tidak berhenti menatap pemuda tampan yang ada di hadapannya. Pemuda yang sudah mencuri hatinya.
“Masyaa Allah ... ustaz sepertinya berlebihan memuji Azzam. Azzam hanya pemuda biasa, tidak ada yang spesial di diri Azzam. Azzam juga masih belajar banyak. Apalagi, Azzam masih belum memiliki pekerjaan yang mapan. Azzam takut tidak mampu membahagiakan putri ustaz, kelak.” Azzam masih menunduk, namun sesekali netra cokelat pekat itu memberanikan diri menatap pria yang begitu ia segani.
“Nak Azzam, bapak ini adalah seorang ayah. Bapak memutuskan sesuatu, tentu dengan banyak pertimbangan, khususnya untuk masa depan putri semata wayang bapak.” Sofyan berusaha meyakinkan Azzam.
“Baik ustaz, Azzam tidak bisa menolak permintaan ustaz.”
“Alhamdulillah ... nanti bapak akan atur waktu agar nak Azzam bisa bertemu dan melakukan taaruf dengan putri bapak. Kalau begitu, bapak permisi. Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam ....”
Azzam menyalami pria itu dengan takzim dan mengantar Sofyan hingga pintu masjid.