Al-Kahfi
Sudah 3 bulan berlalu dan aku masih bertahan menjadi seorang suami sah yang tidak dianggap suami bahkan hak pun tidak aku dapatkan.
Kami saling menjaga jarak satu sama lain, dia tiap hari bangun siang menghindari aku yang selalu sarapan di meja makan.
Dia mungkin tersinggung saat aku mengatakan bahwa, "Gak sopan jika menelpon kekasih hati di pagi hari yang mana diantara kalian terikat pernikahan, kalau aku mah sebagai seorang cowok santai saja tetapi si wanita, istri dari kekasih loe itu pasti menderita."
"Ok, sorry gak gitu lagi."
"Kalau mau minta maaf sama dia sana ke rumahnya 'kan kamu bukan pegawai kantor yang harus datang tepat waktu jadi punya waktu 'kan sekarang so ... datangi dia, anggap saja silaturahim," ceramahku keesokan harinya setelah tragedi itu.
"Ya elah Fi, itu mah sama aja aku membenarkan kalau kami masih menjalin kasih, resek banget sih kamu. Yang penting 'kan aku gak lagi, gak nelepon suaminya lagi. Eh ... tapi kok kamu peduli sih, jangan-jangan kamu naksir ya sama dia," sahutnya asal diiringi dengan picingan mata yang mencurigai aku.
"Emang kenapa kalau aku suka, kamu cemburu?"
"Cihhhh, sorry saja, ya gak lah ... silakan kalau kamu mau," katanya dan dia langsung pergi meninggalkan meja makan begitu saja. Dasar istri gak sopan, adakah adzab untuknya.
Dan sekarang batang hidungnya gak juga nongol padahal aku lagi mager, hanya pengen rebahan tanpa mengerjakan apa-apa.
Berenang mungkin lebih baik dari pada menunggunya turun untuk sarapan. Aku menyeburkan diri ke dalam air yang terlihat segar membiru ini.
Bergerak dan terus bergerak sampai akhirnya suara serak serak parau itu berteriak memanggil namaku.
"Al-Kahfi ... suamiku ... aku mau pamit."
Aku berhenti mengepakkan kedua tanganku dan menepi ke ujung kolam hanya untuk melihatnya.
"Aku mau pamit," ulangnya dengan kedipan mata genit.
"Meninggalkan dunia ini?" tanyaku dan dia berdecak sebal padaku.
"Sialan, mau ke Korea ... aku syuting di sana mungkin beberapa minggu."
"Beberapa? bilang saja sebulan, kamu dengan si dia?"
Dia tidak menjawab hanya memainkan kedua alis matanya. Dan sudah dipastikan mereka bakal honeymoon di sana. Kalau sampai dia hamil aku gak mau turuti kemauan ngidamnya.
"Dah ... suamiku sayang ... jaga rumah ya, jangan kangen sama aku."
"Ckkk."
Aku kembali berenang dan dia teriak kembali.
"Fi ... HP kamu bunyi."
Astagfirullah, ada aja pengganggu. Terpaksa aku harus keluar dari kolam renang dan berjalan masuk.
Eh dia terpaku ditempat memperhatikan aku dari atas ke bawah ... bawah ke atas.
"Kenapa, pengen lihat yang di dalam," tawarku dan dia menggelengkan kepala.
"Serem, gak muat mulut aku kayaknya." jawabnya cepat dan langsung berlalu dari hadapanku.
Serem apanya, masih perjaka loh aku ini jadi betapa beruntungnya istriku jika mendapatkan aku.
"Halo, ya Bund --"
Ternyata wanita terkuat dan terbaik di dunia ini yang menelpon aku, dia adalah Bunda, mama yang paling jago dalam segala hal. Menjaga hati agar tidak tersakiti lagi dan bagaimana mencari wanita seperti dia. Gak matre, gak banyak nuntut dan selalu berusaha tanpa bergantung dengan orang lain.
"Tamasya dengan siapa ... O ... iya ... oke Bunda, sip."
Setelah menerima telepon aku jadi malas masuk ke dalam air lagi, pengen tiduran saja di bawah sinar mentari pagi, mumpung masih awal.
Segelas s**u dengan roti isi daging sapi telah siap diatas meja samping bangku malas ini. Aku menikmati segarnya udara dan angin yang sepoi-sepoi.
Arah pandang mataku menatap bangunan tinggi yang berada dihadapanku ini, yakni rumah tetanggaku.
Aku menyipitkan mata ketika ada sebuah bayangan dibalik kaca transparan itu, ada yang mengintip aku, si ART atau si Nyonya rumah.
Tapi tak lama kemudian ... hanya sebentar, aku jadi malu jika keseksianku dilihat orang lain. Aku ini masih perjaka ting-ting, mahal pastinya.
Beruntung wanita yang mendapatkan aku, harusnya si artis itu berbangga hati mendapatkan pria seperti aku bukan seperti Qienan yang meragukan.
Aku pernah lihat dia masuk hotel bersama seorang wanita bayaran, entah terjadi atau tidak, by the way rata-rata pria ber-uang itu selalu pengalaman, mungkin beberapa yang tidak seperti aku.
Apa sih kurangnya aku? Gak ada deh sepertinya, silahkan cari yang ganteng banget, kaya banget baik materi maupun hati, pintar banget, baik banget lalu aku kurang apa. Kurang jeli mata Lala melihat keseluruhan dari diri aku ini.
Setelah puas berjemur dan panas semakin terik, aku beranjak dan melilitkan handuk menutupi bagian bawahku yang luar biasa. Si Lala lelot itu aja bergidik serem berarti punya aku lebih perkasa dari Qienan.
Aku berjalan memasuki kamar dan bergegas untuk bersiap bertemu dengan keluarga besarku. Bunda tadi menelpon mengajak bertamasya di taman.
Ketika lagi asyik memilih baju mataku tak sengaja melirik jendela yang tertuju pada jendela seberang rumah tetangga.
Dia, si wanita judes bercadar itu. Dia berdiri di depan jendela melihat ke arah kolam renang. Jadi dia yang mengintipku tadi, ya Allah ... luar biasa kamu Deanisa, ternyata ya.
Dia kaget saat melihat aku yang sedang berdiri menatapnya dari kejauhan lalu menutup gorden segera dan melarikan diri.
"Ketahuan, awas saja nanti ya."
Setelah berpakaian rapi dan casual aku langsung keluar kamar sambil berteriak --
"Mbok ... Mbok --"
"Iya mas, ada apa Mas?"
"Mbok libur ya 1 bulan, boleh pulang ke rumah."
Wanita ini kelihatan terkejut lalu menundukkan kepalanya, "Kalau libur saya gak digaji ya mas."
Aku tertawa geli mendengar ucapannya terlebih melihat ekspresinya yang memelas pasang wajah sedih.
Logikanya orang yang tidak bekerja mana bisa terima gaji tetapi khusus untuknya gak mungkin aku setega itu.
"Mbok tetap digaji kok atau mau saya bayar sekarang jadi biar liburannya tenang."
See, mana ada orang sebaik aku, jika ada pun belum tentu ganteng dan pintar seperti aku.
"Serius mas, beneran mas."
Aku pun mengeluarkan dompet dari saku celana dan menghitung lembaran merah di dalam sana sejumlah gajinya sebulan ditambah bonus 25 persen dari gajinya padahal minggu lalu dia baru gajian.
"Ini, serius 'kan ... saya gak bohong' kan ya Mbok. "
Dia bersyukur seraya berdo'a mengangkat kedua tangannya ke atas, "Alhamdulillah, Wasyukurillah ... semoga rumah tangga mas akur dan damai dan semoga dapat momongan cepat, Aaamiin."
Aku tertawa mendengar do'a nya, bagaimana bisa mau dapat anak ... nyetor aja nggak.
"Ya sudah mbok, saya pergi dulu ya."
"Iya Mas."
Aku berjalan keluar dan disambut supirku yang sedang menantiku. Kadang dia manggil Mas kadang Bapak, nah suka-suka dia lah.
"Pak nanti antar si Mbok pulang ya."
"Siap Mas, ini Mas ada paket."
Aku mengernyit melihat sekotak barang diserahkan padaku dan ketika melihat alamatnya.
"Wah, Pak ini punya tetangga sebelah bukan punya saya. "
"Oh, ya sudah Mas saya saja yang berikan."
Tapi aku langsung mencegahnya, "Saya saja Pak, sekalian silaturahim," ini kebetulan yang sangat indah, Deanisa ... aku datang.