Haruskah aku tumpahkan buah-buahan di meja? Tapi bagaimana caranya?
Aku terus mencari cara. Malam ini adalah kesempatan untuk membalas Mas Ipar. Mataku nanar memperhatikan satu-persatu cucu mama. Siapa di antara mereka yang paling aktif dan bisa kumanfaatkan?
Ajeng, anak sulung Mas Rasyid, sudah berusia tujuh tahun. Dan terlalu pendiam, tidak mungkin bisa dimanfaatkan. Apalagi dia sudah mulai tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Coret.
Aku terus memperhatikan cucu Mama yang lain. Dan terpaku kepada Wildan Anak kedua Mbak Tutik. Anak itu baru saja keluar dari kamarku, dengan wajah penuh coretan merah. Tangannya memegang lipstik milikku. Wildan berusia hampir empat tahun.
"Yaa Allah, Wildaaaan." Mbak Tutik berteriak. Yang lain seketika menoleh, lalu tertawa terbahak-bahak. Mbak Tutik langsung berdiri, bermaksud menangani Wildan.
"Biar aku saja, Mbak." Cegahku. "Mbak duduk aja."
"Beneran?" Tanya Mbak Tutik.
"Iyah." Aku mengangguk mantap.
"Makasih ya." Sahut Mbak Tutik.
"Ayo Wildan, ikut Tante." Ajakku
pada Wildan. Aku membawa anak itu ke kamar lagi. Kubersihkan wajahnya dengan pembersih make up, sambil terus kubisikkan sesuatu di telinganya. Anak itu mengangguk.
"Baik, Tante." Ucapnya. Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah keluar kamar. Wildan kubopong ke dapur untuk membilas wajahnya.
"Sana ke meja." Aku mendorong tubuh gempal anak itu agar berlari ke meja makan, di mana ada buah anggur kesukaannya.
Semua orang sedang sibuk mengobrol. Ketika Wildan mencampur semua buah yang siap santap di meja. Lalu menuangnya dengan air gelas mineral yang tadi sengaja kubuka dan kuletakkan di sampingnya.
"Wildan, jangan diberantakin lagi ya, Sayang." Aku pura-pura. Dalam hati aku berkata, "Teruskan, teruskan Anak Manis."
"Wildan sini, Sayang." Mbak Tutik memanggil. Wildan tidak peduli. Aku segera melangkah mendekatinya. Mengangkat tubuh anak itu turun dari kursi, dan menyuruhnya pergi ke mamanya. Lalu, tanganku bergerak cepat memisahkan kembali antara buah pir dengan yang lainnya. Airnya segera kubuang. Setelah selesai aku kembali duduk di tempatku semula.
Selang beberapa menit, kulihat Mama berdiri.
"Suamimu tidak pulang, Na." Katanya, seraya menyerahkan kembali ponselku.
"Iya, Ma." Sahutku. Nyesek dan kecewa. Pulang seminggu sekali saja masih sering dikorting.
"Apalah Arsen nie, semua kumpul dia seorang yang tidak pulang. Betah nian di Bogor, punya istri muda atau apa dia tu!" Itu suara si mulut lamis, kakak tepat di atas Mas Arsen.
"Hush Haris! Kalau ngomong tu dijaga!" Kali ini Mbak Tutik yang menimpali. Mungkin dia bermaksud menjaga perasaanku sebagai sesama wanita. Ah iya, aku belum menyebutkan nama Mas Iparku yang bermulut lamis itu ya. Namanya Harris Mustofa. Nama yang bagus bukan? Sayangnya orangnya tidak sebagus namanya. Itu menurutku.
"Iya ih, Harris. Demen banget bikin orang marah." Mama menimpali, seraya menaruh piring berisi buah ke atas karpet di tengah-tengah orang-orang itu. "Kasihan itu Helena. Nanti berpikir yang tidak-tidak dia." Mas Harris tertawa. Kulihat Mbak Tutik mengambil sepotong apel di depannya. Dilemparnya ke kepala Mas Haris. Pria itu berusaha menghindar.
"Sukurin!" Mendapat pembelaan dari Mbak Tutik dan Mama, aku jadi memiliki keberanian untuk menjulurkan lidahku pada Mas Harris yang menyebalkan itu. Membalas ejekannya selama ini.
Kulihat Mas Harris memungut potongan apel yang tadi mengenai kepalanya. Lalu menggigitnya. Aku memperhatikan dengan seksama. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Antara takut dan rasa penasaran menunggu reaksi alergi yang bakal menyerang tubuh Mas Iparku itu. Separah apakah?
Mas Harris menghabiskan lumayan banyak buah potongnya, sebelum berdiri pindah ke meja makan. Mama mengambil panci kecil, menyendok nasi biryani lengkap dengan beberapa lauk untuk dimasukkan ke sana.
"Nyisain buat Arsen." Katanya. Ah, Mama memang sangat peduli. Bukan cuma untuk Mas Arsen, Tetapi juga untuk suami dan anak Mbak Romlah di rumah.
"Ayo langsung makan saja." Ajak Mama. "Nungguin Arsen ya percuma."
Aku merasa tidak enak hati dengan ucapan mama barusan. Mama pasti kecewa sama suamiku. Bahkan Mama belain membuat bebek peking sendiri demi putra bungsunya itu, karena dia sangat menyukainya.
"Takut dia gak mau makan kambing. Dia kan angot-angotan, Na." Begitu kata mama tadi siang saat membuat marinasi bebek dan ayam. Nasi biryani yang mama pesan menggunakan daging kambing.
Setelah beberapa orang mengambil makanan, aku ikutan menyendok nasi yang melingkar di tampah besar di meja ke piringku. Kuambil sepotong daging kambing. Kalau di Arab, kambingnya tidak dipotong-potong seperti ini, tetapi utuh satu ekor. Aku menyuap, sambil terus memperhatikan Mas Harris yang mulai merasa tidak nyaman. Sekali dua kali dia menggaruk beberapa bagian badannya. Di lehernya kulihat mulai muncul bercak merah. Jantungku terasa semakin kencang berdebar.
"Kamu kenapa, Harris?" Mama sepertinya mulai menangkap gelagat tidak baik yang tengah terjadi pada putra ketiganya.
"Gak tau nih, Ma, alergiku kok sepertinya kambuh." Sahut Mas Harris mulai terlihat kepayahan.
"Kamu alergi daging kambing?" Mas Ibnu, anak ketiga Mama bertanya.
"Tidaklah. Entah ini kenapa." Harris mulai tampak semakin kepayahan.
"Padahal gak makan pir kan? Mbak Tutik ikut bertanya. Mama selalu terbuka kepada anak-anaknya, sehingga mereka saling paham kondisi dan kabar satu sama lain.
"Kamu lihat lah tadi. Aku tak makan pir sama sekali." Sahut Mas Harris. Kali ini disertai tatapan mata tajamnya kepadaku. Bulu kudukku meremang. Apakah aku ketahuan?
***
Satu jam kemudian, kami selesai menikmati makan malam. Aku kenyang dengan nyaman meskipun tadi sempat ketakutan sebentar. Masa bodoh dengan Mas Arsen, toh dia juga gak bakal kelaparan di sana. Ugh…
Aku bergegas mencuci tanganku. Kulihat Mas Harris sudah melepas pakaiannya. d**a bidangnya cukup menggoda jika tidak sedang banyak bercak merahnya. Sama sih dengan d**a Mas Arsen, bedanya d**a Mas Harris ada sedikit bulu-bulu yang tumbuh di sana, sedang Mas Arsen tidak.
Mama sedang sibuk di dapur, membuatkan ramuan untuk mengatasi gatal dan bercak merah di tubuh Mas Harris. Kudengar, Mas Harris juga sudah menelepon seorang dokter untuk mengiriminya obat-obatan.
Aku berjalan ke belakang rumah.
"Di rumah ada pesta pun tidak pulang!" Aku masih menggerutu kesal sambil menyabun tangan.
"Istri muda." Tiba-tiba aku kepikiran ucapan Mas Harris satu jam yang lalu. "Mungkin kah?"
Aku menghembuskan napas sekali hentak. Kukebaskan tanganku yang basah. Lalu membalik tubuhku, berniat kembali bersama keluarga di dalam. Aku mencuci tanganku di wastafel belakang rumah, karena di dapur banyak yang antri.
"Emmhhh" saat aku membalik badan, wajahku langsung menabrak sesuatu, tepat setelah badanku membelakangi westafel. Tubuh tinggi besar telanjang d**a sudah ada di depanku.
"Mas Harris?" Kapan dia datang? Tak ada suara tak apa, tahu-tahu sudah berdiri di sini.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya. Tubuh kami hanya berjarak sekitar 3 centi saja.
"Cuci tangan." Sahutku. Aku tidak bisa mundur karena belakang tubuhku sudah mentok di westafel. Aku hanya bisa memundurkan sedikit kepalaku agar jaraknya sedikit menjauh dari wajahnya. Sialnya, aku tetap bisa mencium napasnya yang memburu. Sial, sial, sial!
"Bukan itu yang kutanyakan." Ucapnya, lebih terdengar berbisik dan penuh tekanan. "Tapi buah pir."
Aku paham arah pembicaraan Mas Harris.
"Kenapa aku? Kan Mas tahu buah-buahan tadi diminta Mama semua. Mama yang ngupas dan motong. Helen mah cuma nyeleseiin pir doang. Gak bercampur, gak apa." Sahutku. Aku mulai sedikit gentar karena Mas Harris belum juga mau mundur. Aku juga takut jika sampai ada yang melihat, mereka bisa salah paham.
"Kamu pikir aku percaya ucapanmu?" Ia bicara setengah berbisik.
"Terserah. Minggir, Helen mau lewat."
"Jawab dengan jujur dulu."
"Minggir, jangan bikin orang melihat dan salah paham ya!" Aku mendesis tajam.
"Bodo amat, jawab dulu."
"Ris." Nah kan bener kataku. Itu suara Mama.
Kami menoleh. Kesempatanku untuk merunduk, dan berlari dari hadapan Mas Harris.
"Ngapain kalian?" Tanya mama yang sudah di ambang pintu belakang.
"Cuci tangan, Ma. Di dapur ngantri." Sahutku. Lalu menerobos masuk lewat samping Mama. Kudengar Mama bicara dengan Mas Harris. Aku masuk ke kamarku. Membaringkan tubuh di atas kasur. Bayangan tajam tatapan Mas Harris saat di wastafel tadi, deru napasnya yang berbeda, membuat bulu kudukku kembali meremang. “Apakah dia akan membunuhku kali ini?"