Dihyan menatap kosong peti didepannya yang sudah terbakar penuh. Ia mengusap matanya dengan punggung tangan sebelah kiri dan tangan sebelah kanannya masih memegang obor dengan api menyala.
Zafhira dan Fredella menepuk- nepuk pundak Dihyan, seakan mencoba mengirim kekuatan untuk sahabatnya.
Sisa abu itu kini sudah dimasukkan ke dalam guci dalam pelukan pria yang telah menjadi yatim piatu itu." aku akan ke sungai Darwali untuk mengalirkan abu ini. Sama seperti abu ayah dulu." ucap Dihyan dengan suara serak. Sejak kemarin ia terus menangis dan menjerit. Rasa sesak dalam dadanya tak kunjung reda, malah menimbulkan rasa nyeri yang amat sangat.
“Biar kami antar.” Zafhira langsung menuju mobilnya yang berada di pelataran, lalu ia membawanya ke dekat Dihyan. Dihyan dan Fredella pun masuk ke dalam setelah Dihyan berpamitan pada keluarganya.
Sebenarnya bisa saja Dihyan menghanyutkan abu sang Ibu di sungai Brangga ini. Tapi ia ingat permintaan sang Ibu ketika ayahnya meninggal beberapa tahun silam. Saat itu Ibu menangis meraung- raung karena ingin terus bersama ayah dan berharap jika meninggal nanti dia akan bertemu suaminya di sungai Darwali.
Jarak sungai Brangga ke sungai Darwali cukup jauh. Memakan sekitar dua jam perjalanan. Sungai yang dianggap suci itu kini sudah mulai terlihat. Airnya yang kebiruan ditambah suasana pedesaan yang kental beserta kuil- kuil yang berada disekitarnya, sedikit membuat hati Dihyan damai. Ia pun turun dari mobil milik Zafhira, melangkahkan kakinya menuju tepi sungar Darwali dengan memeluk guci abu sang Ibu.
Zafhira dan Fredella menyusul dibelakang Dihyan. Mereka hanya berdiri di tepi sungai sambil memperhatikan Dihyan yang berjalan semakin ke tengah sungai, lalu dibukanya penutup guci abu sang Ibu dan ia menuang abunya hingga abu itu mengalir di sungai Darwali. Pria itu mengambil air disana dengan telapak tangannya dan diusap ke kepalanya. Berharap segala keberuntungan dari sang Ibu bisa ia miliki meskipun Ibunya telah kembali ke sisi dewa.
Dihyan kembali ke tepi, menghampiri Zafhira dan Fredella yang menatap sendu kearahnya. Ia sungguh tak suka dengan tatapan itu tapi juga tak berdaya kini. Ia jatuh terduduk dibebatuan sungai Darwali, menutup wajahnya dan menangis lagi.
“Sudah, Dihyan. Ibumu sudah tenang. Kalo kamu seperti ini terus yang ada Ibu kamu tidak tenang disana.” Zafhira berusaha menghibur sembari memeluk pundak sahabatnya.
Fredella mengulurkan tangannya dan menepuk pundak kekasihnya,” Zafhira benar. Kamu masih punya kami. Masih punya keluarga kami. Keluarga kamu pun pasti akan mensupport kamu.”
Dihyan masih terisak dengan sisa- sisa kesesakan dalam rongga dadanya. Menyadari satu- satunya orang yang selalu mendukungnya dan menjadi alasan kekuatannya selama ini mendadak pergi dan tak akan kembali. Padahal dulu tanpa sang Ayah, ia merasa perlu menjaga sang Ibu dengan baik. Walau sebenarnya Ibunya lah yang banyak berjuang sendirian ditengah ekonomi mereka yang semakin buruk. Ditambah para sepupunya yang memiliki kondisi ekonomi tidak jauh berbeda. Membuatnya berpikir keras untuk selalu mendapat beasiswa dan prestasi di sekolah demi membahagiakan Ibunya.
Ibu adalah orang yang paling bahagia ketika Dihyan pulang membawa berbagai piala dan medali hasil olimpiade maupun olahraga. Bahkan kelulusannya dengan nilai sempurna harusnya disambut dengan sang Ibu seperti biasa, sayangnya kali ini Ibunya menyambut hari bahagianya dengan cara yang berbeda. Yang bahkan tak pernah Dihyan bayangkan sebelumnya.
……………
Selama masa berkabung, Dihyan lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Berkali- kali ia tanpa sadar memanggil sang Ibu ketika keluar kamar saat baru bangun tidur. Namun yang dilihatnya adalah sekelompok keluarga besarnya yang menatapnya dengan sendu. Atau Fredella dan Zafhira yang semakin sering kesini seakan menunggunya selesai dari masa berkabung.
“Kamu belum makan lagi. Udah dua hari kamu makannya sedikit. Nanti kamu sakit.” Ucap Fredella sambil membawa sepiring nasi beserta lauk pauknya.
“Iya, Dihyan. Sebentar lagi kamu akan mulai kuliah juga. Jika kamu begini terus, bagaimana kamu bisa menjalani kehidupan kamu?” Zafhira ikut angkat bicara karena mulai putus asa dengan keadaan sahabatnya yang semakin memburuk.
“Apa kalian pernah kehilangan seperti aku? Ketika satu- satunya penyemangat hidup kalian mendadak pergi. Tidak akan kembali. Apa mudah bagi kalian untuk bangkit dan bersikap seperti biasa seolah kehilangan bukan suatu hal yang penting?” Dihyan malah tersenyum sinis dengan membelakangi sahabat- sahabatnya.
“Kami memang tidak pernah kehilangan. Tapi kita hidup dimana kehilangan akan menjadi takdir setiap orang. Aku, kamu, bahkan Fredella. Kami punya waktu masing- masing untuk merasakannya. Mungkin Tuhan tau kamu adalah pria yang kuat makanya kamu lebih dulu diberi rasa kehilangan seberat ini. Tapi Tuhan tau kamu mampu untuk bangkit kembali. Harusnya kamu bisa berpikir positif dengan takdir yang datang. Bukan malah merenung atau menyalahkannya. Mau kamu merenung selama apapun, Ibu kamu sudah di surga. Jadi biarkan dia bahagia dengan tenang.” Ucap Zafhira dengan nafas sedikit sesak karena bicara panjang lebar dengan emosi.
“Nyatanya aku tidak sekuat itu.” Dihyan menunduk sambil meremas tangannya sendiri.
Fredella dan Zafhira berjalan mendekat kearah sahabat mereka yang kini duduk di kursi yang menghadap ke jendela kamarnya. Mereka memeluknya dari belakang,” untuk itulah kami diciptakan. Kami disini yang akan menguatkan kamu.”
Dihyan mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Entah sudah berapa banyak air matanya yang keluar, tapi sesak itu tidak kunjung reda. Ia berbalik dan memeluk kedua sahabatnya. “Terimakasih.”
………….
Zafhira mengusap telapak tangannya sambil meniupnya sesekali, demi mencari sebuah kehangatan. Ia paling malas jika sudah melakukan shooting di pegunungan seperti ini. Apalagi kalo bukan shooting video klip terbaru Rujana dengan vokalis kerennya yang terkenal, Devdan. Gadis berambut lurus kecoklatan itu baru saja selesai take adegan dalam video klipnya. Meski hanya berjalan- jalan di sekitar gunung tapi karena kostumnya yang kurang bahan ini malah semakin menyiksanya. Kenapa juga kostumnya harus setipis ini dan dilakukan di pegunungan? Memangnya lagu ini didedikasikan untuk orang yang ingin bunuh diri kedinginan diatas gunung?
Kalo bukan karena ayahnya yang memaksa, mungkin Zafhira akan malas dan memilih tetap menjadi model majalah seperti biasa. Tapi Ayahnya, Reyan Azrana menginginkan putri satu- satunya ini terjun lebih dalam ke dunia hiburan sebelum didebutkan di Convolywood dengan naungannya. Tentu ayahnya tak ingin anaknya debut begitu saja tanpa bekal keahlian. Sehingga pria paruh baya yang masih mendedikasikan dirinya sebagai sutradara film itu menyuruh Zafhira mencoba segala hal soal dunia hiburan. Jika Zafhira sudah terkenal di bidang modelling, maka dia harus terkenal juga setelah debut di video klip. Baru setelah itu Reyan akan mengajaknya untuk shooting film layar lebar. Tentu demi menaikkan nama baik keluarganya yang terkenal dengan berbagai actor dan actris yang banyak bermain film. Tentu dengan acting yang mumpuni. Tidak asal debut apalagi hanya modal nama keluarga.
Zafhira merasakan sebuah mantel tiba- tiba menutupi punggung telanjangnya, membuat gadis itu sedikit mendapat kehangatan. Ia mendongakkan kepalanya, melihat Devdan kini menatapnya dengan senyum yang mempesona. Pria yang lima tahun lebih tua darinya itu tampak begitu rupawan. Apalagi dengan fakta jika dia adalah vokalis paling mempesona di Convodia, dengan rating hampir tertinggi. Padahal baru lima tahun debut.
Devdan termasuk pria mandiri yang berjuang dari nol dengan anggota grup musiknya. Benar- benar dari bawah hingga ayahnya melihat potensi pria itu saat casting pertama kali untuk backsound salah satu filmnya. Hingga hari ini lagu- lagu Rujana hampir selalu jadi langganan film yang ayahnya sutradarai. Tapi Zafhira baru kali ini ikut dalam shooting video klip bahkan berinteraksi langsung dengan sang vokalis di video klipnya.
“Maaf ya, jadi bawa kamu ke tempat seperti ini.” Ucap Devdan dengan sopan. Tidak seperti vokalis grup music lain yang kadang terlihat angkuh apalagi jika sudah terkenal. Tapi Devdan adalah vokalis teramah se- Convodia. Dia bahkan selalu menerima orang- orang yang mau berfoto dengannya saat di jalan. Tidak seperti artis- artis lain yang membawa bodyguard banyak.
Zafhira tersenyum,” tidak apa- apa kok. Cuaca disini bagus.”
Devdan tersenyum menyadari kecantikan gadis didepannya, anak dari sutradara terkenal.” Lain kali boleh bertemu diluar kepentingan shooting? Dinner misalnya.”
Wajah Zafhira mendadak memerah, ia mengangguk dengan senyum malu- malu.
Manis.