Si pemarah

1013 Kata
Al-Kahfi Semalam aku puas memanfaatkan peran sebagai pengantin baru yang lagi hangat-hangatnya. Menciumnya, mencium hanya di bagian bahu polosnya atau kadang aku menggosokkan hidungku dilehernya yang mulus, memeluk bahkan meraba-raba. Coba kalau sekarang, sebelah telapak tangannya bisa mendarat diwajah tampanku. "Suapin sayang ... hehhehe, istri kamu pasti buat sarapan yang enak buat kamu karena sepertinya dia istri rumahan yang bisa mengurus suami." Dia selow aja ngomong gitu, aku dianggap patung yang gak mungkin bisa komplain. Dia melakukan perselingkuhan di depan mataku intinya. Dan aku menanggung dosa-dosanya. Ya Allah kalau Papah tahu, dia pasti diceramahi selama satu jam dan hasilnya belum tentu efektif bahkan insyaf pun gak mungkin, yang ada dia pasti membujuk aku dengan berkata, "Fi, maklumin ya Fi ... cinta itu butuh proses Fi bukan mie instan." "Dah sayang, love you ... emmuah --" Akhirnya obrolan yang bikin aku mau muntah itu berakhir dan ponselnya diletakkan di atas meja, dia mulai mengambil roti untuk sarapan. "Sarapan juga, kirain udah kenyang sayang-sayangan lewat telepon," ucapku sarkas dan dia hanya tersenyum manis, pengen gigit itu bibir. "Jangan cemburu gitu dong, kamu sudah menang banyak semalam ya." Aku terkekeh karena dia ternyata paham dengan situasi seperti itu. Aku pikir dia anggap biasa saja ternyata sedikit gak rela. "Itu bukan menang melainkan hak seorang suami menyentuh istrinya dan kamu berdosa jika menolak." Dia menyeringai sinis, "Oh ya, aku tawarkan yang lebih nikmat kamu gak mau, so bukan salah aku 'kan." Nikmat apanya kalau hanya oral dan aku berpikir jika dia punya pacar di Italy pasti dia juga seperti itu karena orang barat suka yang gituan. Ya Allah ... aku gak mau lagi cium bibirnya karena sudah menghisap 2 rudal yang belum sah. "Aku mau yang masih suci jadi loe udah afkir." "Yeee ... afkir juga tetapi kamu mau nikahi aku 'kan." "Karena hanya loe yang bisa paham kondisi gue." Sepertinya aku salah membuat keputusan. Sudah terjadi baru menyesal dan fatal. Aku pikir dengan nikah sama dia semua bisa diatur dari cinta dan nafsu namun setelah dialami adanya aku ilfil dengan dia. "Jadi, tipe cewek yang loe mau itu seperti apa? " Aku gak pernah punya tipe cewek yang aku mau, satu-satunya yang ada dalam pikiran aku hanya dia ... dia yang telah berubah. Dia yang pernah membuat aku nyaman, dia teman wanita pertamaku, dia adalah cinta pertamaku, Malinka. "Mau yang kayak Malinka, yang lugu tetapi setelah tenar malah menjadi liar dan binal." Mataku melotot menatapnya, aku gak suka dia ngomong seperti itu, "Stop! Loe gak berhak untuk mengatai dia apa pun. Gue tahu dia pernah buat salah sama loe tetapi gak sepenuhnya itu salah dia. Dan masalah sekarang dia menjadi liar itu loe gak tahu bagaimana dia berjuang untuk orang tuanya." Aku berdiri dan pergi setelah bicara seperti itu. Istriku ini sudah menjadi orang kaya sejak lahir jadi wajar jika dia tidak merasakan susahnya cari uang. Susahnya jika orang tua sakit tanpa ada saudara yang membantu untuk semua kebutuhan apalagi biaya rumah sakit yang mahal ditambah penyakit yang akut dan memang butuh penanganan dengan alat-alat khusus. Wanita yang dikatainya itu, tidak pernah mau mengemis meski dia bisa mendapatkan uang dari aku tetapi dia menolaknya. "Berangkat sekarang Pak? " tanya supirku yang sudah siap di depan mobil setelah mengelap sampai mengkilap. "Iya, ayo." Aku masuk dan dia pun mulai bersiap untuk membawaku pergi ke kantor. Ketika mobil aku keluar, begitu juga mobil tetangga sebelahku keluar tetapi yang aku tahu itu bukan sang suami, mungkin istrinya. "Pak, ikuti mobil itu." Entah kenapa aku ingin tahu seberapa dekat hubungan suami-istri tetangga sebelahku ini. Apakah berjalan normal sesuai hubungan pada umumnya. Saat di lampu merah, aku melihat hanya satu orang yang berada di dalam dan hanya wanita bercadar itu yang marah padaku kemarin. Wanita solehah yang harusnya punya tutur kata yang lemah lembut tetapi ternyata dia sangat ketus ketika membahas soal agama. Dia sangat paham tetapi aku berlalu santai untuk masalah kami. Capek tegang urat melulu hanya karena nafsu. Lampu hijau menyala dan si mobil sebelah melaju dengan kencang mendahului mobilku. "Kejar, jangan sampai ketinggalan." "Baik Pak." Apa yang sedang dilakukannya, membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Apa karena mendengar suaminya teleponan dengan istriku. Kasihan, sungguh kasihan jika memang itu yang dia dengar pagi ini dan kami senasib. Sampai pada akhirnya mobil itu berhenti disuatu kedai makanan dan seorang wanita menyambutnya diluar kedai. Dari jauh, aku bisa melihatnya menangis sambil memeluk wanita itu. Tidak perlu dipertanyakan lagi karena apa, sudah pasti karena sang suami yang tidak peduli makna pernikahan. "Jalan Pak, langsung ke kantor." Wanita itu menarik perhatianku, dibalik cadar itu pasti tersimpan keindahan yang luar biasa. Tertutup untuk semua orang dan hanya dimiliki oleh satu orang, andai istriku seperti itu. Ponselku berdering menghentikan lamunanku yang menyimpang. "Halo, Assalamu'alaikum Pah." "Wa'alaikumsalam nak, bisa gak kamu ke rumah dan bla-bla-bla." Intinya papah ingin aku membawa calon menantunya itu jalan-jalan selama dia berada disini. Dan akhirnya aku putar balik menuju rumah papah. Beliau Papah tiriku sekaligus pamanku, rumit bukan statusnya. Aku menghela napas panjang jika mengingat kerumitan keluargaku. Aku tiba di rumah papah dan langsung membawa pria Arab ini untuk berkeliling jalan layaknya safari. Sampai akhirnya waktu telah menunjukkan pukul 12 siang saatnya kami memenuhi kewajiban sebagai umat muslim dan setelah itu makan siang bersama. Aku tidak menyangka jika Ibu Kota ternyata sekecil ini. Banyak Masjid dan banyak jalan yang harus ditempuh tetapi kenapa wanita judes bercadar ini shalat di sini juga, apa dia gak pulang-pulang. Matanya terlihat teduh dan berair dan anehnya aku suka jika matanya menatap nyalang tajam padaku seperti waktu itu. Mata itu bersinar terang seperti mentari di pagi hari dan kejernihannya seperti mata air . Ya Allah ... aku mengagumi ciptaanmu yang bukan milikku, salahkah aku. Setelah selesai, kami segera keluar dari Masjid dan aku sempat meliriknya di bagian saf wanita. Dia duduk dengan kedua tangan dan kepala mengadah ke atas. Kabulkanlah do'anya ya Allah ... dia berada di posisi yang tidak semestinya dan dia tidak akan pernah bahagia jika terus bertahan dalam kondisi rumah tangga seperti itu. Bukakanlah mata hatinya dan pemikirannya untuk menyerah, karena hanya dengan menyerah dia akan mendapatkan kebahagiaan dari orang yang lebih layak untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN