‘Manakala kau buta, maka kau tidak berdosa. Tapi karena kau mengatakan bahwa kau melihatnya, maka kau tetap berdosa. Tuhan menyambut semua yang bersedia datang untuk memohon pengampunan. Bahkan jika kau seorang pendosa sekalipun, Tuhan akan tetap memberikan pengampunan atas pertaubatanmu.’
"Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amen ..."
Kedua netra itu perlahan terbuka. Tatapan dingin dari garis wajah yang tenang itu mengarah pada seorang Pastor yang mengakhiri misa pagi itu.
Waktu yang terus berlalu, membawa satu persatu dari para jemaat meninggalkan Gereja. Hingga dalam ruangan kosong itu tersisa satu orang yang sama sekali belum beranjak dari tempat duduknya sejak netra itu kembali terbuka.
Di musim dingin bulan januari tahun 2050, Felix Alexander Lim terduduk di dalam sebuah Gereja yang terletak di pinggiran kota. Memandang simbol dari keyakinan orang-orang yang datang ke tempat itu. Entah untuk berdoa atau menuntut, pria itu rutin mendatangi Gereja di akhir pekan.
Datang paling awal, Felix selalu memejamkan kedua matanya sejak jemaat ke dua memasuki Gereja hingga tempat itu kembali kosong. Namun meski begitu tak ada orang yang akan menegurnya. Dan bahkan Pastor yang bertanggungjawab atas Gereja itu tak mempermasalahkan keberadaan Felix di sana.
Pintu kayu yang tinggi itu kembali terbuka dari luar. Sebuah siluet berjalan masuk tanpa berniat untuk menutup pintu itu kembali. Langkah lebar dengan bahu yang tegap, garis rahang yang tampak kuat namun dengan garis wajah yang terlihat santai. Seorang pria yang sangat dikenal oleh Felix datang menghampiri pria itu.
"Kau memutuskan menjadi orang yang religius sekarang?" teguran pertama datang.
Felix perlahan menolehkan wajahnya ke tempat pria itu berdiri. Dan untuk kali pertama pada hari ini dia melihat wajah itu.
Jason Wilborgh, tersenyum lebar. "Tatapan itu lagi. Tidak bisakah kau memandangku dengan cara yang lebih sopan?"
Felix mengalihkan pandangannya dan berdiri. Berhadapan dengan Jason, Felix membawa kembali pandangannya pada rekannya itu.
"Bawa apa yang kau butuhkan, aku akan menyelesaikan urusanku di sini." Felix lantas meninggalkan Jason.
Sudut bibir Jason tersungging. Sejenak memandang punggung Felix yang berjalan menjauhinya, punggung yang terkadang membuatnya khawatir dan takut dalam waktu bersamaan.
"Dia semakin menakutkan jika sedang diam," gumam Jason dengan seulas senyum tipis yang sempat terlihat di wajahnya.
Mengambil jalan yang berbeda, Jason berbalik. Kembali ke jalan yang ia lewati sebelumnya, menghampiri cahaya dan menghilang bersamaan dengan pintu Gereja yang kembali tertutup dari luar.
Sementara itu Felix memasuki sebuah ruangan yang cukup sempit dan masih menjadi bagian dari bangunan Gereja itu. Bilik pengakuan dosa, di sanalah Felix Alexander Lim akan menyelesaikan urusannya.
Tak begitu lama duduk di sana, pintu di ruangan sebelah terdengar terbuka dan tertutup kembali. Setelahnya pandangan Felix melihat siluet dari seseorang yang duduk berhadapan dengannya di ruangan sebelah melalui lubang-lubang kecil yang terdapat pada sekat tepat di hadapannya.
Seorang Pastor yang kerap ditemui oleh Felix duduk dengan tenang. Dan untuk ke sekian kalinya, keduanya berhadapan di tempat yang sama namun mungkin dengan perasaan yang berbeda.
"Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Amen ..."
Suara sang Pastor terdengar, namun Felix tak memberikan reaksi apapun. Seakan kedatangannya ke sana bukanlah untuk mengakui dosa-dosa yang ditanggungkan padanya.
Pastor itu lantas memberikan teguran pertamanya. "Apakah kau datang dengan suasana hati yang lebih buruk dari hari kemarin, Saudaraku Alexander Lim?"
Pandangan Felix terjatuh pada meja di hadapannya, di mana tangan kirinya berada di sana.
"Ini adalah kali terakhir aku datang untuk melihatmu," gumam Felix. Suara berat yang terdengar halus namun lebih dalam dibandingkan biasanya.
Sang Pastor menyadari sebuah penyesalan dalam nada bicara Felix, namun ia tidak tahu apa yang disesalkan oleh Felix. Karena pria itu selalu datang dengan perasaan yang berbeda di setiap waktunya.
Sang Pastor tersenyum hangat. "Apakah ini yang disebut sebagai kalimat perpisahan?"
"Aku tidak menemukannya," jawaban yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pertanyaan yang baru saja terucap.
Felix kembali mengangkat pandangannya. Memandang siluet di seberang tempatnya tanpa memiliki keraguan. "Di mana Tuhan tinggal ... aku tidak bisa menemukannya."
Seulas senyum yang bertahan di wajah tenang sang Pastor menunjukkan sebuah keprihatinan.
Sang Pastor kemudian berkata, "manakala seseorang berkata bahwa dia adalah seorang pendosa yang tengah mencari tempat tinggal Tuhan, maka Tuhan akan mengujinya sedikit lebih lama sebelum Dia memberikan pengampunan dari pertaubatannya ... Tuhan ada di samping kita, Tuhan ada di belakang kita, Tuhan ada di hadapan kita, siapa yang tahu? Apa yang sedang kau cari, Saudaraku? Kau hanya perlu menyadarinya, Tuhan tidak pernah pergi jauh dari kita."
"Aku sudah tersesat." Seulas senyum tercipta di wajah tenang dan dingin milik Felix. "Berapa kali pun aku memikirkannya, aku tidak bisa mengubah pandanganku."
"Lalu jalan mana yang akan kau ambil sekarang?"
"Tuhan tidak berpihak kepada mereka yang dipanggil dengan sebutan pendosa."
"Kau sudah mendengar hal itu setiap waktu."
"Tidak, bukan begitu." Felix kembali tersenyum, namun kali ini senyuman itu terlihat berbeda. Bukan seulas senyum yang mengiringi sebuah keputusasaan, melainkan seulas senyum yang menunjukkan sebuah harapan baru.
"Tuhan telah memihak pendosa yang sesungguhnya," pernyataan itu berhasil menyentak batin sang Pastor.
"Prasangka buruk terhadap Tuhan hanya akan menjadikanmu—"
"Pendosa," Felix menyela. "Pengampunan yang sebenarnya bagi seorang pendosa adalah kematian."
"Saudaraku ..."
"Aku ... menjadi seorang pendosa karena keinginan Tuhan. Dia tidak akan pernah datang untuk menyelamatkan aku ..."
Seulas senyum yang terlihat meremehkan suatu hal yang diyakini oleh orang lain. Felix Alexander Lim telah mengakui bahwa dirinya adalah seorang pendosa. Namun meski begitu, dia tidak pernah mengejar pengampunan dari Tuhan. Justru sebaliknya, dia memiliki sebuah harapan. Harapan sederhana yang sulit untuk ia lakukan. Harapan sederhana yang telah menahan kakinya hingga sejauh ini. Harapan itu ...
Menuntut Tuhan yang telah membiarkannya menjadi seorang pendosa.
BATTLE OF HEALER : CHAPTER II
[JACK THE RIPPER]