"Apa kau sudah gila? aku tidak mungkin melakukan hal itu. Yang benar saja, menikah dengan orang yang baru ku jumpai kemarin"ucap Hera memprotes Adrian yang kini mengemudi di sebelahnya.
"Walaupun mam sudah meninggal saat aku berumur 3 tahun, ayahku adalah seorang ayah yang begitu perhatian. Dia begitu jelas mengajarkan padaku tentang menjauhi diri dari orang asing"jelas Hera menolak pernikahan yang di perintah Ibu Adrian. ia berkata seraya menatap sinis Adrian.
"Kalau begitu kita lakukan kawin kontrak. Sebuah perjanjian, menikah hanya dalam kurun waktu 3 bulan setelah itu kita berpisah"
Hera menatap terkejut pada Adrian yang tengah mengemudi tepat di sampingnya. Hera yakin Adrian lulus dari Universitas ternama di Amerika, pria itu begitu kaya, tidak mungkinkan sekolah di Universitas abal-abal sepertinya. Apa pria ini tidak tahu betapa sakralnya sebuah pernikahan, begitu mudah mengatakan hal seperti itu.
Hera bersumpah ia ingin sekali memukul kepalanya dengan sepatu hak tinggi yang sedang dipakainya saat ini, kalau saja ia tak ingat kalau sudah berhutang 50 juta dollar pada laki-laki itu.
"Hentikan"Wajahnya nampak geram dengan kedua tangannya yang terkepal erat.
"Kenapa?!!"protes Adrian saat Hera menghentikannya tiba-tiba. Membuatnya terpaksa menghentikan laju mobilnya di pinggir trotoar.
"Tuan Refano, apa kau tidak takut dengan sebuah karma? Jujur saja, aku mungkin bodoh dalam pelajaran tapi aku tahu sebuah karma yang akan kau dapat bila bermain dengan hal-hal suci"
"Kalau kau mau mati dan langsung ditendang ke dalam pusaran Neraka. Silahkan saja, sendirian. Aku masih mau berjalan ke surga walau dengan menyeret tubuhku tanpa kedua kakiku sekalipun, setidaknya aku tidak akan ditendang ke dalam Neraka sebelum memulai"
Hera keluar dari dalam mobil Adrian, membantingnya hingga menimbulkan suara keras. Tidak peduli dengan gaun tipis miliknya yang diterpa angin hingga terasa ke tulang-tulangnya, atau merasakan nyeri pada kedua kakinya karena memakai sepatu highheels. Hera tidak memikirkan itu semua, enyah dari hadapan pria yang ingin bermain dengan api neraka itu adalah hal yang terbaik.
Adrian ikut keluar dari dalam mobil miliknya, jalanan tidak begitu ramai mengingat waktu sudah menunjukan pukul 21.00 pm malam waktu Seattle, dan ini hari minggu jalanan cukup sepi, setiap orang berada di dalam rumahnya untuk beristirahat dalam mempersiapkan kerja di esok hari. Ia berjalan mendahului Hera untuk mencegatnya hingga kini mereka berhadapan.
"Kalau begitu kau harus mengganti kerugian mobilku"Uang itu lagi batin Hera kesal.
Dia miskin itulah kenyataannya, pria ini sangat kaya, lihatlah betapa megah Rumahnya tadi, Hera rasa uang 100 juta dollar bukanlah hal yang besar baginya, bagaikan mengeluarkan sebuah debu dari balik celana bahan yang dipakainya. Tidak berarti sedikitpun.
"Baiklah aku akan menggantinya, 50 juta dollar kan ?! Beri aku waktu"tawar Hera membuat Adrian terkekeh, wanita ini sedang melucu rupanya. Ia bertolak pinggang dan kini memandang Hera dengan ekspresi datar.
"Uang dari mana? menjual dirimu begitu!"seru Adrian asal membuat Hera menatap Adrian dengan tatapan sengit. Ternyata ucapan pria ini begitu kasar dan menyakitkan. Pria ini baru saja menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita, pantas saja tidak ada wanita yang berada di dekatnya. Sungguh hatimu akan tercabik bila bersama dengannya. Orang ini... aishh .
"HEI~ KAUU.. Tidak peduli bagaimana aku akan mendapatkan uang, kau tak perlu memikirkannya. Menjual diri itu terserah padaku"
Hera begitu kesal, tubuhnya berbalik lalu berjalan meninggalkan Adrian yang berdiri mematung di belakangnya.
"Kalau begitu kembalikan barangku yang kau pakai itu"
Hera menghentikan langkahnya.
Ia mendesis kesal, teganya pria ini. Hera baru ingat kalau segala hal yang dipakainya saat ini adalah barang kepunyaan Adrian, pria itu yang membelikan semuannya sebelum mereka pergi, bahkan ke salon di pagi-pagi buta hanya untuk bertemu dengan orang tuanya.
"Teganya dia"gerutu Hera. Ia mencopot kedua sepatu hak tinggi yang dipakainya dan melemparkannya pada Adrian yang berhasil pria itu tangkap.
"Ambil itu, sepatu menyakitkan seperti itu siapa yang butuh"
"Satu lagi"Adrian melirik ke arah tubuh Hera, gadis itu mengikuti arah pandang Adrian.
Matanya terbelalak dengan kedua tangannya yang tergerak menyilang di depan d**a.
"Teganya kau Adrian Refano"
***
Tokk...
Tokk...
Tokk...
Ceklek>
Hera membuka pintu Apartemen miliknya, matanya melebar saat mendapati seorang wanita paruh baya, namanya Berta yang kini tengah menatapnya dengan pandangan marah. seolah akan menelannya hidup-hidup.
"Minggir"perintah sang bibi. Hera ditarik paksa keluar dari dalam Apartemennya.
"Silahkan masuk tuan kau bisa lihat-lihat"ia mempersilahkan seorang pria paruh baya yang bersama istrinya di depan pintu untuk masuk ke dalam Rumah.
"Apa dia penghuninya, a... aku rasa aku mengganggunya"ucapnya tak enak hati saat melihat Hera.
"Ahh tidak, abaikan saja dia, dia akan segera pindah dari sini"Mata Hera membulat sempurna, perkataan bibi Berta barusan apa maksudnya?, apa dia diusir secara paksa dari sini. Hera hanya bisa berdiri di samping pintu Apartemen, menunggu ketiga orang itu yang kini sedang mengeksplore bagian dalam Apartemen yang di tempatinya.
"Rencananya lusa ya? tenang saja besok Apartemen ini sudah kosong"ketiga orang itu keluar dari dalam Apartemen membuat Hera bersembunyi di dinding yang berbelok ke arah lorong sebelah. Hera terkejut bukan main mendengar perkataan bibi pemilik Apartemen, bagaimana bisa bibi Berta melakukan hal ini padanya.
"Apa benar tidak apa-apa? sepertinya masih ada penghuninya"seru sang istri dari pria tersebut.
"Tidak, jangan dipikirkan. Besok akan kosong jadi tenanglah"
"kalau begitu aku pergi dulu, selama tinggal”
"Hati-hati di jalan bibi Berta terus memandang kepergian kedua orang itu. Melihat mereka sudah pergi Hera keluar dari tempat persembunyiannya, dan menghampiri sang bibi pemilik Apartemen.
"Bibi, apa maksudnya ini?"tanya Hera menuntut penjelasan, saat kedua orang itu sudah menghilang dari hadapan mereka.
Bibi Berta pemilik Apartemen menatap Hera dengan tatapan sinis. "Kau bereskan barang-barangmu dan pergi dari sini, lupakan saja hutang-hutangmu. Pergi saja dari sini, hutang-hutangmu akan ku anggap lunas"
"Tapi bibi.... kau tidak bisa melakukan hal ini padaku"protes Hera dengan wajah memelas.
"Kenapa ?!! Kenapa tidak bisa? Hera, aku membiarkan mu tinggal agar aku mendapatkan uang sewa bukannya menampung mu di sini, di dunia ini tidak ada yang gratis. Cukup 5 bulan aku membiarkanmu untuk tetap tinggal"
"Aku juga butuh makan, butuh banyak biaya untuk menghidupi keluargaku. Cukup sampai di sini, batasnya besok kau harus cepat mengosongkan tempat ini. Kau lihatkan, sudah ada yang mau menempati"ucapnya dengan wajah kesal.
"Aku akan membayarnya saat naskahku di terima oleh penerbit"
"Kapan? Sudah 5 bulan sejak kau berbicara seperti itu padaku. Aku bosan mendengarnya"
"Tapi, bibi...."
"Aku tidak tahu harus tinggal dimana"ucap Hera sendu.
"Itu bukanlah urusanku, cepat kemasi barang-barangmu dan pergi, sebelum aku mengusirmu dengan melemparkan barang-barangmu keluar"
Berta meninggalkan Hera begitu saja, tubuhnya terasa lemas seketika. Cukup dia pernah menjadi gelandangan selama 2 hari sebelum menempati Apartemen ini.
Dan itu sungguh menyiksanya.
"Bagaimana ini”desahnya frustasi.
Hera memasuki Apartemen miliknya, mendudukan dirinya pada kursi meja belajar dengan tubuh lesu bak kayu rotan yang akan segera patah jika kau menyenggolnya sedikit saja.
"Akhhhh... s**l!!"umpatnya kesal. Kedua tangannya terlipat di atas meja, menopang dagunya di sana. Matanya tak sengaja melirik sebuah kartu nama yang berada di samping bukunya di atas meja.
Adrian Refano.
Sebuah alamat Perusahaan tertera jelas di sana. Tidak ada pilihan lain selain menerima tawaran pria ini. Hanya dia, kalau tidak Hera akan menjadi gelandangan di Amerika.
***
"Hah! Aku pasti sudah gila"gumam Hera frustasi.
"Kau mengatakan sesuatu nona?"Seorang pria berjas hitam yang berdiri di depannya menoleh ke arahnya.
"Ah... tidak"jawabnya Hera gugup. Ia mungkin memang sudah gila, bertemu dengan Adrian untuk bermaksud menyetujui pernikahan palsu itu sudah menunjukan betapa gilanya dia saat ini. Tapi Hera tak mau jadi gelandangan. Uang memang segalanya. Tidak ada uang maka kau akan mati.
Hera terdiam, berdiri di belakang pria bersatus sebagai security di sini yang akan mengantarnya ke ruangan Adrian Refano.
Ting>>>>
Pintu lift terbuka, sebuah lorong yang membawanya pada sebuah ruang dengan interior mewah di sana. Ada sebuah meja panjang terbuat dari kaca. Dua orang pria di belakangnya kini beralih memandangnya dengan pandangan bingung.
“Permisi Pak Evan”security itu nampak membungkuk hormat sebelum berkata.
“nona ini ada perlu dengan Tuan Refano”lanjutnya.
Pria berambut pirang itu melirik ke arah Hera dengan pandangan bertanya. Hera menelan salivanya kuat, ini pertama kalinya dia masuk ke dalam sebuah Perusahaan besar dan di pandang aneh oleh staf karyawannya. Apa aneh bertemu dengan Adrian bagi wanita sepertinya?
“Apa kau sudah buat janji nona?”sapanya ramah dengan senyuman di bibirnya. Hera rasa dia ramah bagaimana dia tersenyum saat ini membuat Hera sedikit lega, Hera kira dia akan segera di tendang keluar karena tak pantas bertemu dengan presdir dari Perusahaan besar ini.
“belum hanya saja, jika kau memberitahukan siapa aku dia pasti tidak akan menolak untuk bertemu denganku”
Pria itu melirik Hera dari atas hingga ke bawa membuat Hera risih dengan pandangan itu, apa dia terlihat sangat menyedihkan dan tidak pantas. Seberapa hebat pria itu sampai susah sekali untuk bertemu dengannya.
"siapa nama anda?”
“Hera Allison”
“kalau begitu tunggu sebentar"ucapnya yang kini beralih menekan digit pada telpon yang berada di atas meja.
“............”
“ada seorang wanita mencari anda”
“..............”
“Hera Allison”
“................”
“Silahkan masuk beliau sudah menunggu anda, ayo ikut saya”ucapnya setelah memutuskan sambungan telpon.
“sudah menunggu dia bilang? Dia tahu aku akan ke sini? apa sudah di perhitungkan berapa lama aku akan segera bersujud di kakinya untuk meminta uang”batin Hera menggerutu.
Tokk..
Tokk..
"Masuk"
Pria itu membuka pintu ruangan Adrian dan melangkah masuk dengan diikuti oleh Hera di belakangnya. Pria itu membungkuk, memberi hormat pada pria yang terduduk di sudut ruang dekat jendela dengan papan nama CEO yang menjelaskan siapa dia di Perusahaan besar ini.
"Tuan Refano, ada seseorang yang mencari anda"
Adrian mendongak, sedikit terkejut saat mendapati Hera, gadis keras kepala itu berada di hadapannya. Bibirnya tersenyum kecil, walau ekspresinya nampak biasa saja. Ia menaruh pulpen hitam yang berada di genggamannya lalu menautkan kedua tangannya. Kedua matanya beralih menatap Hera.
“Evan. Kenalkan dulu ini Hera Allison. Si 100 juta dollar”
Hera mengeryit mendengarnya, ia melirik ke arah pria yang mengantarnya masuk, yang juga sedang melihat ke arahnya dengan senyum di bibirnya.
“jadi kau si 100 juta dollar. Ckck senang bertemu denganmu, namaku Evan”ia mengulurkan tangannya agar di jabat oleh Hera. Ia menyambut uluran tangan Evan dengan kaku, sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Sekertarisnya mengenalnya, apa dia jadi terkenal setelah merusak mobil Ferari seorang Ceo seharga 100 juta dollar.
“kalau begitu kau boleh pergi Evan”
“Okey”Pria itu tersenyum pada Hera dengan ramah sebelum pergi, dan meninggalkan Hera dan Adrian di sana. berdua.
"Silahkan duduk"ucapnya menunjuk sofa hitam yang berada di dalam ruangannya, membuat Hera bergerak mendudukan dirinya di sana, Adrian bangkit dari tempatnya dan pergi menuju sofa dan ikut mendudukan dirinya di hadapan Hera.
"Baru 3 hari kau sudah kembali datang, wow cepatnya. Sudah memikirkannya baik-baik ? Jadi apa jawabannya"ucapnya tanpa basa-basi membuat Hera mendengus sebal. Hera yakin pria ini pasti sedang tertawa bangga atas kemenangan yang baru saja dia dapatkan.
“Apa kau sudah memperhitungkan aku akan datang dan menyerahkan diriku untuk menjadi bonekamu?”
“tidak ada yang bisa menolak uang. Bukan bergitu nona Allison”ucapnya dengan senyum remeh yang nampak begitu menyebalkan di mata Hera.
“Sekarang katakan padaku. Kau bersedia jadi istri kontrakku?”
Hera menarik nafas dalam dengan rakusnya, yang kemudian menghembuskannya dengan kasar.
“haruskah kau bertanya lagi setelah kedatanganku ke sini!” Adrian terkekeh, cukup senang membuat wanita itu kesal.
“Pertama, aku ingin mengembalikan ini padamu, terima kasih sudah membiarkanku untuk tidak pulang tanpa busana"
Hera menyerahkan sebuah tas kecil berisi gaun yang diberikan Adrian kepadanya kemarin malam. Ya kemarin malam Adrian tidak jadi memintanya dan dengan sikap baik hatinya yang cuma sedikit itu, dia membiarkan Hera pulang dengan pakaiannya tanpa sepatu atau sendal jepit itulah kenapa Hera menyebutnya kebaikan cuma sedikit.
"Ya.. aku memang orang baik" Hera mendesis, pria ini benar-benar percaya diri.
"Dan yang kedua. Hah! Aku rasa aku sedikit berminat. Kira-kira apa keuntungan yang kudapatkan untuk melakukan hal ini?"
Adrian terkekeh, jari-jarinya saling bertaut. Menatap penuh minat pada sang gadis di hadapannya. Ucapannya barusan seperti menantangnya untuk bertarung.
“kita sama-sama membutuhkan di sini. Kau sedang kesulitan dan datang padaku untuk meminta uang. Jadi rendahkan sedikit nada bicaramu yang terdengar menyebalkan itu”desis Adrian, Hera menghela nafasnya, pria itu benar. tapi ayolah, Hera sedang mencoba menutupi rasa malunya sekarang.
“Baiklah maafkan aku. Apa jelas sekali kalau aku sedang membutuhkan uang?”
Hera menjadi penasaran karena pria itu seakan begitu tahu tentang dirinya yang sedang membutuhkan uang.
“Terlihat jelas di wajahmu”ucap Adrian membuat Hera mendengus sebal.
"ku katakan padamu, saat menikah nanti kau akan tinggal di rumahku, lalu saat kita bercerai rumah itu akan menjadi milikmu"
"Apakah aku akan dibayar?"
Adrian mendengus, wanita ini benar-benar mata duitan.
"Ya, selama 3 bulan aku akan memberikan 50 juta dollar padamu"
"Tapi, hanya setelah hubungan ini berakhir, aku tidak mau kau lari membawa uangku. Setelah kita sepakat, kau akan menandatangani surat perjanjian di atas materai”
“baiklah. Aku setuju”
“akan ku ambil surat perjanjiannya. tunggu sebentar”Adrian bangkit dari duduknya dan pergi menuju meja kerjanya tak butuh waktu lama karena kini dia sudah kembali duduk dengan membawa map merah dan pulpen yang di taruhnya di atas meja.
“kau benar-benar sudah menyiapkannya ya ?”
Hera tak habis pikir surat itu sudah ada di sana, sepertinya pria ini sudah menduganya jika ia akan datang dan meminta belas kasihnya.
“Tanda tangani ini kalau setuju,.. ada yang kurang jelas silahkan bertanya, kita akan menyimpannya masing-masing 1 lembar"
Hera mendesis, tangannya meraih kertas yang berada di atas meja Adrian dan mulai membacanya satu persatu.
Ada beberapa pernyataan di sana.
1. Harus mematuhi seluruh peraturan di bawah ini, tidak boleh dilanggar.
2. Tidak boleh melakukan kontak fisik.
3. Tidak boleh berpacaran dengan orang lain selama pernikahan ini berlangsung.
4. Tidak boleh saling jatuh Cinta.
5. Dan Park Hera harus melakukan kerja rumah seperti layaknya seorang istri karena di gaji. Memasak, mencuci dan lain-lain, harus dilakukan dengan tangan sendiri.
"Apa ini! Apa ini tidak salah ?"protesnya setelah membaca isi dari perjanjian tersebut.
“Kenapa ? Aku melakukan semuanya, mencuci, memasak"papar Hera tak percaya.
"Ya. kau istriku dan aku menggajimu ingat, kalau kau tidak mau silahkan saja. Aku tidak memaksa"
Kalau bukan karena hidupnya yang terjepit saat ini, Hera bersumpah tidak akan pernah mau menginjakan kakinya di sini, ...Hera tidak akan pernah mau.
Tangannya bergerak, menanda tangani kertas tersebut dan langsung diikuti oleh Adrian.
"deal, sekarang ikut aku.. mam sudah menunggu untuk melakukan fitting baju"
“sekarang?”ucap Hera terkejut, bahkan ia hanya bisa mengikuti Adrian ketika pria itu menarik tangannya dan membawanya pergi.