bc

Kau Rebut Kekasihku, Kunikahi Ayahmu

book_age16+
1.0K
IKUTI
4.9K
BACA
revenge
contract marriage
arrogant
CEO
student
drama
single daddy
regency
sassy
like
intro-logo
Uraian

Vanilla begitu murka saat memergoki kekasihnya sedang bergelung di bawah selimut yang sama dengan gadis yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Akibat dari pengkhianatan mereka membuat Vanilla nekat menikahi ayah dari sahabatnya demi misi balas dendam.

Namun, masalah menjadi semakin rumit saat satu per satu fakta mulai terungkap. Bagaimana sepak terjang Vanilla setelah mengetahui rahasia yang disembunyikan suami sekaligus ayah dari sahabatnya itu? Apakah misi balas dendamnya akan terlaksana, atau justru ia yang terjebak dalam permainannya sendiri?

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Ajakan Menikah
"Mari kita menikah, Om." Pria yang sedang menyesap kopinya itu hampir tersedak mendengar perkataan gadis belia yang duduk di hadapannya, barusan. William menurunkan cangkir keramik itu dari bibirnya kemudian menatap lawan bicaranya dengan seringai tak terbaca. Di usianya yang mendekati kepala empat, telah puluhan wanita ia tolak mentah-mentah sementara saat ini di depannya, gadis itu dengan beraninya mengajak menikah. Seolah menikah bukanlah perkara besar. "Kenapa? Om keberatan?" Gadis cantik dengan wajah khas kekanakan itu tak suka dengan tatapan meremehkan yang dilemparkan William padanya. Vanilla bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di sisi William. "Apa aku kurang cantik? Bentuk tubuhku bagus dan aku rasa semuanya pas sesuai porsinya." Vanilla kembali berujar. Ia berjalan meliuk layaknya seorang model, tangannya sesekali mengusap dari d**a terus merayap ke bagian pantatnya. Sudut bibir William menukik membentuk senyum yang membuat kadar ketampanannya kian bertambah. Ia sudah lama mengenal Vanilla, tapi baru kali ini William dihadapkan dengan sisi lain gadis itu. "Oh, ayolah Om. Jangan diam saja! Aku sedang membuat penawaran yang bagus untuk Om. Aku jamin, dengan menikahiku Om nggak akan rugi sama sekali." Gadis itu kembali berceloteh dengan mimik wajah terlihat sangat meyakinkan. Vanilla kembali menempati kursinya. Caranya duduk begitu anggun dengan melipat satu kakinya tak begitu tinggi. Akan tetapi dari tempatnya, William masih bisa melihat celana pendek hitam yang tersembunyi di balik rok jeans yang dikenakan gadis itu. "Apa yang akan saya dapatkan dengan menikahimu? Kamu masih terlalu kecil, apa kamu sadar kamu sedang bicara dengan siapa saat ini?" Untuk pertama kalinya setelah sekian lama kebungkamannya, William menyuara. "Tentu saja. Ada banyak hal yang bisa Om dapatkan dengan menikahiku, dan tolong ... jangan katakan kalau aku anak kecil karena aku sudah memiliki KTP dan juga SIM!" Vanilla menegaskan ucapannya. William tersenyum simpul menanggapinya, hanya karena telah memiliki dua kartu identitas itu Vanilla terlihat penuh percaya diri. "Aku akan pastikan kalau aku bisa mengurus Om dengan baik, termasuk untuk urusan yang satu itu," imbuh Vanilla, kali ini ucapannya terdengar jauh lebih lembut disertai kedipan mata menggoda. Tatapannya bergerak turun menuju sesuatu yang tersembunyi di balik celana William. "Dasar gadis nakal!" William menggeleng pelan seraya meraih cangkir di meja. "Sayangnya saya sama sekali tidak tertarik dengan tawaranmu," ucapnya lagi setelah menyesap cairan hitam dan menaruh cangkirnya kembali. "Tapi kenapa?" Tatapan Vanilla meredup. Tak ada lagi wajah penuh kepercayaan diri seperti yang dia perlihatkan sebelumnya. Semuanya sirna bersamaan dengan sorot mata penuh kekecewaan. Vanilla mulai berpikir untuk mengubah strategi, apa pun yang terjadi dia harus bisa meyakinkan William agar lelaki itu mau menikahinya. "Kalau hanya untuk mengurus semua keperluan saya, saya bisa melakukannya sendiri. Dan kalau soal memuaskan, di luar sana ada banyak sekali perempuan yang jauh lebih seksi dan mahir memuaskan saya ketimbang kamu. Tahu apa kamu soal itu? Kamu cuma anak kemarin sore yang bahkan untuk mengurus dirimu sendiri saja kamu nggak becus." "Kata siapa aku nggak mahir memuaskan? Aku bisa melakukannya dengan baik, apa Om mau mencobanya terlebih dulu agar Om percaya kalau aku tidak sepolos seperti yang ada dalam pikiran Om," balas Vanilla dengan lantang. Ia sungguh tak suka cara William menatapnya, terlihat sangat meremehkan. Vanilla kepayahan menelan salivanya tatkala tatapan William membidik tajam ke arahnya. Susah payah dia menekan kegugupannya agar lelaki di hadapannya tak menaruh curiga. Faktanya, Vanilla memang hanyalah anak rumahan yang hanya tau pergi kuliah, mana mungkin dia seliar seperti yang baru saja kalimat itu lontarkan dari bibirnya. Dusta itu semata Vanilla katakan demi meyakinkan William. Lagi, William kembali tersenyum sinis. Melihat tubuh Vanilla yang bergetar, juga bahasa tubuhnya yang tampak gugup. William jelas tahu kalau apa yang baru saja dikatakan Vanilla adalah sebuah kebohongan semata. Dalam hatinya berdecih, bisa-bisanya bocah ingusan itu hendak mengelabuhinya. "Maaf, tapi saya tidak punya waktu untuk mengurus hal sepele seperti ini. Pekerjaan saya menumpuk. Saya mungkin akan menerima dengan senang hati kalau kamu mau menemui saya sebagai teman dari anak saya, tapi jika niat kamu menemui saya hanya untuk mengajak saya menikah, maka sebaiknya kamu urungkan saja niatmu. Jangan mimpi saya mau menerima tawaranmu, karena sampai kapan pun saya nggak akan pernah menikah, apalagi dengan seorang bocah," ujar William. Pria itu mendorong kursinya, meraih kontak mobil serta jas yang dia sampirkan di bangku kosong di sebelahnya. "Tapi, Om." Vanilla berusaha mencegah kepergian William sebelum mereka mencapai kesepakatan dan apa yang menjadi keinginan Vanilla terwujud. "Semuanya sudah Om bayar, kamu bisa langsung pulang," pungkas William dan berlalu dari sana begitu saja. "Ingat, langsung pulang! Cuci tangan dan kaki, minum s**u dan tidur siang. Jadilah anak manis." Lelaki itu berbalik sejenak dengan senyum mengejek. Vanilla menyandarkan kepalanya di meja, tak lama setelahnya isak tangis terdengar lirih. Ia benar-benar frustasi sampai tak bisa berpikir jernih. "Nggak bisa! Ini nggak bisa dibiarkan! Kalau aku hancur, maka mereka berdua juga harus ikut hancur bersamaku. Mereka harus merasakan apa yang aku rasakan." Vanilla menyeka wajahnya kasar, la meraih tasnya dan meninggalkan tempat itu. Dendamnya harus terwujud, dan tidak ada satu orang pun yang bisa menghalanginya. Vanilla melajukan kereta besinya menuju suatu tempat. Tak ada pilihan lain lagi meski Vanilla benci harus melakukan itu. "Halo, kamu di mana?" "Vanilla? Ya Tuhan ini beneran kamu, Van?" Suara berat seorang pria terdengar riang di ujung telepon. "Temui aku di tempat biasa, ada hal yang perlu aku bicarakan," ujar Vanilla tanpa basa-basi. "Oke. Aku ke sana sekarang. Aku juga perlu menjelaskan sesuatu sama kamu." Vanilla melempar asal ponselnya di kursi penumpang. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa menikah dengan William. Bagaimana pun caranya. Gadis itu buru-buru mengambil ponselnya saat teringat sesuatu. Ia kembali menekan satu nomor. "Aku rasa akan sangat menyulitkan jika aku menemui Aksa di tempat biasa," menolog gadis itu. Seperti biasa, Aksa akan dengan cepat merespon panggilan masuk dari Vanilla. Gadis itu menyampaikan maksudnya kembali menghubungi Aksa, tak lupa Vanilla juga memberitahu alamat tempat pertemuan mereka yang baru. Debur ombak menghantam karang, bau air laut begitu kental menyapa indera penciuman. Semilir angin mengibarkan surai panjang Vanilla. Gadis itu berjalan pelan membiarkan butiran pasir membelai telapak kakinya yang telanjang. Selama ini, apa pun yang menjadi keinginan Vanilla selalu bisa dengan mudah dia dapatkan. Apa pun, tak terkecuali. Begitu juga saat Vanilla ingin secepatnya meresmikan hubungannya dengan pemuda yang amat dicintainya. Roy, papanya setuju bahkan menginginkan agar pernikahan itu bisa secepatnya dilaksanakan. Demi bisa menghindari perbuatan dosa, begitu katanya. Namun, kali ini semesta seolah tak merestui keinginan Vanilla. Semuanya tak lagi sama. Impian indah yang Vanilla bangun menjadi lebur hanya dalam sehari. "Van." Langkah Vanilla terhenti seiring dengan kembalinya kesadaran gadis itu usai disibukkan dengan lamunan panjang untuk waktu yang lama. Ia menoleh ke arah sumber suara. Aksa berdiri tiga langkah di belakang Vanilla membuat gadis itu menoleh dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Sementara Aksa tertegun, tatapannya sendu, ada begitu banyak rahasia tersembunyi di kedalaman matanya. Kedua anak manusia itu lalu berjalan bersisian dengan kebisuan masing-masing. Hanya debur ombak dan desau angin yang menjadi musik pengiring mengantarkan bumi pada malam dan berakhir di peraduan. Sisa-sisa cahaya keemasan yang tertinggal membuat pemandangan tampak indah. "Van?" Gadis itu menoleh bersiap menunggu kelanjutan ucapan Aksa, tapi kemudian dengan cepat Vanilla melemparkan pandangannya pada gulungan ombak yang pecah di tepian pantai. Vanilla tak sanggup jika harus berlama-lama menatap Aksa. Perasaannya masih sama meski keadaannya telah banyak berubah. Nyatanya, jantung Vanilla selalu bekerja lebih keras dibandingkan biasanya, hanya dengan mendengar Aksa memanggilnya sedemikian lembut. Terlepas dari apa yang telah pemuda itu lakukan padanya. "Aku sadar, apa pun yang akan aku bicarakan sama kamu, nggak akan bisa merubah keadaan. Tapi aku mau, kali ini saja, Van. Percaya sama aku. Aku nggak mungkin mengkhianati kamu." Terdengar lembut tetapi di waktu bersamaan begitu menusuk hingga jantung Vanilla serasa dirajam. "Nyatanya kamu sudah menikah." Vanilla kembali melangkah setelah tadi sempat terjeda sebentar. Gadis itu tak bisa sepenuhnya percaya dengan apa yang keluar dari mulut manis Aksa. Vanilla perlu bukti yang bisa meyakinkan dirinya kalau Aksa memang tak bersalah dalam hal ini. Semuanya terjadi begitu saja dengan cepat sampai Vanilla merasa seperti sedang berada dalam mimpi buruk yang berkepanjangan. "Bolehkah aku memelukmu? Kita belum melakukan salam perpisahan. Setelah ini mungkin kita nggak akan bisa bertemu lagi." Aksa dibuat terkejut dengan kata-kata Vanilla. "Sepertinya kita juga harus mengambil beberapa foto." Belum sempat Aksa menguasai diri dari rasa kagetnya, Vanilla sudah berdiri di dekatnya dan membidikkan kamera ke arahnya. Aksa menurut saja saat Vanilla memintanya tersenyum menghadap kamera. Lengan kokoh pemuda itu melingkar di pinggang ramping Vanilla. Beberapa potret berhasil diabadikan gadis itu. Dengan posisi yang cukup dekat tentunya. "Kita cari tempat makan biar lebih leluasa ngobrolnya," ajak Aksa. Belum sempat Vanilla menjawab, tiba-tiba saja dering ponsel gadis cantik itu terdengar nyaring. Ia mengurungkan niatnya memasukkan benda pipih itu ke dalam tas. "Ya, Om?" sapa Vanilla dengan suara yang dia buat selembut mungkin. "Saya terima tawaran kamu. Ayo kita menikah, lebih cepat lebih baik, tapi tolong segera tinggalkan Aksa dan suruh dia pulang secepatnya!" Suara dingin William terdengar memerintah. "Aku kira Om nggak akan berubah pikiran. Maaf, Om. Aku bukan gadis yang bisa Om bodohi." Vanilla menyahut. Senyum penuh kemenangan tercetak jelas di bibirnya. "Apa perlu saya menyusul kamu dan kita menikah sekarang juga?" Suara William terdengar menantang. Ada getar kemarahan di setiap kata. Vanilla sedikit menjauhkan benda itu dari daun telinganya saat suara William mulai meninggi. 'Mangsa telah berhasil masuk ke dalam perangkap, tinggal menggiringnya saja untuk memastikan agar hasil tangkapan tak akan bisa lepas.' Vanilla membatin. Gadis itu tersenyum licik saat mendengar William terus meneriakinya, lalu tanpa pikir panjang Vanilla mengakhiri panggilan tersebut dan menonaktifkan ponselnya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Siap, Mas Bos!

read
19.0K
bc

My Secret Little Wife

read
115.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
201.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook