Jangan Mengharapkan Cinta Dari Saya
Seorang laki-laki duduk di ruang tamu rumah besar dengan cahaya yang minim. Dia adalah Ghavano Fedrix Liam, CEO dari Liam Group yang berusia 30 tahun.
Liam Group merupakan bisnis yang bergerak dibidang perhotelan, restoran serta pusat perbelanjaan.
Tadi siang, Ghava baru saja menikah dengan seorang perempuan yang dijodohkan oleh kakeknya. Padahal dia memiliki wajah tampan serta postur tubuh menarik. Tapi pernikahan itu tidak bisa Ghava tolak sama sekali. Apalagi kesehatan kakeknya tidak begitu baik.
Perempuan yang menjadi istri Ghava adalah Azla, anak dari guru spiritual kakeknya yang berusia 29 tahun. Azla bekerja sebagai seorang penulis. Dia merupakan sosok pendiam dan terlalu penurut. Azla menatap langit-langit kamar. Sudah beberapa jam berlalu, tapi Ghava tidak masuk ke dalam kamar sama sekali. Meskipun tidak ada cinta diantara mereka, tapi Azla merasa sedih dengan jarak yang terjadi antara keduanya. Azla memutuskan untuk keluar dari kamar.
Azla terhenti sejenak di ambang pintu kamar. Suara langkahnya yang lembut terdengar hampir tidak terdengar, namun saat matanya menangkap sosok Ghava yang duduk di ruang tamu, ia merasa seakan-akan ruang itu semakin sempit. Lampu yang redup membuat suasana terasa hening, bahkan terlalu hening untuk Azla. Ia ingin kembali ke kamar dan menghindari Ghava, tetapi saat itu suara Ghava yang datar dan dingin menghentikannya.
"Azla," kata Ghava tanpa menoleh. Suaranya serupa dengan es yang beku, tidak ada emosi, tidak ada kehangatan.
Tubuh Azla sedikit gemetar mendengar suara Ghava yang begitu dingin. Meski hatinya berusaha tegar, ia tahu apa pun yang akan dikatakan oleh Ghava mungkin akan menusuk perasaannya lagi. Namun, ia tetap menjawab dengan suara yang lembut, meskipun sedikit ragu.
"I-iya," jawabnya, hampir seperti bisikan.
Ghava masih duduk di kursinya, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menoleh sedikitpun ke arah Azla, seolah-olah terlalu berat untuk menatapnya. "Ada yang ingin saya katakan," ucapnya datar, tanpa nada yang bisa ditebak.
Azla menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Ia melangkah lebih dekat, meski ada rasa takut yang menahan langkahnya. "Apa yang ingin Mas katakan?"
Sejenak, ada keheningan yang terasa mencekam. Ghava menghela napas panjang, dan suara napasnya terdengar berat, seperti sedang membawa beban besar yang ia sembunyikan. Panggilan 'Mas' begitu memuakkan bagi Ghava tapi dia tidak bisa melarangnya.
"Jangan mengharapkan cinta dari saya."
Azla merasakan seolah-olah bumi di bawahnya runtuh mendengar kata-kata Ghava. Baru beberapa jam mereka resmi menikah, tapi pria itu sudah menegaskan batas yang tidak mungkin ia lewati. Dadanya terasa sesak, tapi ia berusaha menahan diri. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukan atas dasar cinta, melainkan karena permintaan keluarga. Namun, mendengar kenyataan itu diucapkan langsung oleh Ghava tetap terasa menyakitkan.
"Saya sudah mencintai perempuan lain," lanjut Ghava, suaranya datar namun tajam. Tatapan matanya dingin, seperti tidak ada ruang untuk kompromi.
Azla mengangguk pelan, meskipun ada gemuruh di dalam hatinya. "Saya mengerti," jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar tegar, meskipun terdengar sedikit bergetar. "Pernikahan ini adalah kewajiban, bukan keinginan. Saya tidak akan menuntut apapun dari Mas."
Ghava mengamati wajah Azla di cahaya yang minim, seolah mencari tanda-tanda kelemahan atau ketidakjujuran. Namun, Azla tetap berdiri tegak, tatapannya lurus meski matanya sedikit berkaca-kaca. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Ghava menghela napas dan melangkah ke arah jendela. Ia menatap ke luar dengan punggung menghadap Azla.
"Bagus kalau kamu tahu," katanya pelan, hampir seperti bisikan. "Saya hanya ingin kamu tidak memiliki harapan apapun terhadap hubungan ini. Kita hanya menjalankan peran masing-masing."
Azla menatap punggung Ghava yang tegap namun penuh dengan jarak. Ia ingin bertanya siapa perempuan yang dimaksud Ghava, bagaimana perasaannya terhadap perempuan itu, dan mengapa ia begitu sulit melupakan seseorang yang jelas tidak ada di sini. Namun, ia menahan lidahnya. Pertanyaan itu hanya akan membuat luka di hatinya semakin dalam.
"Baiklah, Kalau begitu," kata Azla akhirnya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya, "Saya akan menjalankan peran saya tanpa mengganggu Mas."
Ghava mengangguk tanpa menoleh. "Itu yang terbaik."
Azla menundukkan kepala sejenak, lalu berbalik menuju kamarnya. Namun, sebelum melangkah pergi, ia berhenti di ambang pintu, menoleh sekilas ke arah Ghava. "Mas..." panggilnya dengan nada lembut.
"Apa lagi?" Ghava menjawab tanpa menoleh, suaranya masih dingin.
"Terima kasih sudah jujur," ucap Azla sebelum melangkah pergi. Ia tahu, ucapannya mungkin tidak berarti apa-apa bagi Ghava. Tapi bagi dirinya sendiri, itu adalah cara untuk menerima kenyataan yang pahit ini dengan kepala tegak.
Setelah pintu kamar tertutup di belakangnya, Azla duduk di pinggir ranjang, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya mengalir. Ia tahu perjalanan ini akan berat, tapi ia sudah bertekad untuk tidak membiarkan dirinya hancur. "Aku akan baik-baik saja," bisiknya pada dirinya sendiri, meski hatinya belum sepenuhnya percaya. Setidaknya ayah Azla merasa senang dengan pernikahan dirinya dengan laki-laki yang dipilih oleh ayah Azla.