Al-Kahfi
Aku pulang dari kantor langsung masuk ke kamar dan ternyata istriku sudah berada duluan di dalam.
"Malam ini diundang Papah dan Bunda ke rumahnya."
"Kok mendadak ada apa?" tanyanya kaget, menjeda tangannya yang menarik reseleting bajunya ke atas. Mulus, bersih, sempurna. Sudah aku miliki tetapi tidak dapat izin untuk menjamahnya, nasib ya nasib.
"Sasha dilamar orang Arab."
"Wah, mantep tu ... kok kita baru dengar ya, dijodohin atau apa?"
"Gak tahu, mungkin udah lama tetapi baru akan resmi sekarang, jadi kamu pakai baju yang sopan dan tertutup, hijab atau shawl ada 'kan, jangan bilang gak ada karena aku malas mau keluar lagi."
"Huhhh!"
Terdengar helaan napas kasar darinya. Aku ngerti dia belum bisa hijrah karena tuntutan karier. Tetapi ini demi kesopanan dan kekompakkan keluargaku jadi dia harus nurut.
"Sesekali loe insyaf gitu, susah amat nutup aurat, emang bakal gak laku lagi kalau udah berhijab?"
Dia mendelik kesal dan berjalan ke arahku.
"Aku sudah dikontrak sesuai dengan keadaan sekarang kalau aku pakai hijab pas syuting, nah ... aku bakal kehilangan kontrak begitu saja."
"Uang lebih penting ya dari pada iman?"
Dia menarik dasiku dan meletakkan satu telunjuknya di depan bibirku. " Itu bukan masalah uang, suamiku. Tetapi itu masalah hobi di depan layar," ucapnya dengan nada merayu berkata tepat di depan bibirku, rasanya tanganku gatal ingin segera menarik pinggulnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang, menindihnya dan mencumbunya hingga dia kehabisan napas tapi sayangnya ketukkan di pintu membuat khayalanku buyar seketika.
Pintu aku buka dan, " Mas Afi, ada tamu yang kemarin tetangga sebelah."
"Oh, iya suguhi camilan dan minuman ya Bi."
"Iya mas."
Mataku melirik ke arah istriku ini dan dia bertanya. "Serius?"
"Well, let we see?"
Aku keluar lebih dulu dari kamar, diikutinya dari belakang dan kami jalan beriringan menuruni tangga.
Dari bawah aku sudah mendapatkan tatapan sinis dari sepasang pengantin baru itu. Jika sang suami mungkin iri melihat aku dengan kekasihnya terlihat kompak tetapi yang aku pertanyakan kenapa istrinya melihatku tidak suka.
Kami berdua duduk bersebrangan dan percakapan mulai terjadi. Aku bisa memaklumi si wanita bercadar ini. Yang pastinya seorang wanita muslimah sejati tidak ingin bercerai dan memilih poligami karena mengharapkan imbalan di akhirat.
Perdebatan pun mulai terjadi
"Jika anda tidak mau bercerai dan memilih poligami, saya juga demikian ... tidak akan bercerai dan membiarkan saja poliandri toh ... semua ini rahasiakan hanya kita berempat yang tahu."
Istriku menggelengkan kepalanya kuat sedangkan Qienan senyum-senyum berbanding terbalik dengan sang istri.
Wanita bercadar ini semakin menajamkan matanya padaku, dia marah ... sangat marah tetapi matanya itu malah terlihat seksi, aku suka.
"Anda anak seorang ustadz, apakah poliandri itu dibenarkan dalam ajaran agama kita."
Dia kenal siapa aku ternyata atau karena pertemuan kami kemarin.
"Jangan bawa-bawa nama orang tua saya, ini saya bukan beliau, jadi apa pun yang saya lakukan adalah dosa saya dan bukan mereka yang akan menanggungnya."
Dia terlihat semakin kesal, matanya itu seperti ingin menyedot diriku ke dalam sana. Wanita bercadar yang temperamen ternyata.
Selain matanya yang seksi, suaranya juga seksi dengan R yang bergetar membuat jiwaku tergelitik jika dia bicara lantang tanpa sungkan menyembunyikan kekurangannya itu.
"Baik, kalau begitu tapi saya tidak akan pernah mengizinkan adanya perzinahan di rumah yang saya tempati!"
Dia berdiri dan, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawabku dan tersenyum padanya.
Aku jadi penasaran, bagaimana rupa dibalik cadar itu. Miliknya, gerak bibirnya atau ah ... sialan, otakku kenapa ngeres begini.
"Hei, naksir?" tanya Nyonya rumah ini padaku dengan lirikan mata besarnya.
"Matanya seksi, tajam seperti pisau yang akan menghunus lawan, keren. Kalau gue jadi Qienan, gue hajar di ranjang habis-habisan sampai matanya itu melemah dan kerlap kerlip kayak lampu disko."
"Dasar m***m, kak Qienan gak kayak kamu!" katanya dan melempar bantal kursi ke aku.
"Masa' tapi dia bilang loe udah dicicip seluruh tubuh sama dia, apa namanya kalau gitu, Qienan itu penakut gak gentle. Cih, cowok kayak gitu dicintai."
Aku berdiri dan malas berdebat lagi dengannya. Nanti malam perlu tenaga untuk menghadapi pertanyaan demi pertanyaan dari 3 bidadari cantik papah.
***
"Fi, kita pakai baju muslim atau baju pesta."
"Cewek repot amat sih pakai yang sopan."
"Lah, mau dibilang pasangan berbahagia gak ... kompakkan dong, seragam kek gitu."
Dasar Ratu Drama semua dia mau setting. Emangnya hati aku bisa di-setting. Tetapi sebelum semua ini berakhir boleh dong aku manfaatin kesempatan dalam kesempitan selagi dia dalam genggamanku.
"Terserah, emang bisa beli baju couple sekarang. Sisa 2 jam lagi, habis maghrib kita kesana."
"Makanya kalau ada apa-apa telepon dong, biar aku bisa cepat carinya."
Aku tinggalin saja dia yang ngedumel gak jelas. Mulutnya memang bawel, suka ngeselin.
***
"Gantengnya suamiku," ucapnya di depan wajahku dan matanya memandangi bibirku.
Ingin ciuman aku? Sorry aja, aku gak akan memberinya lagi ciuman secara gratis.
"Minggir, loe minta cium?"
"Siapa tahu kamu pengen, aku kasi deh ... kasihan juga 'kan mupeng."
Aku tertawa dan menjaga jarak darinya. Emangnya aku cowok apaan. Dia gak mau jadi istri yang sesungguhnya, aku pun demikian.
"Mending gue cium guling La ... dari pada cium loe yang hanya membayangkan Qienan."
Aku jalan lebih dulu darinya dan dia mengejarku, menggandeng erat lenganku dan menyandarkan kepalanya dibahuku.
"Dulu sebelum kak Qienan menjajah aku ... aku pengen loh dekat sama kamu tetapi kamu cuek banget, dan aku ilfeel saat kamu bilang mantannya Malinka, bucin lagi. Akhirnya aku hilangkan rasa pengen untuk menyukai kamu lebih dalam. Eh gak taunya Bunda bilang kamu gak pernah jadian sama Malinka dan gak akan pernah direstui karena mamanya Malinka pelakor."
Aku menghela napas mendengar ceritanya. Kenapa sih cewek selalu gengsian kalau tiba-tiba jatuh cinta atau suka sama cowok yang ternyata mantan dari musuhnya atau bawahannya, padahal kan aku gak bekas. Gak pernah celup sana-sini.
"Fi, kamu dengar gak tadi aku bilang apa?"
Sebelum aku mulai nyetir, aku harus tuntaskan topik yang dia pertanyakan ini.
"Rasa yang udah lewat gak perlu dibahas. kecuali loe bilang, 'Fi buat aku jatuh cinta sama kamu, kamu bisa gak', nah kalau itu aku semangat."
"Emang bisa?"
Eh dia nantangin, aku tarik napas dan hembuskan perlahan.
"Lupakan Qienan maka gue akan coba buat loe tergila-gila sampai gak bisa lepas dari gue."
"Caranya?"
Dia memancing seorang pria dewasa yang otaknya bukan lagi memikirkan hal positif melainkan nafsu jika disuguhi tampilan indah dan memikat ciptaan Tuhan ini.
Aku mendekatkan wajahku padanya, membelai pipi, turun ke leher, menggaris belahan d**a lalu mendekatkan bibir ke bibirnya dan dia menutup mata dengan mulut yang terbuka sedikit seolah memberi celah padaku untuk melumatnya.
"Sorry ciuman gue hanya untuk istri tercinta bukan istri yang mendua kayak loe."